Apalagi, jejaring sosial adalah panggung terbaik bagi orang-orang untuk menjadi pusat perhatian karena menjadi informan pertama, meskipun validasinya masih belum dapat dipastikan.
"Orang yang membagi informasi awal akan dilihat sebagai orang yang tahu", papar Aral.
Para peneliti juga memeriksa sisi emosional balasan tweet yang dilihat itu. Hasilnya, berita palsu memicu perasaan terkejut dan jijik yang lebih besar. Di sisi lain, berita asli menghasilkan ungkapan kesedihan, antisipasi, dan kepercayaan.
Cara mengatasi persebaran berita palsu
Aral melanjutkan jika hasil penelitian ini cukup mengkhawatirkan. Meskipun orang dengan sengaja atau tidak menyebarkan hoaks, fenomena ini tidak hanya didorong oleh niatan jahat, tapi banyak hal melatarbelakangi-nya.
Para peneliti ini berharap akan ada penelitian lebih lanjut untuk mengatasi persebaran informasi yang keliru.
"Memahami bagaimana penyebaran berita palsu adalah langkah pertama untuk mengatasinya," tulis para peneliti dalam laporan tersebut.
Baca juga: Menkominfo: Tugas Badan Siber Bukan Tangani Hoaks
Menurut Aral, jika hanya masalah bots, solusi yang ditawarkan adalah pendekatan teknologi.
"Saat ini intervensi perilaku menjadi sangat penting untuk melawan tersebarnya berita palsu", imbuhnya, sebagaimana KompasTekno rangkum dari Science Daily, Rabu (14/3/2018).
Jika beberapa orang sengaja menyebarkan berita palsu, sementara yang lain melakukannya tanpa ia sadari, maka fenomena tersebut menjadi dua bagian masalah yang butuh beberapa taktik untuk mencari solusinya.
Menurut Deb Roy yang juga terlibat penelitian ini, solusi paling sederhana yang bisa dilakukan adalah pikir dahulu sebelum me-retweet.
Para peneliti menambahkan jika fenomena ini mungkin tak hanya terjadi di platform Twitter.
Platform lain seperti Facebook, pun bisa menjadi lahan penyebaran hoaks.