Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Tragis Perempuan Bekas Anggota Parlemen Afganistan

Kompas.com - 12/08/2013, 13:20 WIB
KABUL, KOMPAS.com — Salah seorang perempuan pertama anggota parlemen Afganistan, Minggu (11/8/2013), mengungkapkan bahwa dia tidak lagi diterima di rumahnya setelah melarikan diri dari suaminya yang kasar dan keluarga yang tidak mengakuinya sebagai anak.

Noor Zia Atmar, 40 tahun, yang tahun 2005-2010 menjadi politisi tetapi sekarang tinggal di sebuah tempat penampungan (shelter), menambahkan bahwa kemajuan hak-hak kesetaraan jender di negara itu berantakan begitu pasukan Barat mundur.

Hal tersebut terjadi setelah dia bertugas pada parlemen pertama negara itu seusai kejatuhan Taliban. Pada masanya, parlemen telah menghasilkan sejumlah legislasi penting yang mendukung larangan terhadap lebih dari 20 tindak kekerasan terhadap perempuan. Namun, dia mengatakan kepada harian Inggris, Sunday Telegraph, "Kaum perempuan kini berada dalam kondisi yang lebih buruk. Setiap hari mereka dibunuh, telinga, hidung mereka dipotong. Bukan hanya perempuan di desa-desa, melainkan juga orang seperti saya."

Pemilihan umum yang mengantar Atmar jadi anggota parlemen berlangsung tahun 2005 setelah AS membantu negara itu merancang konstitusi baru yang menjamin langkah besar menuju kesetaraan jender dan bahwa seperempat kursi parlemen diperuntukkan buat perempuan. Atmar melakukan kampanye ketat dengan modal cekak, bahkan sampai menjual kalung emas demi membantu kampanye itu. Ia terpilih dan merupakan anggota parlemen yang banyak dipuji. Ia melakukan perjalanan ke India, Perancis, Turki, dan Inggris.

Upaya NATO mengamankan Afganistan selama 12 tahun terakhir telah menyebabkan lebih banyak anak perempuan memasuki pendidikan dan membuat suara kaum perempuan lebih didengar di negeri itu. Angka kematian ibu pun merosot.

Namun, kaum konservatif tampaknya sedang bangkit lagi. Mereka berharap selter-selter untuk kaum perempuan akan ditutup dan undang-undang pemilihan yang memungkinkan kaum perempuan memiliki setidaknya seperempat kursi di parlemen direvisi. Sejumlah upaya untuk menyetujui undang-undang yang disusun Atmar dan teman-temannya yang menetapkan hukuman bagi pemerkosaan dan pernikahan anak—tetapi tidak pernah diratifikasi parlemen— dibatalkan di tengah klaim bahwa hal itu tidak "Islami".

Menjelang masa jabatan Atmar berakhir, ia gagal terpilih lagi dan menikah dengan seorang pengusaha, yang tidak terkesan dengan kampanyenya untuk hak-hak perempuan. Suaminya juga menolak dia meninggalkan rumah. Dia mengatakan kepada Sunday Telegraph, "Dia (si suami) mabuk dan menuntut saya membersihkan sepatunya. Lalu dia akan berteriak suruh saya memakaikan lagi sepatunya, (itu) berulang-ulang. Jika saya menolak, dia akan memukul saya. Itu penyiksaan."

Atmar mengatakan, suaminya bahkan pernah melarang dirinya menggunakan telepon. Pada akhirnya, dirinya minta cerai. Namun, keluarga Atmar sangat tidak menyukai hal itu. "Mereka melihat wajah saya memar, dan ada bekas luka akibat pisau, tetapi mereka mengatakan ini sebuah masyarakat tradisional, bahwa saya akan membuat malu keluarga," katanya kepada Sunday Telegraph.

Mereka akhirnya meninggalkan Atmar ketika perempuan itu mencoba untuk mendapatkan pengacara. Dia kemudian pergi ke sebuah selter.

Atmar lalu menghubungi Kedutaan Besar Inggris. Namun, pihak kedutaan mengatakan, korban kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat diberi suaka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com