Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revitalisasi Stasiun Kuno, Tak Sekadar untuk Wisata

Kompas.com - 07/10/2009, 09:47 WIB

DI Indonesia, ada sekitar 600 stasiun kereta api yang masuk sebagai cagar budaya. Tentu saja seluruh stasiun itu adalah milik PT KA yang kini dikelola oleh divisi Pelestarian Benda dan Bangunan Bersejarah. Jumlah stasiun yang masuk dalam cagar budaya itu pastinya masih harus disandingkan dengan bangunan dan benda bersejarah lain terkait kereta api, misalnya bangunan bekas kantor jawatan kereta api di masa kolonial atau bekas stasiun, lokomotif, gerbong, jembatan, pakaian masinis, tiket, serta jalur kereta api itu sendiri.

Benda dan bangunan bersejarah aset PT KA itu satu per satu mulai direvitalisasi untuk kepentingan sejarah perkeretaapian sekaligus juga dalam rangka memanfaatkan benda dan bangunan bersejarah yang selama ini terbengkalai agar bisa punya nilai ekonomis. Upaya ini tentu juga demi pengembangan wisata, dalam hal ini wisata sejarah, menggunakan kereta kuno di jalur tua sambil melintas atau berhenti di perkebunan peninggalan Belanda tentu merupakan satu perjalanan nostalgia yang tak bisa dilewatkan.

Menilik kondisi beberapa stasiun tua di Jakarta hingga Bedono di Jawa Tengah, Ben de Vries, Senior International Policy Advisor, Cultural Heritage Agency Ministry of Education, Culture, and Science – Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda –bersama Homme JE Heringa dari Bureau Spoorbouwmeester – yang bertanggungjawab pada jalur kereta api di seluruh Belanda - menyimpulkan, stasiun masih dalam kondisi yang cantik.

Sebut saja Stasiun Jatinegara yang dinilai sebagai, “Hidden treasure, juga depo. Stasiun, kemudian gedung-gedung lain di sekitar stasiun, turn table, gedung dengan simbol SS. Sangat menarik jika seluruh lingkungan direvitalisasi. Ini sebuah ansamble yang sangat indah,” ujar de Vries beberapa waktu lalu, usai menjenguk beberapa stasiun di Jakarta dan Jawa Tengah. Demikian juga dengan Stasiun Manggarai dan Balai Yasa-nya serta Stasiun Tugu yang menurut Heringa dan de Vries hanya bermasalah pada banner iklan sebuah rokok yang ditempatkan pada titik yang tidak pas, yaitu persis di bagian depan dan di atas nama Stasiun Tugu.

Saat tiba di Stasiun Tawang, Semarang, yang diguyur hujan lebat – dan seperti biasa stasiun ini tergenang – baik de Vries maupun Heringa memberikan beberapa alternatif, “Bisa tetap digunakan seperti apa adanya, dibenahi secara cepat setiap kali air hujan makin tinggi menggenang, atau pindahkan stasiun ini ke Semarang Poncol, misalnya. Tapi harus dipikirkan juga Stasiun Tawang akan dijadikan apa,” kata Heringa yang ditimpali de Vries, “Seperti apa semua pihak terkait melihat Semarang dalam 10 tahun ke depan. Karena Semarang punya masalah dengan air, masalah dengan alam, maka bisa jadi sebuah urban planning yang baru dan pembangunan stasiun baru mungkin bisa jadi alternatif. Tapi itu tentu tergantung kesepakatan banyak pihak.”

Yang pasti, de Vries dan Heringa mengingatkan, setelah direvitalisasi, harus ada investor yang menghidupkan benda atau bangunan, misalnya Lawang Sewu. “Kalau tidak ada (investor), konsekuensi dari heritage icon ini apa?" tanya de Vries. Selain itu, PT KA harus menyeleksi stasiun mana saja yang akan direvitalisasi. “Karena ini terkait dana, jadi tidak bisa semua mau direvitalisasi. Menghidupkan kembali jalur yang mati untuk transportasi umum juga bisa menghidupkan lagi stasiun serta kawasan yang sempat mati, selain tentu saja untuk wisata nostalgia, ” tandas Heringa.

Heringa yang juga melakukan seleksi pada sekitar 380 stasiun di Belanda, untuk masuk dalam buku De Collectie Bijzonderestations-gebouwen in Nederland, menambahkan, PT KA perlu memaparkan sejarah setiap stasiun, “Mengungkapkan kenapa sebuah stasiun ada di sana dan bukannya di tempat lain. Apa hubungan jalur kereta dengan pelabuhan, sejarah lokomotif sejak uap sampai listrik, karena loko disel dan listrik akan jadi heritage di masa datang. Harus ada perbandingan apa beda antara Ambarawa dan Sawahlunto. Hal-hal seperti itu bisa masuk dalam publikasi yang lengkap yang kemudian bisa disebarluaskan pada masyarakat,” paparnya.

Tak boleh dilupakan adalah juga sejarah transportasi ini, bagaimana awal jalur kereta api, kereta yang melintas semula untuk mengangkut apa saja, bagaimana pentingnya jalur dan stasiun terkait. “Karena di Jawa banyak perkebunan, tebu, misalnya, kereta api di masa lalu juga untuk mengangkut tebu ke pabrik gula, atau mengangkut barang. Lantas setelah pabrik gula tak lagi beroperasi, bagaimana?" lanjut Heringa.

Buku De Collectie Bijzonderestations-gebouwen in Nederland berisi 50 koleksi stasiun – dari 383 stasiun abad 19 dan 20 –  di Belanda baik yang sudah uzur maupun yang baru dengan alasan stasiun baru itu di masa datang tetap akan jadi warisan budaya. Ke-50 stasiun itu dipilih secara ketat, dilihat baik dari sejarah dan juga sisi arsitektural di mana dengan melihat buku tersebut pembaca akan melihat pula perjalanan arsitektur Belanda khususnya di stasiun. Di samping itu, diharapkan stasiun terkait akan lebih meningkatkan fungsinya dalam berbagai kegiatan khususnya ekonomi serta fungsi transportasi itu sendiri sembari mengembangkan kawasan di sekitar stasiun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com