BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Panasonic

Di Ghibli, Ada Keping Humanisme yang Tercerahkan lewat Film Animasi

Kompas.com - 28/09/2017, 16:23 WIB
Dimas Wahyu

Penulis


KOMPAS.com - Persoalan di dunia begitu banyaknya, bahkan tidak sedikit yang masih tabu untuk sekadar dibahas.

Ini tidak hanya soal hubungan antara manusia dan manusia, seperti pro kontra kerusakan alam dan kepentingan di belakangnya, kesetaraan jender, dan bagaimana soal perbedaan bisa diterima di tengah masyarakat.

Hubungan antara manusia dan alam pun sedemikian tersendatnya untuk menjadi harmonis. Lebih jauh, hubungan antara manusia dan makhluk halus seringnya disuguhkan secara horor demi keriaan akan ketakutan belaka.

Pembicaraan di atas tentu tidak sedemikian lancar, ramah, dan mulus untuk diterima, apalagi mungkin bagi anak-anak. Namun, akan ada pengecualian jika semuanya berwujud dalam film animasi yang digarap Studio Ghibli.

Menerangkan humanisme

Tentu, piala Oscar tidak akan jatuh ke film yang salah ketika Spirited Away (2001) sebagai salah satu film garapan studio tersebut meraih Best Animated Feature pada gelaran Academy Award ke-75 tahun 2003.

Jika diasosiasikan dengan cerita dalam tradisi yang berkembang di Indonesia, latar dan tokoh Spirited Away ibarat mengacu pada mitos-mitos ketika manusia dibawa oleh makhluk halus ke dunianya, atau juga cerita soal sebuah tempat sepi yang tiba-tiba ramai seakan-akan ada pasar.

Dua tokoh dalam adegan film garapan Studio Ghibli, Spirited Away. Film produksi tahun 2001 ini meraih Best Animated Feature pada gelaran Academy Award  ke-75 tahun 2003.Studio Ghibli Dua tokoh dalam adegan film garapan Studio Ghibli, Spirited Away. Film produksi tahun 2001 ini meraih Best Animated Feature pada gelaran Academy Award ke-75 tahun 2003.
 
Ceritanya, Chihiro, seorang anak perempuan berusia 10 tahun, masuk ke dunia roh setelah ia beserta ayah dan ibunya masuk ke sebuah kuil.

Ia berada di dunia tersebut setelah ayah dan ibunya tergoda untuk makan tanpa izin di "pasar" roh tersebut dan pada akhirnya terkutuk menjadi babi.

Keserakahan, balas budi, dan bagaimana sang tokoh mempelajari berbagai kearifan dari tiap-tiap tokoh lain yang campur baur dalam bentuk roh-roh ala budaya Jepang membawa Chihiro untuk bisa kembali bersama orangtuanya seperti sedia kala.

Hal yang sama juga diangkat Hayao Miyazaki, sutradara di studio animasi tersebut, melalui My Neighbor Totoro (1988), tentang bagaimana dua anak perempuan, Satsuki dan Mei, berkenalan dengan roh mirip beruang yang tinggal di pohon bernama Totoro dan kucing berbentuk bus, lalu mendapat pertolongan dari mereka.

Salah satu adegan dalam film Studio Ghibli, My Neighbor Totoro (1988).Studio Ghibli Salah satu adegan dalam film Studio Ghibli, My Neighbor Totoro (1988).
Lagi-lagi pun asosiasinya mirip dengan di Indonesia, seperti "hanya anak kecil yang melihat makhluk halus", "diantar bus atau kereta hantu", "genderuwo", dan lainnya, tetapi tidak digambarkan secara menyeramkan oleh Miyazaki untuk menonjolkan bagaimana hubungan hormat-menghormati di antara kedua pihak.

Miyazaki juga menggambarkan tokoh penyihir secara berbeda pada Kiki's Delivery Service (1989), perebutan alam antara manusia dan binatang dalam Pom Poko (1994) dan Princess Mononoke (1997), hingga manisnya generasi baru Jepang yang menghargai sejarah pada From Up on Poppy Hill (2011).

Tokoh utamanya pun kebanyakan adalah perempuan yang bersikap mandiri, sekalipun tokoh itu adalah anak-anak, menggambarkan pesan tentang kesetaraan jender.

"Narasi yang bisa dilihat dari karya Miyazaki adalah ia tidak mengadu tokoh pahlawan dengan tokoh antagonis yang tidak mengundang rasa simpati," tulis Eric Reinders dalam bukunya, The Moral Narratives of Hayao Miyazaki.

Eric menggambarkan bahwa tokoh dalam film animasi Miyazaki bukan soal baik dan jahat, melainkan seperti manusia, yang konflik dalam ceritanya pun terselesaikan layaknya dalam kehidupan manusia.

Untuk menggambarkan mimik tokoh, tindak tanduk, dan adegannya yang serba humanis itu sendiri, tim di Studio Ghibli menyuguhkan warna khas film kartun tetapi dengan palet yang tertib menonjolkan warna-warna cenderung pastel.

"Jika kita tidak berangkat dari mengamati orang-orang, dan hanya berkutat pada diri kita sendiri, maka kita tidak bisa membuat (tokoh-tokoh yang humanis seperti dalam film ini)," ujar Miyazaki dalam wawancara video di situs Jepang, Golden Times.

Tokoh-tokoh dalam film garapan Studio Ghibli, From Up on Poppy Hill, yang dibuat tahun 2011. Kisahnya turut mengangkat generasi baru Jepang yang menghargai sejarah.Studio Ghibli Tokoh-tokoh dalam film garapan Studio Ghibli, From Up on Poppy Hill, yang dibuat tahun 2011. Kisahnya turut mengangkat generasi baru Jepang yang menghargai sejarah.
Warna-warna ini, dan mimiknya yang mendekatkan pada gambaran manusia, tentu akan lebih kaya jika menggunakan media tonton yang bukan hanya punya tiga warna, red, green, blue seperti televisi pada umumnya, tetapi punya enam warna seperti Panasonic Hexachroma karena ada tambahan cyan, magenta, dan yellow.

Cahaya dalam sajian animasi pun terang sehingga turut pula "menerangkan" keping pesan humanisme dalam tiap-tiap film Ghibli, mengingat Panasonic Hexachroma menggunakan layar high dynamic range karena bisa berdaya terang hingga 1.000 nits (satuan cahaya lilin), sementara televisi standar hanya sampai 100 nits.

Latar film berupa pasar di Spirited Away, desa rimbun di My Neighbor Totoro, kota ramai di Kiki's Delivery Service, ataupun rumah kegiatan siswa di From Up on Poppy Hill oleh karenanya akan tersaji lebih jelas sebab layar high dynamic range (HDR) dapat memberikan kontras antara gambar gelap dan terang dengan akurat.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com