Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
kolom

"Free", Menggali Rezeki Substitusi di Era Ekspansi Digital

Kompas.com - 23/02/2016, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Saya mengenal gitaris kondang ini bukan baru kemarin sore, sudah dari 1990-an, sejak masih bekerja sebagai pustakawan dan yang bersangkutan bekerja sebagai wartawan di tabloid “Nova”. Orang yang sedang saya bicarakan ini adalah Jubing Kristianto.

Sebagai orang yang saya klasifikasikan “nekat” dalam menapaki jalan hidupnya, saya tergerak menulis sosoknya di Harian Kompas edisi Sabtu, 30 Juni 2007.

Bagaimana tidak tertarik menulis tentangnya, wong keputusan untuk pindah pekerjaan dari jurnalis menjadi gitaris pasti “sesuatu” banget. Apalagi, kala itu pendapatan sebagai gitaris jauh lebih kecil dibanding perolehannya sebagai redaktur pelaksana, sebuah jabatan empat tingkat di atas jurnalis.

Terungkaplah, bahwa bekerja normal selepas lulus Kriminologi UI baginya hanya sekadar menyenangkan orangtua.

“Kalau boleh saya tidak sekolah, saya lebih memilih tidak sekolah dan hanya bermain gitar,” katanya saat saya wawancarai sembilan tahun lalu. Prinsip yang rada sangar memang.

Dan, pada suatu petang yang hangat beberapa pekan silam, Jubing berkirim pesan; “Aku sudah mengeluarkan album CD baru, nanti kukirim ke tempatmu!”

What? Benarkah ini pesan darinya? Ah, Jubing, kamu main-main rupanya! O, ternyata tidak. Jubing serius, ia tidak main-main. Apalagi setelah itu kemudian kirimannya tiba di tangan saya, sebuah album gitar tunggal berupa Compact Disc alias CD bertajuk “Pagi Putih”, sebuah rekaman gitar tunggal sebagaimana biasanya.

“Ini album kelimaku setelah album terakhir keempat rehat selama empat tahun,” kata Jubing lewat sebuah percakapan.

Saya tidak ingin mengupas isi albumnya yang seperti empat album sebelumnya berisi komposisi lagu anak dan lagu-lagu daerah Indonesia terkenal. Saya hanya ingin mengulas kenekatan --lagi-lagi kenekatan-- Jubing mengeluarkan album berbentuk CD itu.

Naluri saya terusik, di saat Disc Tara, sebuah nama besar toko hasil rekaman lagu dan musik dalam bentuk kaset maupun CD mengumumkan penutupannya pada akhir Desember 2015 lalu, kok bisa-bisanya Jubing malah mengeluarkan album baru? Berbentuk CD pula! Di mana CD itu bakal dipasarkan?

Keingintahuan membawa saya membuka percakapan dengannya melalui media komunikasi Facebook Messenger. Dari percakapan itulah saya tahu ihwal industri penjualan musik dalam berbagai bentuk “media tradisional” yang memang sedang terpuruk, khususnya penjualan hasil rekaman, baik lewat unduhan digital atau toko CD.

“Meski demikian, kegiatan membuat album rekaman tetap harus jalan dengan beberapa alasan,” kata Jubing.

Alasannya itu antara lain; sebagai musisi ada dorongan hati untuk terus menghasilkan karya baru, sebagai seniman ada keinginan memenuhi harapan para penggemar yang terus-menerus menanyakan kapan album berikutnya ada lagi.

Dan juga sebagai “aktualisasi diri” menghasilkan album baru adalah sarana promosi diri agar lebih banyak lagi orang mengetahui permainan musik dengan efeknya pada permintaan untuk tampil di panggung atau event lainnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com