Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pig Butchering" Sasar Wanita, Psikolog Ungkap Mengapa Mereka Bisa Tertipu

Kompas.com - 11/10/2022, 09:00 WIB
Lely Maulida,
Reska K. Nistanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Apakah Anda pernah atau bahkan sering mendapati permintaan pertemanan dari orang asing yang tampak "sempurna" di media sosial? Bila iya, Anda patut waspada, karena bisa saja orang tersebut merupakan agen dari penipuan atau scam yang beredar di dunia maya.

Motifnya tak lain untuk meraup keuntungan, melalui pendekatan personal yang mengajak Anda untuk berkenalan, berinteraksi, menjalin hubungan hingga investasi.

Di antara penipuan atau scam yang belakangan terjadi di Indonesia yaitu "Pig Butchering" atau bermakna menyembelih/memotong babi.

Baca juga: Kisah AA, Korban Pig Butchering Asal Indonesia yang Rugi Rp 500-an Juta

Istilah "potong babi" digunakan karena dalam penipuan ini, korban digemukkan terlebih dahulu dengan janji manis investasi sebelum sang penipu membawa kabur uangnya.

Menurut Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI), Pig Butchering adalah penipuan dengan teknik rekayasa sosial dengan memanipulasi psikologis korban yang relatif baru.

Penipu (scammers) biasanya bakal membangun hubungan dan kepercayaan dengan target korban.

Caranya, scammers bisa menghubungi target lewat media sosial, kemudian membangun hubungan persahabatan atau bahkan memakai kedok cinta untuk membuat hubungan romantis palsu. Terkadang, penipu juga menyamar sebagai teman lama dari sang target.

Kisah korban Pig Butchering asal Indonesia, yang tertipu oleh pria Korea hingga rugi ratusan juta rupiah bisa dibaca di artikel di tautan berikut ini.

Bagaimana korban bisa terjerat?

Secara umum, penipuan di dunia maya menurut Aulia sudah terorganisir, baik dengan skema romantic scam/love scam maupun pig butchering. Dalam praktiknya, para pelaku penipuan sudah mengetahui bagaimana cara menangani korban, memahami proses hingga timeline yang perlu dijalankan.

Adapun dari sisi korban penipuan "potong babi", bisa dibilang bukan orang biasa. Pasalnya, bila ditilik dari pendidikannya, para korban justru memiliki dasar pendidikan yang cukup tinggi. Lantas mengapa mereka bisa terjerat penipuan ini?

Menurut Alif Aulia Masfufah, Psikolog klinis dari Yayasan Cintai Diri Indonesia (Love Yourself Indonesia), scammers sudah memiliki kriteria korban berbekal dari riset yang sudah dilakukan, termasuk dari media sosial.

Targetnya adalah psikologis korban, terlepas dari latar belakang pendidikan, pekerjaan, status atau hal lainnya.

"Hal-hal seperti pendidikan, status, itu mereka abaikan. Beberapa korbannya ada yang guru, dosen, dan sebagainya, kalau kita lihat background-nya mereka bukan orang sembarangan kalau dari segi pemikiran. Tapi itu justru bukan masuk kriteria korban, karena yang diserang psikologisnya korban," kata wanita yang akrab disapa Aulia itu kepada KompasTekno.

Latar belakang pendidikan memang menjadi salah satu aspek yang dicatat scammers, namun hanya untuk keperluan pendekatan dengan korban.

"Jadi mau S3, dosen atau apa, asalkan ada problem psikologis yang tanpa disadari itu terjadi, itu pasti akan mudah discam," tambah Aulia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com