Andreas lahir pada 12 September 1968, dari pasangan orangtua yang sama-sama atlet basket. Dalam sebuah Pekan Olahraga Nasional, sejoli Diantoro (ayah Andreas) dan Juliana (ibu Andreas) pertama kali berjumpa.
Pertemuan keduanya kemudian membuahkan rasa cinta yang berujung pada buah hati mereka: Andreas Diantoro. Melihat latar kedua orangtuanya, wajar bilamana kemudian tumbuh rasa suka yang mendalam terhadap basket di dalam diri Andreas.
Saking cintanya, Andreas kecil bercita-cita menjadi atlet basket profesional. Pada masa-masa awal sekolah, dia rutin bermain basket, tujuh hari dalam seminggu.
"Prioritas saya dulu yang pertama basket, kedua basket, lalu ketiga juga basket. Belajar itu nomor sekian," kata Andreas menerangkan kesukaannya.
Ditentang Orangtua
Namun, hobi yang menjadi obsesi ini mendapat pertentangan. Datangnya tak lain dari ayah yang khawatir anaknya tak bisa memperoleh penghidupan dengan cara demikian.
Menurut Andreas, pada masa itu, hidup sebagai olahragawan memang sulit. Orangtuanya pun menggantungkan nasib pada usaha toko alat-alat kantor.
Maka dari itu, begitu mulai bersekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta, Andreas dengan berat hati mengikuti anjuran sang ayah. Dia membatasi kegiatan basket dan menghabiskan lebih banyak waktu menyimak pelajaran.
Harapannya, dia bisa lulus ujian akhir Ebtanas dan mengikuti Sipenmaru (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Kendati terpaksa mengorbankan basket, Andreas sempat memetik sejumlah pelajaran hidup dari olahraga kesukaannya itu.
"Olahraga penting untuk membangun karakter. Di sana ada teamwork, kita belajar untuk bekerja sama dengan teman, mempelajari sikap, dan membangun sportivitas. Semuanya hal-hal yang penting sekali untuk kesuksesan," kata Andreas. Hingga kini, dia mengaku masih suka bermain basket pada waktu luang.
Lalu, bagaimana Andreas bisa menjadi pengangkut sampah sampai kemudian jadi Presiden Direktur Microsoft Indonesia? Simak dalam tulisan selanjutnya.
Daftar lengkap tulisan di seri ini: