KOMPAS.com - Gedung-gedung tinggi dengan kerlip lampu beraneka rupa, jalanan gemerlap seolah sungai cahaya, dan biru temaram langit senja, pemandangan hutan beton perkotaan saat malam hari memang tak kalah memukau dibanding hutan sungguhan.
Dalam seni visual -termasuk fotografi- penggambaran lanskap urban lazim disebut dengan istilah cityscape. Meski bisa menghasilkan jepretan yang indah, proses pemotretannya pada sore atau malam hari kerap menimbulkan tantangan tersendiri lantaran situasi yang dihadapi.
Bagaimana cara memperoleh foto cityscape yang memukau? Fotografer Yuliandi Kusuma dari Digital Camera Indonesia yang kerap memotret cityscape berbagi sejumlah tips dalam sebuah workshop beberapa waktu lalu. Berikut selengkapnya.
Hati-hati
Pertama dan terutama, menurut Yuliandi, memotret cityscape yang seringkali dilakukan dari ketinggian gedung di area terbuka menuntut kehati-hatian ekstra.
Angin sering berembus kencang, belum lagi faktor cuaca seperti hujan dan petir yang mesti diantisipasi dengan benar untuk menyelamatkan diri sendiri dan peralatan.
Supaya stabil dalam melakukan long exposure di tengah terpaan angin, tripod bisa ditambahi beban seperti tas. Biasanya terdapat kait di bagian pangkal kaki tripod yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini.
Long exposure dengan kecepatan rana lama (hitungan beberapa detik atau lebih) diperlukan untuk mengumpulkan cahaya cukup di waktu malam hari. Teknik ini juga membuat benda bergerak seperti awan atau air terlihat mulus, buram karena gerakan alami. Lampu-lampu kendaraan di jalanan pun akan tampak seperti sungai cahaya.
Selain menjaga keselamatan diri, dia mewanti-wanti agar fotografer juga menjaga keamanan orang lain. “Peralatan seperti tripod, atau bahkan tutup lensa mesti dijaga agar jangan sampai jatuh. Bahaya karena bisa mencederai orang yang ada di bawah,” katanya.
Baca: Kamera Mirrorless Tumbuh Pesat di Indonesia
Bawa lensa ultra wide dan superzoom
Yuliandi merekomendasikan untuk turut membawa lensa tele atau superzoom karena ada kalanya obyek atau sepotong pemandangan yang bisa dibingkai lebih indah dengan perspektif tele.
Dia mencontohkan sebuah foto pencakar langit Jakarta yang dilatarbelakangi gunung Salak. Gunung bisa tampak sedemikian dekat atau besar karena efek background compression dari sudut pandang tele.
Soal depth of field, tergantung ukuran sensor, biasanya bukaan sekitar F11 sudah cukup untuk mendaptkan ruang tajam yang lebar dari jarak dekat hingga jauh. Tapi tak dilarang pula memakai aperture lebar untuk memainkan efek depth of field/bokeh.
Seimbangkan exposure dengan graduated ND filter
Ketika exposure langit pas, exposure ground bisa underexposed sehingga gelap. Begitu juga sebaliknya, ketika mengatur exposure yang pas untuk ground, bagian langit bisa overexposed sehingga kelewat terang.
Untuk mengakali hal tersebut, aksesori yang lazim dipakai adalah filter graduated ND. Filter ini mengurangi cahaya di bagian atas frame saja (langit) sampai batasan tertentu. Graduated ND tersedia dalam berbagai macam jenis, tergantung tingkat kekuatan pengurangan cahaya dan gradasi di batas area terang dan gelap.
Semakin luas rentang dynamic range kamera, semakin luas pula rentang tone yang bisa ditangkap mulai dari area gelap hingga area terang sehingga mempermudah pengaturan exposure saat editing. Biasanya, semakin besar sensor kamera, maka semakin luas pula rentang dynamic range.
Baca: Pasaran Kamera Terjun Bebas karena Smartphone
Pilih point of interest
Teknik komposisi yang umum dipakai di fotografi landscape juga berlaku saat memotret cityscape. Yuliandi menganjurkan agar memilih obyek yang bisa menjadi point of interest.
Fungsinya sebagai "jangkar" yang akan menarik mata ketika melihat foto, sebelum mengalihkan pandangan ke bidang lain dalam frame.
"Ini perlu dilakukan untuk memandu pandangan mata saat melihat foto, karena semua hal bakal tampak serupa dari ketinggian," jelas Yuliandi.
Fotografer dapat memakai aneka macam obyek sebagai point of interest. Bisa berupa landmark, gedung tertentu yang ditonjolkan, atau bisa juga berupa momen yang menarik seperti ketika suatu daerah tertutup cuaca atau disinari matahari dari sela-sela awan.
Jika memungkinkan, sebaiknya jangan menaruh point of interest di daerah pinggir frame agar tidak tampak miring karena efek distorsi lensa.
Baca: Jokowi Jadi Bahan Uji Coba Kamera Baru Kaesang
Pilih waktu dan tempat yang tepat
Layaknya foto landscape pula, pemilihan tempat dan waktu pemotretan bisa memberikan efek yang sangat kentara pada hasil foto.
Untuk mendapatkan nuansa biru pada langit menjelang malam, pemotretan bisa dilakukan pada "blue hour", yakni saat senja atau pagi hari di mana matahari berada di bawah horizon.
Apabila sudah malam, maka langit akan tampak gelap, sementara pemotretan saat siang hari cenderung datar karena tidak ada nyala lampu.
Untuk mengatasi foto yang warnanya kurang menarik karena faktor waktu atau cuaca kurang mendukung (misalnya sedang mendung), Yuliandi menyarankan agar coba mengubahnya menjadi hitam putih.
"Apabila ingin mendapatkan cahaya lampu maksimal dari gedung-gedung, sebaiknya memoret saat weekday karena lampu gedung cenderung dimatikan malam hari di akhir pekan," kata Yuliandi.
"Akrab" dengan sekuriti
Demi memperoleh foto-foto yang luas dan dramatis dari atap gedung, biasanya diperlukan proses perizinan yang cukup memakan waktu.
Untuk mempermulus urusan ini, Yuliandi menyarankan agar mendekati pihak sekuriti gedung. Tentu, fotografer juga harus berkomitmen untuk menjaga keamanan diri sendiri dan orang lain.
"Ingat-ingat keselamatan dan harus jago melobi satpam," pungkasnya.
Baca: Apa Itu Kamera Mirrorless, Bedanya dengan DSLR?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.