Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rancangan Sensor Konten Multimedia Picu Kontroversi

Kompas.com - 16/02/2010, 08:31 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menerapkan aturan sensor terhadap konten multimedia melalui Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Konten Multimedia memicu kontroversi. Bahkan, RPM tersebut memicu kampanye penolakan di dunia maya.

"Tolak Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Konten Multimedia karena berbahaya bagi kehidupan internet Indonesia dan kembali pada paradigma represif dan total control seperti pada zaman Soeharto #tolakRPMkonten," demikian pengantar dalam salah satu kampanye di Facebook dengan nama "SOS Internet Indonesia".

Kampanye tersebut juga disebarkan di jaringan mikrobloging Twitter dengan tag #tolakrpmkonten. Kampanye ini mulai marak sejak Jumat (12/2/2010) atau sehari setelah rancangan peraturan tersebut dipublikasikan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Tidak hanya kampanye buta, Facebook juga menjadi tempat para pengguna internet untuk mengkritik aturan tersebut. Meski demikian, dari pengamatan Kompas.com, diskusi soal aturan tersebut masih sangat sepi. Baru enam topik yang dibahas dan baru ada puluhan tanggapan.

RPM ini sebenarnya bukan hal yang baru dan sudah dicanangkan sejak tahun lalu saat menkominfo dijabat Mohammad Nuh. Saat diumumkan, rancangan tersebut juga memicu kontroversi dan tidak lagi terdengar kelanjutannya. Pada masa kepemimpinan Tifatul Sembiring, rancangan ini kembali dibuka dengan alasan untuk mencegah pengalahgunaan internet.

Di dalam RPM tersebut diatur daftar larangan konten yang beredar melalui internet dan layanan teknologi informasi lainnya, kewajiban penyelenggara layanan multimedia, dan sanksi terhadap penyelenggara jika melakukan pelanggaran. Pemerintah juga akan membentuk Tim Multimedia yang akan memantau konten yang beredar dan penyelenggara terancam denda administratif, pembatasan kegiatan usaha, dan/atau pencabutan izin jika dinilai melanggar. Pengaturan itulah yang mendapat sorotan karena dinilai dapat mengekang kebebasan berekspresi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com