KOMPAS.com - "Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi," begitu kata Presiden Joko Widodo dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021).
Permintaan orang nomor satu di Republik Indonesia ini seketika memancing respons publik.
Banyak masyarakat bertanya-tanya, bagaimana bisa memberikan kritik tanpa takut ancaman Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)?
Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dianggap memiliki sejumlah "pasal karet" dan menimbulkan multitafsir.
Sebab, siapapun yang merasa dirugikan atas pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan/atau menyebarkan "informasi elektronik" sebagaimana diatur dalam undang-undang, bisa menggunakan UU ITE untuk membawa ke ranah hukum.
Pasalnya, keberadaan pasal 27 ayat 3 yang kerap kali jadi landasan untuk membawa "curhat" atau kritik di media sosial ke meja hijau.
Cakupan yang luas ini sering dimanfaatkan segelintir orang untuk mengkriminalisasi pihak lain. Kekhawatiran masyarakat lalu ditanggapi oleh presiden dengan mengusulkan revisi UU ITE. Jokowi mengatakan, jika UU ITE tidak bisa memberi rasa keadilan, maka harus direvisi.
Baca juga: Jokowi: UU ITE Bisa Direvisi apabila Implementasinya Tidak Adil
"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini," kata Jokowi saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).
Bahkan, Jokowi meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE yang disebutnya menjadi pangkal persoalan UU tersebut.
"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi.
Presiden juga meminta Kapolri untuk lebih selektif dalam menyikapi dan menerima laporan dugaan pelanggaran UU ITE.
Selain itu, Polri juga diminta untuk membuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal UU ITE dan meningkatkan pengawasan pelaksanaannya lebih konsisten, akuntabel, dan berkeadilan.
Rencana itupun disambut baik dan kritik dari publik. Terutama, mereka yang selama ini mengawal isu ruang digital.
Salah satunya berasal dari organisasi nirlaba Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet). Direktur eksekutif SafeNet, Damar Juniarto menyebut setidaknya ada sembilan pasal bermasalah di UU ITE.
"Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan "karet" dan ada duplikasi hukum," tulis Damar dalam sebuah kicauan.
Adapun pasal-pasal UU ITE yang dipersoalkan karena dianggap "karet" adalah sbb:
Baca juga: Pengamat Sebut Pemerintah Perlu Dialog untuk Merevisi UU ITE