Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Cyberbully Makin Tak Terkendali

Kompas.com - 27/08/2013, 12:46 WIB
Penulis: Merry Magdalena*

Seorang anak terperanjat melihat laman Facebook-nya.  “Idih, ini ada temen Facebook posting foto cewek ngga pake apa-apa. Cewek itu masih SMP,” ia memperlihatkan postingan tak senonoh ke kakaknya. Mata si kakak nyaris keluar melihat pemandangan seorang anak perempuan usia 14-an bertelanjang dada dengan ekspresi malu-malu. Fotonya buram, nampak diambil dari kamera ponsel dengan resolusi rendah.

Ternyata itu belum apa-apa. Komentar di bawah foto tersebut jauh lebih mengerikan.

“Dasar per*k, berapa sih tarifnya?”

“Wah, sexy juga ya kamu, mau dong..”

Dan berbagai kalimat bernada miring, kasar, caci maki, dan pelecehan lain.

Anak perempuan yang fotonya disebarkan itu bukan pihak yang memposting foto tak senonoh tadi. Ia hanya korban dari pihak yang iseng, sakit hati, atau dendam. Karena pihak yang dendam itu punya data dirinya yang paling privasi, maka disebarkanlah fotonya, disertai dengan komentar seolah si korban yang sengaja memamerkan tubuhnya. Alhasil, ia jadi korban caci maki, pelecehan, dan banyak lagi. Untung lah foto itu hanya bertahan sehari di laman Facebook. Mungkin si pelaku takut dilaporkan ke polisi, atau sudah mendapat peringatan.

Jika Anda rajin mengamati laman Facebook  para Abege alias “Anak Baru Gede”, jangan heran kalau sering menemukan postingan serupa. Ada yang hanya caci maki di kolom komentar, isi postingan bernada vulgar, hingga foto tak senonoh. Itulah potret para user belia di ranah maya. Bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat. Pernah dengar kasus  Amanda Todd, seorang remaja putri yang bunuh diri akibat di-bully di internet dan dunia nyata? Kasusnya nyaris serupa, Amanda jadi korban pihak yang menyebarkan foto tak senonohnya di dunia maya.

Remaja yang menjadi korban cyberbully biasanya juga akan di-bully di dunia nyata, sebab kini dunia maya sudah sedemikian lekat dengan dunia nyata. Teman-teman Facebook seorang remaja mayoritas juga teman-temannya di sekolah, lingkungan dekat rumah, atau bahkan keluarga. Jadi apa yang terjadi di dunia maya, sangat berimbas di keseharian mereka. Bayangkan jika anak Anda jadi korban postingan orang tak bertanggungjawab di Facebook-nya, bukankah teman-teman sekolahnya juga akan melihatnya? Apakah mereka akan bersimpati? Tidak selalu, sebagian justru akan ikut mem-bully di dunia nyata.

Cyberbully dan Realbully

Kenapa Abege suka mem-bully temannya sendiri? Padahal itu teman sekolah, bahkan sekelas? Anak baru gede tergolong dalam kategori usia pra puber dan puber, di mana hormon dalam tubuhnya tengah bergejolak hebat. Mereka cenderung berlaku emosional, nekad, dan punya ambisi besar untuk membuktikan eksistensi diri. Begitu dilihat ada teman sebaya yang dianggap pesaing, maka nafsu untuk menjatuhkannya akan sangat luar biasa.

Problemnya, jika bully itu dilakukan di ranah maya, maka akan ada bukti digital yang tersimpan dalam tempo lama. Foto tak senonoh yang diposting di internet akan bertahan lama jika tak segera dihapus. Bahkan sia-sia juga dihapus ketika foto itu sudah tersebar ke seantero dunia, bahkan sudah dilipatgandakan.  Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan saat seorang anak sudah dewasa kelak, mendadak menemukan foto dirinya dalam keadaan tak senonoh yang diambil saat ia masih remaja. Malu? Sudah pasti. Trauma? Bisa sekali. Foto itu bisa menjadi bahan untuk pemerasan, membuat malu, bahkan menghancurkan reputasi kariernya.

Cyberbully kini kerap dianggap hal biasa, sekadar main-main di kalangan Abege. Hingga tak sadar lagi mana batasan etika. Sekadar mengata-ngatai teman di kolom komentar, mungkin masih dalam batas wajar. Tapi jika sudah menyebarkan hal-hal privasi seperti foto, video, atau data lain yang tak selayaknya diketahui umum, maka bisa berakibat fatal. Bagaimana mencegah ini terjadi? Saya akan kupas di artikel berikutnya. Untuk sementara, cobalah perhatikan laman Facebook atau timeline Twitter Anda. Adakah remaja yang menjadi korban cyberbully?

* Tentang Penulis: Merry Magdalena, pengamat social media, founder Netsains.Net, penulis buku Situs Gaul Gak Cuma buat Ngibul (Gramedia Pustaka Utama), Melindungi Anak dari Seks Bebas (Grasindo), UU ITE, Don’be The Next Victim (Gramedia Pustaka Utama), dan empat buku lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com