Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Konsolidasi (Alot) Operator BWA

Kompas.com - 26/01/2017, 10:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

PEMERINTAH punya empat target ambisius di triwulan pertama tahun ini, yang harapannya membuat industri telekomunikasi makin efisien. Tidak hanya menyelesaikan masalah interkoneksi yang diprotes keras Kelompok Telkom (PT Telkom dan PT Telkomsel), tetapi juga menyatukan semua operator BWA (broadband wireless access/ akses nirkabel pita lebar), dari lima operator di tujuh regional menjadi satu operator saja, serta lelang frekuensi tersisa.

Lima operator BWA itu adalah PT Telkom, PT Indosat Mega Media (IM2), PT Jasnita, Internux/Bolt (Kelompok Lippo), dan Berca Hardaya Perkasa (Kelompok Murdaya). Dari kelimanya hanya kelompok Mudaya dan Lippo yang beroperasi dan menguasai beberapa regional, sementara Telkom, IM2, dan Jasnita belum beroperasi.

Mereka bekerja di pita selebar 30 MHz di spektrum 2300 MHz, selebar milik Smartfren dari Kelompok Sinar Mas. Pada spektrum selebar 100 MHz ini tersisa 30 MHz yang setelah dikurangi milik Smarfren dan BWA serta 10 MHz untuk USO (universal service obligation) ini, rencananya akan dilelang bersamaan dengan 10 MHz di kanal 11 dan kanal 12 di spektrum 2100 MHz.

Operator GSM menggunakan spektrum 850 MHz, 900 MHz, 1800 MHz, dan 2100 MHz yang berteknologi FDD (frequency division duplex – dua pita masing-masing 10 MHz unggah dan unduh bersamaan). Sementara frekuensi 2300 MHz berteknologi TDD (time division duplex – satu pita tadi digunakan bergantian untuk unggah dan unduh). Secara hitungan teknis, operator GSM yang memiliki lebih dari 40 MHz atau 20 MHz unggah dan 20 MHz unduh setara dengan 120 MHz di spektrum 2300 MHz.

Itu sebabnya spektrum 2300 MHz ini secara bisnis timpang dalam bersaing dengan operator GSM, termasuk yang dialami PT Smartfren yang digusur dari penguasaannya di rentang 1900 MHz yang mengganggu (interference) spektrum 2100 MHz di kanal 11 dan kanal 12. Smartfren harus mengeluarkan biaya sampai Rp 7 triliun untuk mengganti handset 1900 MHz pelanggannya ke handset 2300 MHz.

Perlu upaya lebih keras

Walaupun demikian, ketika satu operator GSM memenangi lelang 2300 MHz, mereka dapat memanfaatkannya untuk CA (carrier aggregation). Teknologi CA adalah menggabungkan dua spektrum berbeda, misalnya pita selebar 10 MHz di spektrum 1800 MHz dan 10 MHz di 2100 MHz, didapat kecepatan akses data lebih dari dua kali lipat dibanding kalau 20 MHz di masing-masing spektrum.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara mengatakan sudah berkomunikasi dengan pemilik Kelompok Lippo dan Berca (James Riady dan Murdaya) dan berharap konsolidasi ini diselesaikan dengan skema B2B (business to business). Namun konsolidasi di BWA ini tampaknya akan alot karena dua pemegang lisensi untuk beberapa regional yang sudah dioperasikan akan mempertahankan valuasi masing-masing selain biaya modal operator BWA yang rata-rata tinggi.

Tidak sederhana untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin, apakah Lippo atau Murdaya, walau mungkin kelompok Telkom yang banyak uang akan turun tangan membeli lisensi operator lain, termasuk milik IM2 dan Jasnita. Dari sisi teknis konsolidasi tidak berhenti hanya pada penggabungan namun terlebih pada operasional, kecuali kalau kemudian pemegang lisensi tadi akhirnya memutuskan bergabung, merger atau diakuisisi operator GSM.

Lelang dua kanal di 2100 MHz dan 30 MHz di spektrum 2300 MHz pada triwulan pertama ini pastinya hanya akan memenangkan tiga operator dari empat operator yang berminat: PT Telkomsel, PT Indosat, PT XL Axiata dan PT Hutchison Tri Indonesia (HTI). Rentang frekuensi favorit adalah dua kanal di 2100 MHz, karena begitu lelang selesai dan dilakukan pengaturan penempatan kembali (rearrangement) pemilikan kanal, spektrum 2100 MHz akan ditetapkan pemerintah sebagai teknologi netral yang dapat digunakan untuk layanan 4G LTE.

Dari 12 kanal di pita 2100 MHz, kanal pertama dan kedua dimiliki oleh PT HTI, kanal 3, kanal 4 dan kanal 5 dimiliki PT Telkomsel, kanal 6 dan kanal 7 punya PT Indosat dan kanal 8, kanal 9 dan kanal 10 milik PT XL Axiata. Dari ketiga operator itu, kebutuhan paling mendesak akan frekuensi ada pada PT Telkomsel, yang hanya punya 57,5 MHz untuk melayani 16 juta pelanggannya, sementara PT XL Axiata yang “hanya” punya 45 juta pelanggan menguasai 52,5 MHz, PT Indosat dengan 80 juta pelanggan punya 50 MHz sementara PT HTI hanya punya 20 MHz, di spektrum 1800 MHz dan spektrum 2100 MHz.

Kabar mengatakan, harga tiap kanal di 2100 MHZ atau 30 MHz di 2300 MHz sekitar Rp 500 miliar yang akan masuk ke kas Kementerian Kominfo sebagai PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dan semua operator menyatakan sanggup memenangkannya. Namun pemerintah juga memasukkan pertimbangan kebutuhan operator yang mendesak (lapar frekuensi), sehingga tampaknya PT Telkomsel akan memenangkan lelang salah satu kanal di 2100 MHz.

Operator GSM yang lain, baik PT Indosat, HTI atau XL Axiata punya kesempatan menang, kalau tidak di 2100 MHz ya di 2300 MHz. Namun kembali, upaya bagi pemenang di 2300 MHz lebih keras untuk mengoperasikan spektrum itu dibanding operator yang memenangi kanal 2100 MHz, meski terbuka untuk digabungkan dengan frekuensi GSM di FDD yang sudah mereka miliki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com