Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bos Telegram Sebut WhatsApp Tidak Akan Pernah Aman

Kompas.com - 17/05/2019, 11:46 WIB
Wahyunanda Kusuma Pertiwi,
Oik Yusuf

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Baru-baru ini, WhatsApp dilaporkan memiliki celah kemanan yang membuatnya berpotensi disisipi malware jenis mata-mata atau spyware lewat voice call. Kabar tersebut mengundang reaksi dari pesaingnya, Telegram.

Pendiri Telegram, Pavel Durov, mengatakan bahwa WhatsApp tidak akan pernah aman. Durov mengungkapkan pandangannya tentang WhatsApp dalam sebuah blog.

"WhatsApp itu punya riwayat yang konsisten, dari nol enkripsi hingga rentetan masalah yang anehnya cocok untuk kepentingan pengawasan," tulis Durov.

Baca juga: Awas, "Missed Call" Bisa Bikin WhatsApp Kemasukan Virus Pencuri Data

Setelah kabar spyware merebak, WhatsApp segera meminta para penggunanya di seluruh dunia untuk segera memperbarui aplikasi untuk menambal lubang keamanan.

Kabarnya, celah tersebut bisa dimanfaatkan oleh aktor negara untuk mengintai kalangan seperti para jurnalis, aktivis, dan sebagainya.

"Berita ini (spyware) tidaklah mengejutkan bagi saya. Tahun lalu, WhatsApp mengakui bahwa mereka punya masalah yang sama, video call via WhatsApp adalah akses yang dibutuhkan para peretas untuk masuk ke seluruh data pengguna," tulis Durov.

Baca juga: Badan Siber RI Minta Pengguna Segera "Update" WhatsApp

Durov pun menyindir tiap kali WhatsApp memperbaiki masalah kemanan, akan ada celah keaman baru lagi yang muncul. Ia juga membandingkan WhatsApp dengan aplikasi besutannya.

Berbeda dengan telegram, WhatsApp bukanlah aplikasi open-source, sehingga para peneliti kemanan tidak bisa mengecek apakah ada "pintu rahasia" atau backdoor di kode WhatsApp yang bisa dipakai pihak tertentu untuk menyadap pengguna.

Diblokir bangsa sendiri

Durov menyarankan Biro Investigasi Federal (FBI) di AS menekan pihak WhatsApp atau Facebook untuk memberikan backdoor, atau jalur rahasia agar bisa masuk ke sistem kemanan mereka.

"Bagi WhatsApp, menjadi layanan yang berorientasi pada privasi berisiko kehilangan seluruh pasarnya dan menyebabkan benturan antar otoritas di negara asal mereka," tulis Durov, sebagaimana KompasTekno rangkum dari Gadgets 360, Jumat (17/5/2019).

Baca juga: Mengapa Aplikasi Telegram Disukai Teroris?

Durov menambahkan, memang sulit membuat aplikasi komunikasi yang aman di AS.  Ia mengisahkan saat timnya berada di AS selama satu pekan pada tahun 2016 silam, FBI sudah tiga kali mencoba melakukan infiltrasi ke mereka.

"Saya paham, agen kemanan menyetujui adanya 'pintu belakang' sebagai upaya anti-teror. Masalahnya, pintu tersebut juga bisa digunakan oleh penjahat dan pemerintah yang otoriter," jelas Durov.

"Tidak heran bila diktator menyukai WhatsApp. Lemahnya kemanan memungkinkan mereka untuk mengintai warganya sendiri, jadi WhatsApp bisa bebas digunakan di negara-negara seperti Rusia dan Iran, di mana Telegram dilarang oleh pemerintah," lanjutnya.

Baca juga: WhatsApp Tumbang, Telegram Kebanjiran Pengguna Baru

Telegram yang asal Rusia memang berulangkali cek-cok dengan pemerintah negeri tersebut karena memiliki sistem enkripsi yang sangat kuat. Mereka enggan memberikan kunci enkripsi pada kepolisian Federal di Rusia untuk kepentingan pelacakan terorisme di sana.

Akhirnya, Rusia pun memblokir aplikasi hasil karya anak bangsanya sendiri pada tahun 2018.

Telegram sempat mendulang banyak user baru ketika Facebook, WhatsApp, dan Instagram tumbang secara bersamaan beberapa waktu lalu. Mereka mengklaim jumlah pengguna melonjak hingga 3 juta dalam waktu 24 jam saja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com