Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TechTravel #6: Tak "Fesbukan" Bukan Berarti Kampungan

Kompas.com - 16/02/2015, 16:00 WIB
Pepih Nugraha

Penulis


Oleh: Pepih Nugraha

KOMPAS.com — Bersiap-siaplah menggerutu saat menginjakkan kaki di Tiongkok bagi siapa saja yang tidak bisa lepas dari perangkat internet mobile. Mungkin bisa tersambung ke internet, tetapi Anda dijamin tidak akan bisa membuka Facebook, Twitter, Google, YouTube, atau Whatsapp. Pemerintah pusat di Beijing, Tiongkok, memang telah memblokirnya tanpa ampun.

Saya pun dibikin "bete" karenanya saat berada di kota-kota besar Tiongkok. Bayangkan, saya berada di megapolitan Shanghai yang gemerlap dan modern, tetapi saya merasa hidup di zaman batu. Ini gara-gara saya tidak bisa mengakses situs-situs ternama yang sudah akrab dalam kehidupan saya sehari-hari, yang membuat saya tersambung dengan kawan-kawan saya di berbagai tempat di atas Bumi ini. Jelas saya "bete" sebab saya tidak bisa Fesbukan dan tidak bisa pula Twiteran. Lalu, buat apa saya menggunakan internet di Tiongkok?

Ini kenyataan, situs-situs beken yang digilai pengguna internet global, termasuk users Indonesia, diblokir total Pemerintah Tiongkok. Ya, tidak boleh protes. Demikianlah memang kebijakan pemerintah pusat yang berusaha memproteksi seluruh penduduknya dari invasi dan involusi "informasi jahat" yang datang dari dunia luar. Anda pun harus siap-siap terputus dari dunia luar dan kesepian di negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa ini. Sungguh sangat ironis, bukan?

Lantas, apakah warga Tiongkok pengguna internet harus menggerutu setiap hari karena mereka tidak bisa membuka situs-situs "made in USA" itu? Apakah mereka harus uring-uringan dan "bete" seperti saya karena tidak bisa Fesbukan atau Twiteran?

(KOMPAS/PEPIH NUGRAHA) SOCMED TIONGKOK -- Meskipun hampir semua situs pertemanan dan microblogs "made in" Barat diblokir di Tiongkok, tidak berarti warga Tiongkok tidak bisa "Fesbukan" atau "Twitteran". Developer dan industriawan web menyediakan layanan situs pertemanan serupa Facebook, namun di Tiongkok bernama Renren, di mana welcome page-nya sebagaimana terlihat dalam foto di atas. (KOMPAS/PEPIH NUGRAHA)

"Mengapa kami harus menggerutu?" kata Tang Ning Zhen, salah seorang warga Tiongkok dengan nada balik bertanya, saat saya mencoba bertanya mengenai situasi "garing internet" seperti di kota Shanghai ini, akhir Desember 2014 lalu. "Di sini kami bisa tersambung kepada teman-teman tanpa harus tergantung Facebook atau Twitter. Kami bisa bercakap-cakap melalui WeChat meski tidak punya Whatsapp atau Line."

Demikianlah. Pemerintah Tiongkok sangat percaya diri dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang dikembangkannya sehingga tidak harus tergantung kepada dunia luar. Jargon "enyahlah Facebook" atau "go to hell Twitter" sudah hidup dalam alam pikiran warga Tiongkok. Apa yang menyebabkan Tiongkok bisa percaya diri dan mampu berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri dalam urusan teknologi informasi?

Jawabannya adalah jumlah penduduk! Ya, jumlah penduduk yang kini telah di atas satu miliar jiwa merupakan pasar potensial bagi penetrasi internet itu sendiri selain jutaan developer andal yang menciptakan berbagai aplikasi penting, yang memungkinkan setiap perangkat internet bergerak, berfungsi, dan dimanfaatkan secara maksimal oleh penggunanya. Penduduk yang berlimpah adalah potensi ekonomi, pasar yang mudah dipenetrasi berbagai aplikasi mobile tanpa harus bergantung pada produk luar.

Pertanyaan saya saat berada dalam perjalanan ke Tiongkok itu, apakah penduduk Tiongkok selamanya tidak akan bisa menggunakan Facebook, Twitter, Google atau YouTube? Bisa jadi sih iya. Akan tetapi, itu bukan masalah bagi mereka karena umumnya para developer di sini memiliki "kembaran" situs-situs populer di dunia. Sebut saja Renren sebagai pengganti Facebook di Tiongkok. Untuk microblogs, Tiongkok punya Weibo dengan pengguna yang tidak kalah cerewet; dalam bahasa Tionghoa tentunya. Sebagai pengganti mesin pencari Google, mereka punya peramban bernama Baidu yang tidak kalah lengkap dari mesin pencari terkaya sedunia, Google. Sementara itu, sebagai pengganti YouTube, mereka punya Youku.

Di Tiongkok, saya tentu saja bisa membuka ponsel pintar Huawei Ascend P7 dan "internetan" dengan kecepatan tinggi. Namun ya itu tadi, saya hanya bisa membuka situs-situs "made in China" yang telah saya sebutkan tadi. Iseng-iseng mengeklik Youku untuk mendengar lagu-lagu lama, karena di Tanah Air hobi saya Yutuban, para penyanyi yang saya temukan sangat-sangat terbatas. Tentu saja Youku tidak sekomplet Youtube. Lagi pula, siapa orang Indonesia yang punya akun di Youku dan mengunggah video-video di dalamnya? Pastilah sangat terbatas jumlahnya.

Situs ternama apa pun di dunia ini, Tiongkok selalu punya kembaran yang dimaksudkan untuk memanjakan penduduknya. Sebagaimana kata Tania, panggilan Tang, penduduk Tiongkok tidak harus menjadi kampungan atau terisolasi hanya karena mereka tidak mengenal Facebook. "Mereka tetap bisa 'internetan' berkecepatan tinggi melalui jaringan 4G, tersambung dengan teman-teman lainnya, meski tidak mengenal Facebook," kata Tang yang merupakan pelari maraton amatir putri penduduk asli Shanghai ini.

Lantas, apa kelebihan mesin pencari dan situs-situs pertemanan "made in China" yang membuat para penduduknya anteng saja "internetan" tanpa harus menggerutu?  

Jawabannya dapat Anda temukan di catatan perjalanan TechTravel saya pada kesempatan berikutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com