Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nilai Uang Digital Ini Meroket dalam Sebulan, Bukan Bitcoin

Kompas.com - 18/12/2017, 08:14 WIB

KOMPAS.com — Bitcoin bukan satu-satunya mata uang digital walau paling banyak mendapat perhatian setelah peningkatan nilainya yang luar biasa. Bitcoin menembus angka 15.000 dollar AS per keping atau sekitar Rp 203 juta pada awal Desember.

Namun, sebenarnya ada uang digital lainnya walau kurang terkenal yang juga menikmati peningkatan nilai besar di pasar mata uang digital yang masih belum diatur otoritas keuangan.

Namanya MIOTA yang disebut sebagai produk investasi yang dirancang untuk "barang internet".

Sejak awal November 2017, nilai MIOTA naik sekitar 774 persen dan peningkatan itu membuat kapitalisasinya ikut meroket menjadi 12 miliar dollar AS yang menjadikannya masuk dalam lima besar mata uang digital dunia menurut situs berita keuangan MarketWatch.

Kajian atas nilai mata uang digital ini dipicu laporan-laporan bahwa sejumlah perusahaan teknologi sedang bekerja sama dengan IOTA, sebuah lembaga nonpemerintah yang menciptakan MIOTA, untuk menyusun sebuah data pasar.

Salah seorang pendiri IOTA, David Sonstebo, mengatakan, gagasan itu akan mendorong saling berbagi data dan menghindari terbuangnya informasi.

"IOTA menggairahkan gagasan berbagi data lewat transaksi gratis. Gagasan itu akan menjadi semacam katalisator bagi paradigma baru dari riset, kecerdasan buatan, dan demokratisasi data," ujar Sonstebo dalam pernyataannya bulan lalu.

Bagaimanapun MIOTA masih tergolong mini dibanding Bitcoin jika dilihat dari nilai per unit. Menurut situs Cryptocurrencychart.com, nilai MIOTA 4,5 dollar AS per unit pada 6 Desember 2017, sementara Bitcoin mencapai 12.963 dollar AS.

Baca juga : Kisah Bitcoin Senilai Rp 1 Triliun yang Terbuang ke Tempat Sampah

Pertumbuhan yang kontroversial

Berbeda dengan mata uang konvensional, uang digital merupakan cerminan dari nilai yang dibuat oleh lembaga atau pemerintah tertentu.

Cara utama untuk mendapatkan uang digital adalah membelinya dengan uang biasa sebagai pembayaran atas produk dan layanan yang diberikan perusahaan bersangkutan atau untuk investasi atas uang digital tersebut.

Metode itu mencerminkan bahwa pasar mata uang digital tidak punya peraturan yang tegas karena semata-mata tergantung pada investor bersangkutan, yang umumnya merupakan pihak swasta.

Terlepas dari tidak adanya peraturan, uang digital memperlihatkan pertumbuhan pesat: Bitcoin, yang sering dijuluki 'emas digital', misalnya menikmati peningkatan nilai sampai 1.200 persen sepanjang tahun 2017.

Bagaimanapun sejumlah pengamat yakin bahwa uang digital akan menjadi salah satu "gelembung kosong" keuangan yang terbesar sepanjang sejarah, yang pada waktunya akan meletus tanpa ada nilainya.

Salah seorang yang meragukan uang digital itu adalah peraih Nobel Ekonomi Joseph Stigtlitz.
"Kenapa orang ingin Bitcoin atau mata uang alternatif? Alasan utamanya adalah untuk terlibat dalam kegiatan kotor, seperti pencucian uang dan penggelapan pajak," ucapnya dalam wawancara dengan BBC beberapa waktu lalu.

Walau muncul sejumlah peringatan, para investor tetap saja mengambil risiko dalam pertumbuhan mata uang digital, yang mencerminkan prinsip lama: 'semakin tinggi risikonya, semakin tinggi untungnya'.

Baca juga: BI Tak Tanggung Risiko Penggunaan Bitcoin

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com