KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump sering melempar cuitan kontroversial melalui akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump. Namun Twitter seolah enggan memblokir atau menghapus cuitan kontroversial Trump, meskipun sering didesak para penggunanya.
Seperti postingan Trump pada 3 Januari 2018 lalu yang diinterpretasikan beberapa orang sebagai ancaman perang nuklir dengan Korea Utara. Dalam postingan tersebut, Trump menulis bahwa dia memperingatkan Presiden Korea Utara, Kim Jong Un jika Amerika memiliki tombol nuklir yang lebih besar dan kuat.
North Korean Leader Kim Jong Un just stated that the “Nuclear Button is on his desk at all times.” Will someone from his depleted and food starved regime please inform him that I too have a Nuclear Button, but it is a much bigger & more powerful one than his, and my Button works!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) 3 Januari 2018
Setelah cuitan tersebut, kelompok anti-Trump yang menyebut diri mereka Resistance SF melakukan aksi di depan markas Twitter di San Francisco, AS. Mereka memproyeksikan tulisan "@jack is #complicit " (Jack terlibat) dan "Be a Hero: Ban Trump" (jadilah pahlawan: tolak Trump) di dinding luar bangunan.
Tulisan tersebut ditujukan kepada CEO Twitter, Jack Dorsey. Kelompok ini menyudutkan Twitter karena tidak menindak postingan Trump dengan memblokirnya.
Dalam blog resminya, Twitter menanggapi alasan mengapa akun Twitter Trump tidak diblokir atau menghapus postingan kontroversialnya.
Tanpa menyebut secara ekplisit nama Trump, Twitter mengatakan jika pemimpin negara memainkan peran penting dalam postingan mereka karena dampaknya yang luar biasa terhadap masyarakat.
"Memblokir pemimpin dunia di Twitter atau menghapus postingan mereka akan menyembunyikan informasi penting yang seharusnya diketahui dan diperdebatkan orang-orang", tulis Twitter seperti KompasTekno rangkum dalm blog resmi Twitter, Senin (8/1/2018).
Twitter berdalih bahwa memblokir atau menghapus postingan, tidak akan membungkam mereka, tapi hanya akan menghambat diskusi tentang kata-kata dan tindakan mereka.
"Kami sedang bekerja agar Twitter menjadi tempat terbaik untuk berdiskusi secara bebas tentang segala permasalahan", tulis Twitter.
Dalam postingan tersebut, Twitter juga menyebut jika mereka mengulas postingan dari para pemimpin dunia yang mengandung konteks politik dan menyesuaikan aturan sesuai pedoman mereka. Twitter mengaskan jika keputusan ini diambil tanpa pengaruh akun Twitter manapun yang mendominasi.
"Kami bekerja keras untuk tidak bias dengan kepentingan publik", tulis Twitter.
Baca: Janji Bos Twitter Berantas Ujaran Kebencian
Kebijakan yang bias
Pada Oktober 2017, Twitter sesumbar akan mengambil sikap agresif menanggapi maraknya pelecehan dan ujaran kebencian di platformnya. Namun keputusan ini seolah menunjukkan sebaliknya. Sebab, dalih Twitter di atas bukanlah pertama kali.
Desember 2017 lalu, Trump sempat mem-posting ulang (retweet) video propaganda anti-muslim. Beberapa orang mendesak Twitter untuk memblokir akun Trump karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian.
Namun oleh Twitter, video tersebut tidak dikategorikan sebagai ujaran kebencian, dan memang layak diberitakan.
To clarify: these videos are not being kept up because they are newsworthy or for public interest. Rather, these videos are permitted on Twitter based on our current media policy. https://t.co/RqEQy3skgc
— Twitter Safety (@TwitterSafety) 1 Desember 2017
Dalam kebijakannya, Twitter mengklaim mungkin saja mengizinkan beberapa bentuk gambar kekerasan dan atau konten dewasa, bila ditandai sebagai media sensitif.
Sayangnya, Twitter tidak mendefinisikan lebih jelas, tipe media sensitif seperti apa yang dimaksud. Lebih lengkap, kebijakan Twitter bisa dibaca melalui tautan berikut ini.
Postingan Twitter kontroversial Trump bukanlah yang pertama. Sebelumnya Trump juga sempat menyindir Kim Jong Un yang memanggilnya tua.
Why would Kim Jong-un insult me by calling me "old," when I would NEVER call him "short and fat?" Oh well, I try so hard to be his friend - and maybe someday that will happen!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) 12 November 2017
Baca: Donald Trump Gemar Berceloteh di Twitter, Ini Alasannya
Trump juga sering memposting ketidaksukaannya terhadap beberapa media yang kemudian disebut sebagai sumber 'fake news' (berita bohong).
Another false story, this time in the Failing @nytimes, that I watch 4-8 hours of television a day - Wrong! Also, I seldom, if ever, watch CNN or MSNBC, both of which I consider Fake News. I never watch Don Lemon, who I once called the “dumbest man on television!” Bad Reporting.
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) 11 Desember 2017
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.