Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkenalan dengan Kamera Film yang Kembali Digandrungi di Indonesia

Kompas.com - 05/08/2017, 10:46 WIB
Oik Yusuf

Penulis

KOMPAS.com - Semenjak kemunculan kamera digital di penghujung abad ke-21, popularitas kamera film lambat laun makin menurun. Para pabrikan kamera menghentikan produksi kamera film. Sementara pembuatan roll film pun banyak disetop.

Namun kamera film tak lantas mati. Segelintir orang masih tetap setia menjepret dengan medium analog ini. Belakangan, kamera film malah kembali naik daun dan kembali digunakan, khususnya oleh anak-anak muda.

Sebuah survei yang dilakukan pada 2015 oleh Ilford Photo, salah satu pabrikan kamera film asal Inggris, menunjukkan bahwa 60 persen pengguna kamera film baru mulai memakai medium tersebut dalam waktu lima tahun terakhir. Sebanyak 30 persen dari mereka berumur di bawah 35 tahun.

Hasil-hasil jepretan kamera film pun bermunculan di layanan photo sharing populer Instagram, termasuk di Indonesia yang antara lain mengemuka lewat tagar 35mmindo. Tagar 35mm juga banyak digunakan oleh fotografer film untuk menunjukkan karyanya di Instagram. (Baca: Era Digital, Kenapa Anak Muda Kembali ke Kamera Analog?)

Sebenarnya apa itu kamera film? Apa pula perbedaannya dengan kamera digital yang mendominasi saat ini?

Sensor dan film

Istilah "analog" sebenarnya kurang tepat untuk menggambarkan kamera film, karena kamera digital sekalipun sebenarnya menangkap gambar dengan proses analog, yakni mengubah spektrum cahaya menjadi sinyal listrik (analog) yang kemudian dikonversi menjadi data digital lewat converter.

Untuk mudahnya, perbedaan utama antara kamera film dan digital terletak pada medium penangkap gambar. Alih-alih sensor seperti kamera digital, kamera film menggunakan lembaran emulsi film yang sensitif terhadap cahaya.

Kamera digital (kiri) memakai sensor sebagai medium penangkap gambar. Sensor adalah bagian persegi yang tampak berwarna-warni di tengah lubang mounting lensa kamera. Sementara kamera film memakai lembaran emulsi film yang biasanya tersimpan dalam rol berupa kemasan silinder. Inilah perbedaan yang paling mendasar di antara keduanya.Adorama, Ryan Sahb Kamera digital (kiri) memakai sensor sebagai medium penangkap gambar. Sensor adalah bagian persegi yang tampak berwarna-warni di tengah lubang mounting lensa kamera. Sementara kamera film memakai lembaran emulsi film yang biasanya tersimpan dalam rol berupa kemasan silinder. Inilah perbedaan yang paling mendasar di antara keduanya.

Emulsi film berbasis perak halida ini akan mengalami reaksi kimia begitu diekspos ke cahaya. Reaksi tersebut menghasilkan gambar laten yang belum terlihat di lembaran film. Gambar itulah yang kemudian dimunculkan lewat proses pencucian (development) dengan serangkaian cairan kimia.

Selama ratusan tahun, sejarah fotografi melulu mengandalkan reaksi kimia untuk menangkap gambar. Penemu asal Perancis, Joseph Nicephore Niepce, menciptakan plat logam berlapis Bitumen yang sensitif terhadap cahaya untuk menangkap foto pertama di dunia pada 1827.

Replika camera obscura.Photo-museum.org Replika camera obscura.
Kameranya hanya alat sederhana berupa camera obscura, yakni kotak kayu tertutup yang di salah satu sisinya ada lubang berlensa yang memproyeksikan gambar pemandangan di depan lensa ke sisi dalam bagian belakang kamera. Sebelum eksperimen Niepce, camera obscura hanya digunakan sebagai alat bantu gambar untuk pelukis.

Lempengan lalu berganti menjadi rol film dan kertas foto. Sementara, kamera turut berevolusi, semakin lama menjadi semakin ringkas dan ringan sehingga lebih mudah untuk dibawa-bawa.

Meskipun alatnya sudah banyak berubah menjadi beragam ukuran dan bentuk, selama ratusan tahun, prinsip perekaman gambar kamera film tetap sama, yakni menangkap gambar permanen dengan bantuan bahan kimia yang bereaksi terhadap cahaya.

Peralihan ke digital

Cara perekaman gambar oleh kamera baru benar-benar berubah setelah kemunculan sensor gambar digital. Berbeda dari medium film yang seolah mencetak gambar di lembaran bahan kimia dengan cahaya, sensor menyimpan gambar dalam bentuk data digital dari sinyal analog yang sebelumnya sudah dikonversi.

Gambar digital terdiri dari ribuan hingga jutaan titik picture element (pixel) kecil yang bisa dilihat dengan melakukan zoom in hingga titik tertentu.

Gambar yang ditangkap sensor kamera digital terdiri dari jutaan piksel. Tiap piksel adalah persegi kecil yang menyusun keseluruhan gambar. Piksel bisa diamati secara individual apabila sebuah gambar digital di-zoom in secara ekstrim seperti pada gambar kanan yang tampak kotak-kotak (pixellated) karena terlalu diperbesar sehingga memperlihatkan susunan piksel secara jelas. Gambar di sisi kiri adalah foto digital keseluruhan dari gambar di sisi kanan. Kotak merah menandai area inset untuk gambar kanan.Oik Yusuf/ KOMPAS.com Gambar yang ditangkap sensor kamera digital terdiri dari jutaan piksel. Tiap piksel adalah persegi kecil yang menyusun keseluruhan gambar. Piksel bisa diamati secara individual apabila sebuah gambar digital di-zoom in secara ekstrim seperti pada gambar kanan yang tampak kotak-kotak (pixellated) karena terlalu diperbesar sehingga memperlihatkan susunan piksel secara jelas. Gambar di sisi kiri adalah foto digital keseluruhan dari gambar di sisi kanan. Kotak merah menandai area inset untuk gambar kanan.
Jumlah piksel penyusun inilah yang dipakai untuk menentukan resolusi sebuah gambar digital. Semakin besar angkanya, semakin banyak piksel yang menyusun gambar, semakin tajam dan detil tampilannya. Satuan resolusi digital yang paling umum dipakai sekarang adalah mega (jutaan) piksel.

Kamera digital pertama diciptakan oleh engineer Kodak bernama Steve Sasson pada 1975, namun kamera digital baru mulai memasyarakat dan menggeser kamera film pada awal abad ke-21.

Gambar yang terpatri di film tidak terdiri dari jutaan piksel seperti sensor digital, melainkan partikel-partikel bahan kimia. Pabrikan film mengukur ketajaman dengan tingkat spatial resolution alias kemampuan menangkap detil-detil kecil dalam gambar. Spatial resolution biasanya dinyatakan dalam satuan garis per milimeter (lines/mm).

Komponen dan jenis kamera film

Ragam kamera yang dapat dikategorikan sebagai kamera film beraneka rupa karena sejarah panjangnya dari abad ke-19 hingga awal abad ke-21, mulai dari kamera yang muat di kantong (pocket camera) hingga view camera (large format) berukuran setinggi orang dewasa.

Untuk menyederhanakan, jenis kamera bisa dibedakan dari format (ukuran) film yang digunakan, misalnya film 135 (35mm, full frame), film 120 (62mm, medium format), dan sheet film untuk kamera large format.

Format film yang paling umum digunakan adalah film 135. Film 35mm ini mulai dipopulerkan oleh perusahaan kamera asal Jerman, Leica, pada awal abad ke-20 karena ukurannya kecil dan fisik kamera yang memakainya bisa dibuat kecil pula dibanding kamera-kamera lain pada masa itu.

Jenis kamera yang memakai film 135 pun bisa dibeda-bedakan lagi menjadi beberapa, seperti rangefinder, kamera saku (compact), SLR (single lens reflex), dan kamera instan (Polaroid).

Contoh kamera film modern. Dari kiri ke kanan: Leica M7 (rangefinder), Nikon FM10 (SLR), dan Polaroid 600 (kamera instan).Leica, Nikon, Polaroid Contoh kamera film modern. Dari kiri ke kanan: Leica M7 (rangefinder), Nikon FM10 (SLR), dan Polaroid 600 (kamera instan).

Di era digital, tipe-tipe ini tetap eksis. Prinsip kerjanya tetap sama. Hanya saja, medium penangkap gambarnya berubah dari film menjadi sensor elektronik. Kamera SLR, misalnya, kini menjelma jadi DSLR (Digital Single Lens Reflex), sementara kamera instan “hybrid” modern sudah bisa merekam gambar dalam format digital di memory card, selain mencetaknya secara langsung di kertas khusus.

Contoh kamera digital modern. Prinsip kerja masing-masing tipe kamera tetap sama dengan kamera film, hanya saja medium penangkap gambarnya yang berberda. Dari kiri ke kanan: Leica Typ-240 (rangefinder), Nikon D810 (DSLR) dan Fujifilm Instax SQ10 (kamera instan hybrid, dengan sensor digital dan memory card).Leica, Nikon, Fujifilm Contoh kamera digital modern. Prinsip kerja masing-masing tipe kamera tetap sama dengan kamera film, hanya saja medium penangkap gambarnya yang berberda. Dari kiri ke kanan: Leica Typ-240 (rangefinder), Nikon D810 (DSLR) dan Fujifilm Instax SQ10 (kamera instan hybrid, dengan sensor digital dan memory card).

Komponen kamera film memiliki perbedaan dari kamera digital terkait mekanisme kerja penggunaan film sebagai medium. Punggung kamera film bisa dibuka untuk memasukkan rol film. Di dalamnya pun ada spool untuk meregangkan film, pressure plate untuk meratakan film di depan shutter, dan tuas atau motor untuk menggulung film kembali ke kemasannya setelah terpakai.

Sementara itu, punggung kamera digital biasanya tidak bisa dibuka lantaran sensor sudah tertanam permanen di bodi kamera. Namun ada juga beberapa kamera (medium dan large format) yang mediumnya bisa diubah dari film ke digital dengan menambah alat “digital back” berisi sensor ke bagian belakang.

Selain medium penangkap gambar, komponen-komponen lainnya bisa dibilang sama. Baik kamera digital maupun film sama-sama memiliki jendela bidik (viewfinder) untuk membidik gambar, shutter mekanik yang membuka dan menutup kembali untuk mengambil exposure alias menjepret foto, serta rating sensitivitas (ISO/ ASA) medium penangkap gambar terhadap cahaya.

Bagaian belakang kamera film (35mm rangefinder) lawas Nikon S2 yang terbuka sehingga memperlihatkan ruang film di dalamnya. Kotak hitam di bagian tengah adalah shutter. Lembaran film dibentangkan di belakang shutter ini agar terekspos cahaya ketika shutter dibuka. Di pojok kiri atas terdapat jendela bidik (viewfinder). Di sisi kiri dan kanan terdapat spool film untuk mengulur dan memasukkan kembali lembaran film ke dalam rol kemasannya. Yoga Hastyadi Widiartanto/KOMPAS.com Bagaian belakang kamera film (35mm rangefinder) lawas Nikon S2 yang terbuka sehingga memperlihatkan ruang film di dalamnya. Kotak hitam di bagian tengah adalah shutter. Lembaran film dibentangkan di belakang shutter ini agar terekspos cahaya ketika shutter dibuka. Di pojok kiri atas terdapat jendela bidik (viewfinder). Di sisi kiri dan kanan terdapat spool film untuk mengulur dan memasukkan kembali lembaran film ke dalam rol kemasannya.

Contoh komponen kendali di panel atas di sebuah kamera film lawas, Nikon S2. A) Tuas pengokang film atau winding lever. B) Tuas penggulung film atau rewinding crank. C) Counter jumlah frame yang tersisa dari rol film yang terpasang. D) Tombol shutter release untuk melakukan exposure. E} Kenop pengatur kecepatan shutter. F) Accessory shoe untuk memasang aksesori seperti lampu flash. G) Kenop pemilih kecepatan sinkronisasi shutter dengan lampu flash.Yoga Hastyadi Widiartanto/KOMPAS.com Contoh komponen kendali di panel atas di sebuah kamera film lawas, Nikon S2. A) Tuas pengokang film atau winding lever. B) Tuas penggulung film atau rewinding crank. C) Counter jumlah frame yang tersisa dari rol film yang terpasang. D) Tombol shutter release untuk melakukan exposure. E} Kenop pengatur kecepatan shutter. F) Accessory shoe untuk memasang aksesori seperti lampu flash. G) Kenop pemilih kecepatan sinkronisasi shutter dengan lampu flash.

Beberapa komponen mengalami perubahan ke bentuk yang lebih modern di kamera digital. Misalnya jendela bidik yang kini banyak digantikan LCD, atau electronic shutter yang menggantikan shutter mekanik. Kendati demikian, fungsi komponen-komponen tersebut tetap sama.

Teori segitiga exposure pun tetap berlaku di kamera digital seperti halnya kamera film. Pengguna kamera film dan digital sama-sama harus mempertimbangkan kecepatan rana (shutter), bukaan lensa (aperture), dan sensitivitas medium (ISO/ ASA) saat menjepret agar mendapatkan exposure sesuai keinginan.

Kamera digital dan film biasanya sudah memiliki alat light metering terintegrasi untuk melakukan pengukuran exposure secara otomatis.

Kecuali untuk kamera film tua (buatan dekade 50-an atau lebih lawas) yang kerap harus menambah light meter eksternal secara terpisah. Atau tidak bisa ditambahi sama sekali sehingga penggunanya harus mengukur cahaya secara manual dengan beberapa panduan seperti aturan "sunny sixteen".

Perbedaan hasil jepretan kamera film dan digital

Karena memakai jenis medium yang berbeda, gambar akhir hasil jepretan kamera digital dan film tak pelak juga berlainan. Ada beberapa perbedaan yang bisa diuraikan.

1. Bentuk hasil akhir

Gambar hasil akhir kamera digital berupa data digital yang bisa langsung diakses dan dipindah-pindahkan ke perangkat  digital lain semisal komputer atau smartphone. Data digital ini biasanya disimpan dalam kartu memori yang mampu menampung hingga ribuan gambar, tergantung ukuran file foto dan kapasitas memory card.

Hasil akhir kamera film berupa gambar laten di lembaran film yang mesti dimunculkan dan dibuat permanen lewat proses development dengan sejumlah cairan kimia, kemudian diperbesar (enlarge) sesuai kebutuhan untuk dicetak di kertas film. Jumlah frame foto film yang bisa disimpan dalam satu media (rol film) jauh lebih sedikit dibandingkan kamera digital (kartu memori). Satu rol film 135 misalnya, hanya berisi 36 frame.

Proses menuju hasil akhir pada kamera film memang lebih rumit, tapi sekaligus menambahkan satu tahapan yang bisa dimanfaatkan untuk memodifikasi tampilan foto final, yakni proses pencucian.

Keterbatasan jumlah frame yang tersedia juga umumnya menyebabkan pengguna kamera film lebih berhati-hati dan banyak pertimbangan sebelum menekan tombol shutter.

Sebagian orang berpendapat hal ini menyebabkan tiap frame foto analog cenderung lebih bagus secara estetika karena dipertimbangkan secara matang, dibanding jepretan kamera digital yang memungkinkan penggunanya menjepret sebanyak mungkin sesuka hati.

2. “Noise" dan "Grain”

Contoh tekstur grain yang muncul di hasil cetak film Agfa 1000 RS. Gambar kanan memperlihatkan detil tampilan grain dari frame keseluruhan di gambar kiri.Eddi Laumanns/ Wikipedia Contoh tekstur grain yang muncul di hasil cetak film Agfa 1000 RS. Gambar kanan memperlihatkan detil tampilan grain dari frame keseluruhan di gambar kiri.
Di hasil jepretan kamera digital dan film kadang muncul “tesktur” berupa bintik-bintik. Di foto digital, bintik-bintik ini lazim disebut noise. Asalnya dari gangguan sinyal yang dihasilkan oleh sirkuit elektronik penangkap gambar, entah karena panas atau perubahan sinyal listrik.

Tekstur bentik-bintik serupa di jepretan kamera film disebut sebagai “grain”. Sebabnya bukan berakar dari gangguan sinyal, melainkan partikel-partikel kimia dalam lembaran film.

Noise dan grain biasanya makin tampak apabila sensitivitas sensor atau film meningkat. Film ASA 400 misalnya, cenderung memiliki grain berukuran lebih besar dan lebih terlihat dibandingkan film ASA 100.

Kendati bisa mengganggu, kemunculan tekstur bintik-bintik ini sering pula dengan sengaja dimanfaatkan untuk menambah efek artistik, utamanya pada foto hasil jepretan kamera film.

3. Dynamic range

Contoh perbandingan gambar yang memiliki dynamic range lebih tinggi (kanan) sehingga mampu menangkap detil dengan lebih baik di area gelap dan terang. Perhatikan sisi langit di gambar kanan yang masih memperlihatkan detil berupa bentuk awan, dibanding langit di gambar dengan dynamic range rendah (kiri) yang hanya berupa warna putih polos tanpa detil.Oik Yusuf/ KOMPAS.com Contoh perbandingan gambar yang memiliki dynamic range lebih tinggi (kanan) sehingga mampu menangkap detil dengan lebih baik di area gelap dan terang. Perhatikan sisi langit di gambar kanan yang masih memperlihatkan detil berupa bentuk awan, dibanding langit di gambar dengan dynamic range rendah (kiri) yang hanya berupa warna putih polos tanpa detil.
Dynamic range adalah rentang tonal yang bisa ditangkap oleh sensor kamera atau film dari titik paling terang ke yang paling gelap. Kemampuan dynamic range, misalnya, menentukan apakah subyek foto yang mengalami backlight akan gelap total atau masih terlihat raut wajahnya.

Semakin tinggi dynamic range, semakin baik pula kemampuan sensor kamera digital atau film untuk menangkap semua detil foto di area gelap dan terang.

Dynamic range kamera digital awalnya tertinggal dari film. Namun sensor digital modern kini sudah mampu menghasilkan dynamic range yang bisa menandingi atau melewati kemampuan film.

Kamera digital dan gadget modern saat ini juga sudah banyak dibekali fitur High Dynamic Range (HDR) untuk memperluas dynamic range dengan menjepret beberapa foto dengan exposure berbeda dan menggambungkan hasilnya menjadi satu frame akhir.

4. Sensitivitas terhadap cahaya

Seperti film, sensor kamera digital memiliki ukuran sensitivitas terhadap cahaya. Standar yang digunakan sama, yakni ISO (ASA). Sensitivitas sensor digital saat disetel di angka ISO 200 sama dengan film ISO/ASA 200, demikian juga sebaliknya.

Di kamera digital, rating sensitivitas ini berlaku untuk sensor dan bisa diubah-ubah kapanpun sesuai keinginan. Di kamera film, rating sensitivitas hanya bisa diubah dengan mengganti film yang bersangkutan karena masing-masing film memiliki rating sensitivitas individual yang berbeda, misalnya ASA 50 dan ASA 400. Film modern biasanya tersedia dalam rating sensitivitas ISO 50 hingga 3.200.

Sensor digital memiliki sensitivitas maksimum yang bisa jauh lebih tinggi, mencapai kisaran ratusan ribu.Semakin tinggi sensitivitas, maka semakin peka pula sensor/film terhadap cahaya sehingga pengguna bisa memotret dalam kondisi lebih gelap atau menjaga kecepatan shutter di kisaran tinggi.

Kecepatan shutter yang tinggi biasanya digunakan untuk "membekukan" tampilan subyek yang bergerak cepat sehingga tidak buram karena motion blur, seperti pada foto mobil di atas.

5. Karakter

Hasil gambar kamera digital (kiri) bisa memiliki perbedaaan karakter dengan film (kanan), misalnya dalam hal tonal warna kulit (skin tone) subyek orang. Dua foto ini merupakan jepretan salah satu pendiri Soup n Film, Jerry Surya. Karya-karyanya bisa dilihat di akun Instagram @passiononfilm.Jerry Surya Hasil gambar kamera digital (kiri) bisa memiliki perbedaaan karakter dengan film (kanan), misalnya dalam hal tonal warna kulit (skin tone) subyek orang. Dua foto ini merupakan jepretan salah satu pendiri Soup n Film, Jerry Surya. Karya-karyanya bisa dilihat di akun Instagram @passiononfilm.
Film memiliki “karakter” tampilan yang berbeda-beda antar merek dan jenisnya. Film slide Fujifilm seri Velvia, misalnya, dikenal menghasilkan warna dengan saturasi dan kontras tinggi sehingga tampak mencolok dan sesuai untuk foto-foto pemandangan.

Film negatif Kodak Portra cenderung menghasilkan warna dan kontras lebih halus yang cocok untuk dipakai memotret orang. Sementara, film negatif hitam-putih Kodak Tri-X memiiki karakter kontras dan grain yang terlihat agak kasar tapi banyak disukai.

Sensor kamera digital pun memiliki karakter, tergantung tipe dan konstruksi sensor, serta software pengolah gambar yang digunakan untuk menghasilkan foto akhir. Masing-masing pabrikan kamera digital punya “resep” olahan gambar sendiri untuk menghasilkan tampilan yang khas.

Karakter jepretan kamera digital bersifat permanen karena sensor biasanya tidak bisa diganti. Sebaliknya, pengguna kamera film bisa dengan mudah berganti jenis film untuk mendapatkan karakter foto yang dicari.

Jenis film

Film yang biasa dipakai untuk untuk kamera bisa dibedakan berdasarkan format (bentuk dan ukuran) populer, yakni:

1. Film 135 atau 35mm, untuk kamera ringkas seperti tipe rangefinder. Biasanya 1 rol film 35mm terdiri dari 36 frame. Firm 135 merupakan format film paling populer, dan karena itu paling mudah didapatkan dan diproses (develop).

2. Film 120 atau medium format, untuk kamera-kamera berukuran lebih besar. Satu rol film 120 biasanya berisi 12 atau 16 frame. Pengolahannya lebih sulit dan lebih jarang ditemukan dibanding film 135.

3. Film 4x5 inci, 8x10 inci, dan seterusnya, atau disebut juga large format/sheet film. Biasanya film berukuran terbesar ini hanya digunakan di view camera/land camera tua, yang ukurannya sangat besar pula dan mesti duduk di atas tripod.

Untuk tipe film, ada tipe negatif (print film) dan positif (reversal/ slide) untuk masing-masing format. Film negatif menghasilkan warna-warna yang terbalik dibandingkan scene aslinya di dunia nyata. Area gelap menjadi terang, hitam menjadi putih, dan seterusnya.

Contoh film berbeda ukuran dan tipe dalam keadaan sudah dicuci (develop). Lembaran dengan frame berukuran paling besar di ujung kiri merupakan film medium format positif. Lembaran-lembaran dengan frame kecil berwarna di tengah adalah film 35mm positif, sementara tiga lembar film di ujung kanan yang berwarna kuning dan cokelat adalah film 35mm negatif.Fatimah Kartini Bohang/ KOMPAS.com Contoh film berbeda ukuran dan tipe dalam keadaan sudah dicuci (develop). Lembaran dengan frame berukuran paling besar di ujung kiri merupakan film medium format positif. Lembaran-lembaran dengan frame kecil berwarna di tengah adalah film 35mm positif, sementara tiga lembar film di ujung kanan yang berwarna kuning dan cokelat adalah film 35mm negatif.

Saat dicetak, film negatif melalui proses inversi untuk “membalik” warna agar tampil sesuai aslinya. Film negatif biasanya memiliki warna dan kontras yang halus, serta rentang dynamic range luas sehingga lebih toleran terhadap kesalahan exposure.

Film positif atau slide menghasilkan gambar yang sedari awal memiliki warna-warna sesuai scene aslinya sehingga tidak perlu diinversi seperti film negatif. Selain dicetak, frame indovidual dari film ini bisa langsung dipasang di slide untuk proyeksi.

Filim positif cenderung memiliki saturasi warna dan kontras yang tinggi, tapi rentang tonalnya (dynamic range) tidak seluas film negatif sehingga lebih rentan terhadap kesalahan exposure. Area yang terlalu terang rawan menjadi “botak” alias putih polos tanpa detil, sementara area yang kurang cahaya bisa menjadi sangat gelap.

Pabrikan-pabrikan film memproduksi film negatif dan positif dalam berbagai merek dan varian. Masing-masing memiliki karakter tampilan gambarnya sendiri, seperti Fujifilm Velvia (film positif) serta Kodak Portra (negatif) dan Tri-X (hitam putih negatif) tadi.

Contoh dua merk film 35mm yang masih diproduksi, yakni film negatif Kodak Portra (kiri) dan film positif Fujifilm Velvia.B&H Contoh dua merk film 35mm yang masih diproduksi, yakni film negatif Kodak Portra (kiri) dan film positif Fujifilm Velvia.

Kemunculan kamera digital telah membuat produksi sebagian film disetop lantaran kurang peminat atau tidak menguntungkan dari segi bisnis, misalnya seri film Kodachrome bikinan Kodak yang legendaris tetapi proses pencuciannya rumit.

Sejumlah film masih diproduksi oleh berbagai pabrikan saat ini, terutama untuk format 135 yang paling populer. Masing-masing brand film biasanya tersedia dalam beberapa varian yang memiliki perbedaan tertentu seperti rating sensitivitas, misalnya Fujifilm Velvia ASA 50 dan Fujifilm Velvia ASA 100.

Beberapa produsen juga masih memproduksi dan menjual kamera film (baru), misalnya Leica dengan seri M7 dan MP (rangefinder)  serta Nikon dengan F6 dan FM10 (SLR). Selain kamera film baru, peminat fotografi film juga bisa menggunakan kamera film lawas yang banyak dijual bekas dengan harga relatif terjangkau, seperti Canon Canonet (rangefinder) dan AE-1 (SLR).

Catatan: Artikel ini adalah bagian dari Liputan Khusus KompasTekno soal "Tren Kamera Analog di Era Digital". Artikel-artikel lain soal seluk-beluk tren kamera analog bisa dipantau di kanal ini.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com