Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dirut Smartfren: Interkoneksi Itu Sifatnya Kerja Sama Antara Operator

Kompas.com - 01/09/2016, 07:28 WIB
Fatimah Kartini Bohang

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengeluarkan Surat Edaran (SE) pada 2 Agustus lalu tentang penurunan tarif interkoneksi. Rencananya, Surat Edaran itu akan ditetapkan pada hari ini (1/9/2016).

Meski demikian, pemerintah pada Rabu (31/8/2016) lalu, memutuskan menunda penetapan tersebut hingga waktu yang belum dipastikan.

Baca: Kemenkominfo Tunda Keputusan Penurunan Tarif Interkoneksi

Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama Smartfren, Merza Fachys mengatakan, interkoneksi pada dasarnya bersifat Business to Business alias kesepakatan kerja sama antar operator. Jadwal 1 September cuma memastikan bahwa semua operator sudah memberikan Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) sesuai penghitungan masing-masing.

Selanjutnya, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang bakal melihat, apakah biaya DPI yang diajukan operator itu di bawah atau di atas biaya acuan, seperti yang tertera pada Surat Edaran.

Tarif acuan baru interkoneksi untuk percakapan suara lintas operator (off-net) yang ditetapkan Kemenkominfo bagi penyelenggara jaringan bergerak seluler adalah Rp 204, turun dari sebelumnya Rp 250.

Tarif tersebut merupakan satu dari 18 skenario panggilan, yang secara keseluruhannya terdapat penurunan rata-rata sebesar 26 persen.

Baca: Kemenkominfo Tetapkan Tarif Interkoneksi Baru

"BRTI nanti lihat operator mana yang DPI-nya di bawah acuan, mana yang di atas. Kalau di atas akan ditanya pertanggungjawaban lebih lanjut," kata Merza kepada KompasTekno via telepon, Rabu (31/8/2016) malam.

Pada rapat dengar pendapat (RDP) Komisi 1 DPR RI pekan lalu, para operator telah menyebut biaya interkoneksi rekomendasi masing-masing. Telkomsel mematok Rp 280, XL Rp 65, Indosat Rp 86, Smartfren Rp 100, dan Hutchison Tri Rp 120.

Bagaimana kesepakatan Business to Business itu?

Kesepakatan kerja sama antar operator, menurut Merza, bisa berbeda-beda asalkan terjadi harmonisasi. Misalnya antara Smartfren dan XL menyepakati tarif Rp x, maka panggilan dari pelanggan Smartfren ke XL maupun XL ke Smartfren harus sama senilai Rp x.

Tarif Rp x itu bisa beda antara kesepakatan Smartfren dengan XL. Intinya, antar dua operator harus sepakat sama. Jika tidak, ada dampak buruk yang bisa terjadi.

"Kalau beda akan meningkatkan trafik on-net (beda operator) yang artinya membuat pengguna malas berhubungan ke beda operator," ia menjelaskan.

Saat ini, perbedaan tarif on-net dan off-net dinilai masih sangat signifikan hingga dua kali lipat. Kesepakatan biaya interkoneksi antar dua operator diharapkan dapat menurunkan gap tersebut.

Bagaimana jika tidak sepakat?

Jika ada operator yang tak menemukan jalan tengah dalam menyepakati biaya interkoneksi Business to Business, kata Merza, barulah urusannya dibawa ke Menkominfo.

"Di situ baru eskalasi menteri," ujarnya.

Menurut Merza, operator dominan seharusnya mematok biaya interkoneksi paling rendah. Sebab, meski biaya investasinya besar dalam membangun jaringan, operator dominan tak akan rugi karena melayani miliaran panggilan suara tiap bulannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com