Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelajaran Krisis 1997/1998

Kompas.com - 10/09/2013, 08:06 WIB


KOMPAS.com -
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo, Jumat (6/9/2013), kepada wartawan, meminta agar kondisi perekonomian Indonesia tahun ini tidak dibandingkan dengan kondisi tahun 1997/1998. Permintaan Gubernur BI itu penting agar efek psikologis tidak turut memperburuk pelemahan rupiah terhadap dollar AS.

Trauma akan berulangnya krisis 1997/1998 memang membekas bagi semua pihak yang mengalaminya langsung. Salah satu yang membuat beberapa kalangan membandingkan kondisi tahun 1997 dengan 2013 adalah pemicu memburuknya perekonomian. Tahun 1997 dan 2013 sama-sama diawali dengan depresiasi rupiah terhadap dollar AS.

Waktu itu, 21 Juli 1997, melemahnya nilai tukar rupiah dikenal sebagai krisis moneter. Krisis moneter itu berkembang menjadi krisis ekonomi dan krisis politik, yang diakhiri mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Pelajaran atas krisis 1997/1998 itu, antara lain, dicatat oleh Hal Hill, Guru Besar Ekonomi Australian National University, dalam buku The Indonesian Economy in Crisis, Causes, Consequences, and Lessons (Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, 1999). Saat itu, 1 Juli 1997, mata uang baht Thailand mulai melemah terhadap dollar AS. Pelemahan baht tersebut menular ke Indonesia dua puluh hari kemudian, 21 Juli. Rupiah melemah 7 persen terhadap dollar AS. Pada 1 September 1997, pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi untuk meresponsnya.

Pada 8 Oktober, pemerintah meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Dua puluh hari kemudian, 28 Oktober, pasar modal anjlok, yang dikenal sebagai ”Selasa Hitam”. Pada 31 Oktober, pemerintah menandatangani perjanjian dengan IMF berikut fasilitas pinjaman siaga 38 miliar dollar AS. Tindak lanjut dari kesepakatan itu, 16 bank dilikuidasi pada 1 November. Pada 3 November, pemerintah kembali mengumumkan paket kebijakan ekonominya.

Pada 6 Januari 1998, pemerintah mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang dinilai tidak realistis. RAPBN 1998 itu mengasumsikan nilai tukar rupiah Rp 4.000 per dollar AS, pertumbuhan ekonomi 4 persen, dan inflasi 9 persen. Faktanya, pada 10 Januari, rupiah langsung menembus angka psikologis Rp 10.000 per dollar AS. Turbulensi ekonomi itu mulai mereda pada 3 Mei 1999 ketika pertumbuhan ekonomi triwulan I tercatat positif 1,34 persen.

Tahun 2013, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah mulai menembus Rp 10.000 per dollar AS pada 15 Juli, yaitu Rp 10.024 per dollar AS. Rupiah menembus Rp 11.000 per dollar AS pada 4 September. Posisi rupiah terendah terjadi pada 6 September, yakni Rp 11.200 per dollar AS. Jika dibandingkan sejak Jisdor diperkenalkan pada 20 Mei 2013, dengan kurs Rp 9.760 per dollar AS, rupiah telah melemah 14,75 persen.

Salah satu pelajaran yang ditarik dari lambatnya pemulihan ekonomi 1997/1998 dibandingkan dengan negara tetangga waktu itu adalah kesalahan respons kebijakan ekonomi yang diperlukan. Hal itu diperburuk oleh kompleksitas masalah politik, sosial, ekonomi domestik, dan pengaruh internasional. Korupsi, kolusi, dan nepotisme juga ikut memperparah keadaan.

Sekarang, keadaan jauh lebih baik. Pemerintah telah mengeluarkan empat paket kebijakan, 23 Agustus, terutama untuk menekan defisit transaksi berjalan karena impor minyak dan gas bumi yang tinggi. Bersamaan dengan itu, Otoritas Jasa Keuangan juga mengeluarkan kebijakan untuk menahan pelemahan indeks harga saham gabungan. Beserta bauran kebijakannya, BI telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 7 persen pada 29 Agustus.

Berdasarkan pengalaman tarik ulur implementasi kebijakan tahun lalu, konsistensi kebijakan pemerintah kiranya menjadi kunci untuk memulihkan ekonomi. (SUBUR TJAHJONO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com