Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/02/2016, 21:00 WIB

Bagi operator, memasuki bisnis data sama sekali tak menjamin keuntungan, apalagi dibandingkan layanan telepon dan SMS. Profit untuk kedua layanan ini memiliki kenaikan linear yang jelas. Jika Anda mengirimkan satu SMS, Anda dikenai biaya Rp 350; dua SMS berarti Rp 700.

Sama halnya dengan layanan telepon. Mekanisme harga tersebut jadi kacau dengan adanya layanan data bulanan yang mengizinkan pengguna untuk menelepon dan mengirim ribuan SMS melalui aplikasi OTT.

Perlu diingat, operator juga harus membagi kapasitas infrastruktur mereka agar bisa melayani berbagai kalangan masyarakat. Di satu pihak mereka dituntut melaju cepat dalam mengikuti perkembangan internet.

Namun, di pihak lain mereka harus tetap melayani mayoritas masyarakat Indonesia yang masih menggunakan layanan mendasar, yaitu SMS dan telepon. Dilemanya: potensi infrastruktur dan kapasitas investasi menjadi tidak maksimal di sisi manapun.

Para pejuang net neutrality sering alpa melihat sisi ini: bahwa prinsip netralitas internet sama sekali tidak netral atau inklusif. Prinsip ini sarat agenda politik yang memprioritaskan penyediaan informasi melalui layanan data di atas penyediaan informasi menggunakan medium lain, seperti telepon, SMS, atau televisi.

Di Indonesia, mayoritas kebutuhan internet dibebankan pada seluler, yang tanpa kehadiran streaming Netflix pun sudah sangat lamban dan dengan penerimaan sinyal yang sporadis. Sama halnya dengan internet berkabel yang walaupun lebih baik dan cepat, masih sangat jarang dan banyak gangguan.

Berkaitan dengan OTT, artinya, para operator yang telah berinvestasi besar dalam membangun infrastruktur, harus merelakan saluran mereka "dimanpatkan" oleh beban streaming yang sangat besar tanpa adanya insentif. Padahal, investasi mereka belum sepenuhnya balik modal. Publik pun tidak mendapatkan insentif yang lebih nyata selain akses terhadap tontonan baru yang seru.

Bersaing dengan televisi

Mengingat WhatsApp dan Skype sudah lama digunakan di Indonesia, industri OTT sebenarnya bukan barang baru. Namun, Netflix menjadi pemicu keributan atas OTT karena kehadiran mereka mengancam keselamatan dua industri: telekomunikasi dan penyiaran.

Potensi kerugian PT Telkom sebagai operator telekomunikasi bergandengan dengan potensi kerugian pemain dominan industri penyiaran, baik terestrial maupun berlangganan. Enaknya lagi bagi Netflix: mereka tak termasuk dalam kategori mana pun dalam entitas penyiaran yang diatur dalam UU di Indonesia.

Akibatnya mereka "tak perlu" tunduk pada etika industri penyiaran, seperti konten lokal, pajak, atau aturan persaingan usaha.

Jaminan persaingan usaha tak bisa dianggap enteng. Di Jerman dan Spanyol, untuk menjamin persaingan konten yang sehat, pemerintah federal bahkan mewajibkan Google membayar ke empunya atas setiap berita yang diterbitkan di Google News.

Pemerintah Indonesia tidak perlu merasa kecolongan dengan masuknya Netflix. Industri akan selalu berada jauh di depan regulasi yang mengaturnya. Kenyataannya sebagian besar negara memang tidak siap menghadapi perkembangan teknologi yang pesat ini.

Di Kanada, pertarungan regulasi untuk industri OTT konten masih berlangsung hingga hari ini. Pemerintah Kanada bahkan harus menciptakan kategori baru untuk industri ini berjudul exempt broadcaster (penyelenggara penyiaran yang dikecualikan). AS menjatuhkan pilihan pada istilah specialized services (layanan khusus).

Benang merah yang menyatukan istilah-istilah ambigu tersebut adalah fakta bahwa kebanyakan pemerintah dan masyarakat tak sepenuhnya memahami entitas bisnis dan teknologi baru yang mereka hadapi ini. Sulit untuk menciptakan regulasi yang komprehensif jika obyek hukum yang harus diatur tidak memiliki status dan keberadaan yang jelas.

Saya bukan menyatakan OTT konten sama sekali tak bermanfaat. Konten OTT sudah terbukti mendorong perbaikan kualitas tayangan televisi di beberapa negara. Karena harus bersaing dengan ribuan tayangan Hollywood yang dibawa OTT, beberapa kanal di Eropa dan Tiongkok berlomba-lomba meningkatkan kualitas produksi program mereka.

Dengan diblokirnya Netflix, saya bisa mendengar ratapan kawula muda urban Indonesia yang menyesali kepergian layanan ini. Sedih memang, tetapi kalau kehadiran OTT konten yang menolak berkompromi dengan regulasi berpotensi menghambat pembangunan akses dan infrastruktur telekomunikasi, saya lebih baik baca buku saja.

DIANI CITRA,

PENELITI COLUMBIA UNIVERSITY GRADUATE SCHOOL OF JOURNALISM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Dilema Netflix Bukan Sekadar Konten".

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com