Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti Komentari Kasus Kurir Shopee Mogok Kerja karena Upah Minim

Kompas.com - 15/04/2021, 07:31 WIB
Wahyunanda Kusuma Pertiwi,
Yudha Pratomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Baru-baru ini, kurir layanan ekspedisi Shopee Express dikabarkan melakukan aksi mogok kerja. Kabar tersebut diketahui dari sebuah utas (thread) di Twitter yang diunggah akun dengan handle @arifnovianto_id.

Utas itu pun viral di dunia maya. Dalam utas tersebut, Arif menceritakan bahwa kurir Shopee Express yang tergabung dalam Himpunan Driver Bandung Raya melakukan mogok kerja. Jumlahnya kira-kira sekitar 1.000 mitra.

Upah yang tidak layak ditengarai menjadi penyebab utama aksi mogok kerja ini. Menurut Arif yang juga tengah melakukan penelitian tentang pekerja "gig" di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) UGM, upah kurir Shopee Express semakin kecil.

Ekonomi "gig" yang dimaksud Arif, terinspirasi dari pekerjaan di industri hiburan, di mana para musisi baru akan mendapat upah jika mereka menggelar konser.

Dalam kaitannya dengan para mitra di layanan ekspedisi, para kurir atau driver harus mengantarkan barang atau pesanan untuk mendapatkan uang.

Baca juga: Pengamat Komentari Giveaway Shopee Saat Kurirnya Mogok Kerja

Dulu, kurir Shopee Express bisa mendapatkan upah Rp 5.000 per paket. Tarifnya kian menysut menjadi Rp.3500 per paket, hingga terakhir pada awal April Rp 1.500 per paket. Di sisi lain, para mitra tidak menerima upah minimum dan jaminan sosial.

Arif menuturkan, rata-rata kurir membutuhkan waktu 10 menit untuk mengantar paket.

Apabila dalam satu jam bisa mengirimkan 6 paket, maka dalam durasi 8 jam hanya mengirimkan 48 paket, yang artinya kurir mengantongi upah sekitar Rp 72.000. Sementara motor dan bensin harus ditanggung "mitra".

Durasi kerja mereka bisa lebih panjang di periode promo. Sebab, kurir harus mengirimkan 125 paket per hari, sehingga jam kerja bisa mencapai 14 jam.

Kemitraan "semu"

Arif menambahkan bahwa Shopee Express memberlakukan sistem shift dan target pengiriman paket, layaknya aturan bagi karyawan biasa. Hal inilah yang menurut Arif perlu disorot, yakni tentang sistem "kemitraan".

Di Indonesia, sistem kemitraan diatur dalam UU No 20 Tahun 2008 tetang UMKM. Di Pasal I, disebutkan bahwa kemitraan merupakan "kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar."

Menurut Arif, sistem kemitraan yang dipraktikan adalah "kemitraan semu".

"Kemitraan hanya label untuk menutupi hubungan kerja buruh-pengusaha dan menghindari membayar UMR, jaminan sosial, upah lembur, hak libur, pesangon, tempat kerja aman, mnyediakan alat kerja, dll," jelas Arif kepada KompasTekno, Rabu (14/2/2021).

Kemitraan yang ideal, menurut Arif, harus menerapkan prinsip setara, adil, saling membutuhkan, mempercayai, dan meguntungkan seperti disebutkan dalam UU No 20 tahun 2008.

Sehingga, setiap keputusan yang berlaku tidak bisa diputuskan sepihak dan tidak boleh ada pihak yang berupaya menguasai pihak lain.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com