Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satu Tahun MH370, dari Pamitan sampai Dianggap Jatuh

Kompas.com - 08/03/2015, 15:45 WIB
Reska K. Nistanto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tepat satu tahun yang lalu, 8 Maret 2014, pesawat Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH370 rute Kuala Lumpur - Beijing menghilang dari pantauan radar saat terbang di atas laut China Selatan, tengah malam.

Saat itu, tidak ada panggilan bahaya yang dikeluarkan oleh pilot yang mengawaki Boeing 777 tersebut. Kondisi cuaca dilaporkan tergolong baik saat itu, tidak ada saksi mata juga yang melihat adanya ledakan di udara.

Yang terjadi adalah, sebuah penerbangan yang awaknya "berpamitan" dari satu menara kontrol (FIR/flight information region), namun tidak sampai "menyapa" menara kontrol selanjutnya.

MH370 pada malam itu berada di waypoint yang bernama IGARI pada Sabtu (8/3/2014) pukul 01:21 dini hari waktu Malaysia. Waypoint IGARI sendiri berada di radial 059 derajat dari radar VOR Kota Bharu.

Di waypoint IGARI inilah MH370 mematikan transpondernya. IGARI berada di batas antara FIR Malaysia dan FIR Ho-Chi-Minh. Saat itu ATC memerintahkan pilot MH370 untuk mengontak ATC Ho Chi Minh di frekuensi 120,9 MHz.

"MH370, please contact Ho Chi Minh City 120.9, good night,” demikian perintah ATC seperti transkrip yang dipublikasikan oleh News.com.au pada 22 Maret 2014 lalu.

MH370 pun menjawabnya dengan, "All right, good night.

Namun setelah ATC Malaysia mengoper kendali ATC ke Ho Chi Minh, MH370 tidak pernah melakukan kontak dengan petugas ATC di Ho Chi Minh. Alih-alih seolah mengatakan salam perpisahan dengan mengucap "selamat tinggal."

Pesawat yang hilang (atau jatuh, jika memang benar telah jatuh) itu pun kemudian memunculkan berbagai pertanyaan. Bagaimana mungkin sebuah pesawat berbadan lebar layaknya Boeing 777 hilang, atau jatuh tanpa meninggalkan jejak sama sekali?

Bahkan, serpihan-serpihan seperti penutup atau bantalan kursi penumpang, masker oksigen, atau kopor bagasi ratusan penumpang tidak ditemukan, baik di daratan maupun mengambang di lautan.

Mengambil contoh kasus kecelakaan Indonesia AirAsia penerbangan QZ8501 yang jatuh di perairan Selat Karimata, Kalimantan Barat pada Minggu (28/12/2014). Serpihan badan pesawat Airbus A320 tersebut tak butuh waktu lama untuk diketemukan, bahkan tak jauh dari lokasi terakhir pesawat yang terpantau radar.

Pada umumnya, bagian pesawat yang hancur, entah itu hancur saat di udara atau saat berbenturan dengan permukaan laut, serpihan-serpihannya akan mengambang karena sifat materi yang digunakan, seperti serpihan potongan badan pesawat, kursi, pelampung, dan sebagainya.

Selain itu, benturan juga akan memicu ELT (Emergency Locator Transmitter) yang ada dalam kotak hitam pesawat akan terpicu dan memancarkan sinyal darurat informasi lokasi pesawat jatuh.

Belum lagi kotak hitam pesawat juga bisa memancarkan sinyal selama kurang lebih 30 hari yang bisa dilacak, meski di dasar laut. Seperti kasus Air France penerbangan AF447 di Samudera Atlantik, 1 Juni 2009, atau Adam Air KI574 yang jatuh di perairan Majene, Makassar, pada 1 Januari 2007.

Kembali ke pertanyaan awal, mengapa sebuah pesawat secanggih B777 bisa hilang tanpa jejak? Padahal semua teknologi seperti di atas juga dimiliki oleh Boeing 777 Malaysia Airlines.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com