Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/10/2012, 07:30 WIB

AGNES ARISTIARINI

Hingga lebih dari seabad autisme dikenali, para ahli belum juga menemukan metode yang mujarab untuk mengatasinya. Penyebabnya yang multifaktor, terutama psikologis dan biologis, membuat upaya penanganan menjadi lambat.

Karena itu, setiap kali ada perkembangan pemahaman tentang autisme, publik selalu menyambut antusias. Data statistik menunjukkan, semakin banyak anak yang dideteksi menyandang autisme.

Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC)—bekerja sama dengan Asosiasi Dokter Anak Amerika Serikat—akhir Maret lalu, menyebutkan, satu dari setiap 88 anak di AS menyandang autisme dalam berbagai level.

Terus meningkat

Studi di Asia, Eropa, dan Amerika Utara mengidentifikasi prevalensi autisme mencapai 1 persen, bahkan di Korea Selatan dilaporkan prevalensinya 2,6 persen. Kasus autisme juga terus meningkat di Indonesia. Kalau 15 tahun lalu persentase autisme adalah 4 kasus dari 10.000 kelahiran, sekarang angka ini meningkat menjadi 20 kasus berbanding 10.000 kelahiran.

Autisme—berakar dari autos, kata dalam bahasa Yunani yang berarti sendiri—mendeskripsikan kondisi seseorang yang menarik diri dari interaksi sosial dan mulai dipakai awal 1900-an. Masalah ini menjadi salah satu gangguan perkembangan yang tumbuh paling cepat di seluruh dunia saat ini.

Berbagai faktor bisa menjadi pemicu, seperti kekurangan oksigen, protein, energi, dan zat-zat mikro. Demikian pula keracunan alkohol, kokain, merkuri, aluminium, timbal, juga radiasi, dan infeksi kehamilan menjadi penyebab lainnya.

Pengaruh berbagai faktor itu membuat pola pertumbuhan otak berubah. Volume otak berkembang lebih besar dengan kelainan pada hampir semua strukturnya, baik di sistem limbik yang mengatur emosi, penghubung otak kiri dan kanan, otak kecil, lapisan otak luar besar, maupun ganglia basalis dan batang otak.

Tidaklah mengherankan bila ciri-ciri autisme terkait dengan kemampuan otak: gangguan pada interaksi sosial, komunikasi, selain keterbatasan minat, dan imajinasi. Panca indra pun sering bermasalah dalam menerima rangsangan, termasuk sensor motoriknya. Perkembangan penelitian menunjukkan, spektrum gangguan autisme ini amat luas dengan gejala, kualitas, dan kuantitas yang khas pada setiap anak.

Pertengahan tahun ini tim dari RS anak di Boston, AS, sukses menggunakan electroencephalography (EEG) untuk mendeteksi dini gejala autisme. Metode EEG berhasil mendeteksi 33 pola spesifik EEG terkait autisme, yang amat membantu penegakan diagnosis sebelum usia tiga tahun sehingga bisa segera diintervensi.

Sebelumnya, para peneliti di Oxford yang menulis di jurnal Nature, mengabarkan keberhasilan mereka menemukan 300 gen—termasuk gen yang berperan mengembangkan koneksi di antara sel-sel otak—yang terlibat dalam gangguan tumbuh kembang ini lewat serangkaian uji genetik.

Pil baru

Menjelang akhir tahun 2012, kabar baik kembali terdengar. Masih dalam tahap percobaan, para ahli telah mengembangkan pil yang mampu memperbaiki gejala khas autisme: keterbatasan kemampuan berkomunikasi.

Dalam Scientific American terbaru, edisi November 2012, diuraikan tentang sindrom fragile X, suatu gangguan pada salah satu lokus dalam otak sehingga neuron terlalu banyak mengandung glutamat. Neuron adalah sel pengantar informasi dalam sistem saraf, sedangkan glutamat adalah asam amino yang berasal dari protein yang berfungsi sebagai neuro-transmitter: merangsang neuron mengirimkan informasi ke dan dari otak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com