KOMPAS.com - Berbeda dari tokoh teknologi lain, CEO Uber Travis Kalanick mengambil sikap pragmatis dan memilih bekerja sama dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Dia pun bergabung dengan dewan penasihat ekonomi untuk Trump pada Desember 2016 lalu.
Keputusan tersebut rupanya membuat berang para pengguna Uber. Terlebih ketika Trump mengumumkan kebijakan imigrasi baru yang diskriminatif dan menutup jalan masuk ke AS bagi warga tujuh negara mayoritas Muslim.
Protes dan demonstrasi pun bergulir, tagar #DeleteUber yang menunjukkan ketidaksetujuan terhadap sikap Travis ramai beredar di Twitter. Buntutnya, pekan lalu, pimpinan perusahaan transportasi online ini memutuskan mundur dari dewan penasihat ekonomi Trump ketimbang dilabeli sebagai pendukung presiden kontroversial itu,
Meski Kalanick mundur, gelombang protes sudah terlanjut menimbulkan akibat. Lebih dari 200.000 pengguna Uber dilaporkan telah menghapus akunnya sebagai protes terhadap Kalanick yang dianggap pro-Trump.
Trump memang seperti buah simalakama buat para tokoh industri teknologi di Silicon Valley. Di satu sisi, mereka ingin kooperatif demi kebaikan bisnis. Tapi di sisi lain, Trump memiliki citra negatif di kalangan pekerja teknologi yang banyak diwarnai imigran.
Selain Kalanick, ada sejumlah petinggi industri lain yang menjadi anggota dewan penasihat ekonomi Trump, termasuk Elon Musk dari Tesla dan Space X, serta Marry Barra dari General Motors. Minggu ini Musk mengatakan bahwa para anggota dewan penasihat ekonomi itu berniat untuk mencapai "konsensus" terkait persoalan imigrasi.
Baca: Diprotes, CEO Uber Mundur dari Dewan Penasihat Ekonomi Trump
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.