Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
kolom

Anomali Digital Itu Bernama Facebook

Kompas.com - 17/02/2016, 05:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Anugerah atau kutukankah kalau setiap hari hidup manusia masa kini tersandera oleh piranti digital? Bangun pagi tangan sudah meraba-raba gawai berinternet, entah itu ponsel atau tablet, sekadar mengecek skor bal-balan tadi malam yang tidak sempat ditonton. Sebelum tidur, juga mencari ponsel untuk mengecek agenda pagi atau mencari doa dari kitab digital.

Teknologi digital telah meringkas semua bentuk teknologi informasi dalam satu gawai di telapak tangan. Orang tidak harus pergi ke bioskop untuk menonton film atau video, cukup di Netflix. Di mana itu Netflix? Seharusnya sih bisa dibuka dan dilanggan di Internet kalau tidak ada yang usil memblokirnya. Menonton televisi? Tidak perlu repot memiliki pesawat televisi. Di Internet, siaran langsung televisi bisa diikuti gratis, tinggal bayar langganannya saja. Untuk baca koran atau majalah? Larinya ya ke gawai di telapak tangan, ke dunia digital itu.

Beberapa pekan lalu istilah “senjakala” tiba-tiba menjadi trending topic di kalangan media sosial terkait kegalauan akan segera berakhirnya media cetak. Namanya galau, bisa terjadi bisa tidak. Bagi saya yang hidup di koran, tentu tidak mau senjakala itu segera tiba. Toh kehadiran media baru tidak lantas menggerus media lama, seperti telah terbukti selama ini. Tetapi kalau yang datang sebagai “media baru” itu media digital?  Jujur, saya agak ketar-ketir juga. Jangan-jangan senjakala itu segera tiba atau bahkan sudah terjadi.

Dunia digital boleh dibilang telah hadir dalam kehidupan sehari-hari yang sialnya hanya diringkas kemudian direduksi ke dalam sebuah ponsel atau tablet berinternet. Ia menjadi bagian tak terpisahkan kehidupan manusia modern. Namun satu hal yang tidak terpikirkan, digital sering menyimpan anomali-anomali mengejutkan, baik dari para penemunya maupun nature dari piranti yang ditemukannya.

Facebook, sekadar menyebut contoh. Ia adalah media sosial terbesar sejagat raya yang diciptakan mahasiswa drop out Mark Zuckerberg. Meskipun terbesar dengan jamaah lebih dari 1,5 miliar, Facebook tidak memiliki konten. Insinyur yang bekerja Facebook tidak membuat konten, tetapi menciptakan platform di mana semua orang dengan mudah bisa menggunakannya. Konten datang sendiri dari pengguna yang jumlahnya mencapai seperempat penduduk bumi itu. Zuckerberg tinggal ongkang-ongkang kaki saja, konten milik pengguna datang dengan sendirinya.

Jack Ma di China punya Alibaba, sebuah situs e-dagang atau toko online terbesar di dunia. Pemiliknya dinobatkan sebagai salah satu orang terkaya. Tetapi Alibaba juga punya anomali. Apa anomalinya? Meskipun toko terbesar, Jack Ma tidak punya toko sungguhan di mana seluruh barang disimpan dan dipajangkan. Jack Ma juga tidak punya gudang. Ia hanya punya flatform di mana para pedagang dan pembeli bisa bertransaksi di toko digital itu.

Uber, adalah perusahaan taksi terbesar di dunia, yang sering dipersoalkan di berbagai negara. Apa anomalinya? Uber tidak punya armada taksi seperti Blue Bird di sini. Go-Jek di Indonesia, apakah ia punya ratusan ribu sepeda motor berikut tukang ojeknya? Tidak. Go-Jek hanya punya platform di mana tukang ojek dan penumpang bisa saling berkomunikasi dan bertransaksi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com