KOMPAS.com — Sepintas telepon seluler yang dijajakan di sebuah pusat pertokoan elektronik di Shenzhen, China, akhir Oktober lalu, seperti Nokia seri N. Akan tetapi, setelah diamati, ternyata ponsel murah—harganya di bawah 500 yuan atau sekitar Rp 600.000—tu NCKIA. Celah hurup C-nya dibuat lebih kecil sehingga dalam pandangan mirip huruf O.
Agak sulit menelusuri pabrik pembuatnya karena ponsel-ponsel itu merupakan merek lokal yang dibuat oleh home industry. Ponsel-ponsel seperti itu dalam setahun terakhir beredar di pusat-pusat elektronik di beberapa kota di Indonesia.
Baik pedagang maupun konsumen awam menyamaratakan merek-merek baru itu sebagai ponsel China. "Padahal, ponsel itu bisa berasal dari negara-negara seperti Thailand, Taiwan, atau Hongkong," ujar pemilik Sentra Komunikasi dan praktisi telekomunikasi, Sutikno Teguh, di Bandung.
Saat ini, jumlah produk tersebut di Indonesia mencapai 124 merek, selain ponsel-ponsel yang sudah banyak dikenal masyarakat, seperti dari Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Sekitar 35 merek ponsel buatan China sudah masuk pasar dalam negeri. Itu pun tidak semuanya berkualitas.
"Di China, tingkat mutu ponsel berbeda-beda. Ada delapan kelas, mulai buatan pabrik hingga home industry," tuturnya. Indikasi bermutu atau tidaknya suatu merek, menurut Sutikno, yakni ponsel dijual secara bundling (sepaket dengan kartu seluler). ZTE, misalnya, vendor industri telekomunikasi terkemuka di China kini melakukan bundling dengan Telkomsel.
"Operator seluler tentu memilih ponsel yang berkualitas. Lalu lihat, ada pusat perbaikan ponsel atau tidak," katanya. Jika di kota tertentu terdapat tempat penjualan sekaligus pusat perbaikan, produsen dinilai serius memasarkan produknya.
Sementara itu, para pedagang ponsel di Bandung tak mengetahui produk yang benar-benar dibuat di China. Budiman (33), pengelola kios Roots Cell di BeMall, Bandung, mengaku tak mengetahui apakah ponsel diproduksi di China atau tidak.
"Saya enggak paham. Pokoknya selain merek-merek buatan Amerika Serikat, Jepang, atau Eropa itu saya anggap ponsel China," katanya. Saat ini, Budiman menaksir, terdapat lebih dari 10 merek ponsel China yang beredar. Adapun ponsel non-China hanya sekitar lima merek.
Mengembangkan R & D Dua vendor industri telekomunikasi terkemuka China adalah Huawei dan ZTE, yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) China. ZTE, seperti diakui Direktur Pemasaran Liu Lin, tak mau terjebak dalam persaingan ponsel murah asal China yang beredar di Indonesia. Namun, perusahaan penyedia alat komunikasi kelima terdepan dunia ini tetap ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar utamanya.
ZTE tidak sekadar melempar produk, tetapi memberikan layanan solusi jaringan, pemilihan peralatan yang tepat, hingga layanan purna-jual. Layanan ini memudahkan konsumen memecahkan masalah-masalah yang dihadapi saat menggunakan ponsel.
Selain itu, ZTE membantu menyediakan jaringan dengan para operator. Mereka membantu operator mengembangkan bisnis karena selama ini penjualan dilakukan dengan bundling melalui para operator.
Selain itu, ZTE mengembangkan resource and development (R & D). Di Indonesia, ZTE melakukan kerja sama dengan Institut Teknologi (IT) Telkom Bandung sejak 2006. "Awalnya, kerja sama tersebut hanya merupakan kerja sama di bidang pelatihan. Namun, saat ini sudah mulai menginjak pengembangan penelitian dengan menyertakan para akademisi di IT Telkom," ujar Pembantu Rektor Bidang Akademik Heroe Wijanto IT Telkom.
Saat ini mulai banyak industri raksasa di sektor IT yang bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Selain IT Telkom-ZTE, juga dijalin kerja sama antara sesama BUMN China, Huawei, dan Universitas Indonesia. Seyogianya, kesempatan ini dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk belajar dan menyerap pengetahuan. (DMU)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.