Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TechTravel #10: Sebelum Diluncurkan, Setiap Ponsel Dibanting, Diinjak, dan Diplintir

Kompas.com - 20/02/2015, 21:05 WIB
Pepih Nugraha

Penulis

Oleh: Pepih Nugraha

KOMPAS.com - Bagaimana mahasiswa Indonesia memandang Huawei sebagai sebuah perusahaan mondial dan program pelatihan langsung di jantung Huawei, Daryus Chandra, mahasiswa S2 Teknik Elektro Universitas Gadjahmada mengakui manfaaat yang didapat, antara lain pengetahuan ICT dipelajari lebih dalam dan spesifik.

“Yang saya pelajari di bangku kuliah ada sedikit gap dengan kenyataan di lapangan. Dengan pelatihan ini gap itu tersisi,” katanya.

Tentang Huawei sendiri, Daryus semula menduga perusahaan itu sebagai end user untuk sebatas ponsel dan modem sebagaimana Samsung.

“Sekarang saya paham bisnis telekomunisi itu tidak hanya di barang konsumsi tetapi juga aspek enterprise dan penyedia jasa telekomunikasi atau service provider dan Huawei merupakan leading IT company di bidang itu,” katanya.

Saleh Havid, mahasiswa S2 Teknik Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung punya pandangan lain mengenai Tiongkok. Semula ia berpikir kota-kota besar di Tiongkok seperti Beijing, Shanghai, dan Shenzhen dengan penduduknya yang sangat padat lebih macet dan semrawut dibanding Jakarta.

“Ternyata infrastruktur yang mereka miliki sangat memadai, teratur dan sesuai dengan kapasitas penduduk. Berkat jalanan besar dan lebar dengan infrastruktur bagus, penduduk yang banyak pun tetap bisa terlayani secara memadai dan tidak overload,” kata Havid.

Sedangkan dari sisi teknologi informasi, Havid melihat teknologi terbaru dari ICT digarap dengan sungguh-sungguh, misalnya di jaringan telekomunikasi LTE (long term evolution) yang kelak menciptakan jaringan 5G.

LTE merupakan kelanjutan dari evolusi 2G, 3G, dan 4G. Menurut dia, Huawei fokus pada wireless dan bagaimana cara pengguna memiliki kapasitas yang lebih besar dari sekadar 3G atau 4G. Ke depan merupakan eranya Internet of Thing (IoT) di mana semua perangkat bakal terhubung ke internet, mulai dari smartphone sampai sensor udara di rumah, yang secara keseluruhan bakal memerlukan bandwidth besar. “Maka teknologi LTE sangat berguna untuk kebutuhan ini di masa depan,” katanya.

Radiah Hamdah, mahasiswi S1 Teknik Telekomunikasi Telkom University, Bandung, mengaku terkesan selama 12 hari berada Tiongkok. Ia banyak memetik manfaat, antara lain belajar bahasa Mandarin, kebudayaan China, bahkan belajar kaligrafi, seni dan melukis topeng di Beijing Language and Culture University.

Saat berada di Shanghai, katanya, dia berkesempatan bertemu dengan mahasiswa Shanghai International Studies University (SISU) yang belajar bahasa Indonesia sehingga saling bertukar pengetahuan. “Di Shenzhen saya belajar teknik informatika, sampai ke hal-hal teknis tentang transmisi, wireless, dan cloud computing,” katanya.

Para mahasiswa Indonesia ini memang bisa belajar aspek terkecil dari sebuah rantai produksi. Contoh sebelum sebuah produk Huawei dilempar ke pasar, misalnya, produk end user berupa smartphone itu harus lolos uji terlebih dahulu di laboratorium pengujian Global Compliance & Testing Center (GCTC) di Huawei Shanghai.

Sebuah ponsel yang akan dilempar ke pasar, setidaknya harus melalui sepuluh kamar uji. Antara lain Tumbling Barrel Tester di mana 10 gadget mengalami bantingan sebanyak 200 kali. Untuk tombol power, harus tahan uji sebanyak 200.000 kali tekan sedang tombol volume harus diuji 50.000 kali.

Setiap kelemahan yang mungkin terjadi saat sebuah ponsel atau phablet digunakan harus lolos uji, sampai ketika orang lupa menyimpan ponsel di celana jeans-nya. Uji ketahanan yang dilakukan adalah menggunakan beban tekanan 25 kilogram dan harus lolos uji sebanyak 2.000 kali.

Adapun uji ketahanan sebuah ponsel terhadap injakan kaki dilakukan oleh alat bernama Soft Press Tiredness Tester, di mana beban seberat 70 kilogram ditekan selama dua detik. “Pada saat ponsel terinjak pun seharusnya tidak mengalami kerusakan,” kata Yang Cheng Jun, Senior Tester Engineer di laboratorium GCTC itu saat memperagakan serangkaian testing kepada jurnalis Indonesia, termasuk Kompas.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com