Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berkenalan dengan Kamera Film yang Kembali Digandrungi di Indonesia

Namun kamera film tak lantas mati. Segelintir orang masih tetap setia menjepret dengan medium analog ini. Belakangan, kamera film malah kembali naik daun dan kembali digunakan, khususnya oleh anak-anak muda.

Sebuah survei yang dilakukan pada 2015 oleh Ilford Photo, salah satu pabrikan kamera film asal Inggris, menunjukkan bahwa 60 persen pengguna kamera film baru mulai memakai medium tersebut dalam waktu lima tahun terakhir. Sebanyak 30 persen dari mereka berumur di bawah 35 tahun.

Hasil-hasil jepretan kamera film pun bermunculan di layanan photo sharing populer Instagram, termasuk di Indonesia yang antara lain mengemuka lewat tagar 35mmindo. Tagar 35mm juga banyak digunakan oleh fotografer film untuk menunjukkan karyanya di Instagram. (Baca: Era Digital, Kenapa Anak Muda Kembali ke Kamera Analog?)

Sebenarnya apa itu kamera film? Apa pula perbedaannya dengan kamera digital yang mendominasi saat ini?

Sensor dan film

Istilah "analog" sebenarnya kurang tepat untuk menggambarkan kamera film, karena kamera digital sekalipun sebenarnya menangkap gambar dengan proses analog, yakni mengubah spektrum cahaya menjadi sinyal listrik (analog) yang kemudian dikonversi menjadi data digital lewat converter.

Untuk mudahnya, perbedaan utama antara kamera film dan digital terletak pada medium penangkap gambar. Alih-alih sensor seperti kamera digital, kamera film menggunakan lembaran emulsi film yang sensitif terhadap cahaya.

Emulsi film berbasis perak halida ini akan mengalami reaksi kimia begitu diekspos ke cahaya. Reaksi tersebut menghasilkan gambar laten yang belum terlihat di lembaran film. Gambar itulah yang kemudian dimunculkan lewat proses pencucian (development) dengan serangkaian cairan kimia.

Selama ratusan tahun, sejarah fotografi melulu mengandalkan reaksi kimia untuk menangkap gambar. Penemu asal Perancis, Joseph Nicephore Niepce, menciptakan plat logam berlapis Bitumen yang sensitif terhadap cahaya untuk menangkap foto pertama di dunia pada 1827.

Lempengan lalu berganti menjadi rol film dan kertas foto. Sementara, kamera turut berevolusi, semakin lama menjadi semakin ringkas dan ringan sehingga lebih mudah untuk dibawa-bawa.

Meskipun alatnya sudah banyak berubah menjadi beragam ukuran dan bentuk, selama ratusan tahun, prinsip perekaman gambar kamera film tetap sama, yakni menangkap gambar permanen dengan bantuan bahan kimia yang bereaksi terhadap cahaya.

Peralihan ke digital

Cara perekaman gambar oleh kamera baru benar-benar berubah setelah kemunculan sensor gambar digital. Berbeda dari medium film yang seolah mencetak gambar di lembaran bahan kimia dengan cahaya, sensor menyimpan gambar dalam bentuk data digital dari sinyal analog yang sebelumnya sudah dikonversi.

Gambar digital terdiri dari ribuan hingga jutaan titik picture element (pixel) kecil yang bisa dilihat dengan melakukan zoom in hingga titik tertentu.

Kamera digital pertama diciptakan oleh engineer Kodak bernama Steve Sasson pada 1975, namun kamera digital baru mulai memasyarakat dan menggeser kamera film pada awal abad ke-21.

Gambar yang terpatri di film tidak terdiri dari jutaan piksel seperti sensor digital, melainkan partikel-partikel bahan kimia. Pabrikan film mengukur ketajaman dengan tingkat spatial resolution alias kemampuan menangkap detil-detil kecil dalam gambar. Spatial resolution biasanya dinyatakan dalam satuan garis per milimeter (lines/mm).


Komponen dan jenis kamera film

Ragam kamera yang dapat dikategorikan sebagai kamera film beraneka rupa karena sejarah panjangnya dari abad ke-19 hingga awal abad ke-21, mulai dari kamera yang muat di kantong (pocket camera) hingga view camera (large format) berukuran setinggi orang dewasa.

Untuk menyederhanakan, jenis kamera bisa dibedakan dari format (ukuran) film yang digunakan, misalnya film 135 (35mm, full frame), film 120 (62mm, medium format), dan sheet film untuk kamera large format.

Format film yang paling umum digunakan adalah film 135. Film 35mm ini mulai dipopulerkan oleh perusahaan kamera asal Jerman, Leica, pada awal abad ke-20 karena ukurannya kecil dan fisik kamera yang memakainya bisa dibuat kecil pula dibanding kamera-kamera lain pada masa itu.

Komponen kamera film memiliki perbedaan dari kamera digital terkait mekanisme kerja penggunaan film sebagai medium. Punggung kamera film bisa dibuka untuk memasukkan rol film. Di dalamnya pun ada spool untuk meregangkan film, pressure plate untuk meratakan film di depan shutter, dan tuas atau motor untuk menggulung film kembali ke kemasannya setelah terpakai.

Sementara itu, punggung kamera digital biasanya tidak bisa dibuka lantaran sensor sudah tertanam permanen di bodi kamera. Namun ada juga beberapa kamera (medium dan large format) yang mediumnya bisa diubah dari film ke digital dengan menambah alat “digital back” berisi sensor ke bagian belakang.

Selain medium penangkap gambar, komponen-komponen lainnya bisa dibilang sama. Baik kamera digital maupun film sama-sama memiliki jendela bidik (viewfinder) untuk membidik gambar, shutter mekanik yang membuka dan menutup kembali untuk mengambil exposure alias menjepret foto, serta rating sensitivitas (ISO/ ASA) medium penangkap gambar terhadap cahaya.

Beberapa komponen mengalami perubahan ke bentuk yang lebih modern di kamera digital. Misalnya jendela bidik yang kini banyak digantikan LCD, atau electronic shutter yang menggantikan shutter mekanik. Kendati demikian, fungsi komponen-komponen tersebut tetap sama.

Teori segitiga exposure pun tetap berlaku di kamera digital seperti halnya kamera film. Pengguna kamera film dan digital sama-sama harus mempertimbangkan kecepatan rana (shutter), bukaan lensa (aperture), dan sensitivitas medium (ISO/ ASA) saat menjepret agar mendapatkan exposure sesuai keinginan.

Kamera digital dan film biasanya sudah memiliki alat light metering terintegrasi untuk melakukan pengukuran exposure secara otomatis.

Kecuali untuk kamera film tua (buatan dekade 50-an atau lebih lawas) yang kerap harus menambah light meter eksternal secara terpisah. Atau tidak bisa ditambahi sama sekali sehingga penggunanya harus mengukur cahaya secara manual dengan beberapa panduan seperti aturan "sunny sixteen".


Perbedaan hasil jepretan kamera film dan digital

Karena memakai jenis medium yang berbeda, gambar akhir hasil jepretan kamera digital dan film tak pelak juga berlainan. Ada beberapa perbedaan yang bisa diuraikan.

1. Bentuk hasil akhir

Gambar hasil akhir kamera digital berupa data digital yang bisa langsung diakses dan dipindah-pindahkan ke perangkat  digital lain semisal komputer atau smartphone. Data digital ini biasanya disimpan dalam kartu memori yang mampu menampung hingga ribuan gambar, tergantung ukuran file foto dan kapasitas memory card.

Hasil akhir kamera film berupa gambar laten di lembaran film yang mesti dimunculkan dan dibuat permanen lewat proses development dengan sejumlah cairan kimia, kemudian diperbesar (enlarge) sesuai kebutuhan untuk dicetak di kertas film. Jumlah frame foto film yang bisa disimpan dalam satu media (rol film) jauh lebih sedikit dibandingkan kamera digital (kartu memori). Satu rol film 135 misalnya, hanya berisi 36 frame.

Proses menuju hasil akhir pada kamera film memang lebih rumit, tapi sekaligus menambahkan satu tahapan yang bisa dimanfaatkan untuk memodifikasi tampilan foto final, yakni proses pencucian.

Keterbatasan jumlah frame yang tersedia juga umumnya menyebabkan pengguna kamera film lebih berhati-hati dan banyak pertimbangan sebelum menekan tombol shutter.

Sebagian orang berpendapat hal ini menyebabkan tiap frame foto analog cenderung lebih bagus secara estetika karena dipertimbangkan secara matang, dibanding jepretan kamera digital yang memungkinkan penggunanya menjepret sebanyak mungkin sesuka hati.

2. “Noise" dan "Grain”

Tekstur bentik-bintik serupa di jepretan kamera film disebut sebagai “grain”. Sebabnya bukan berakar dari gangguan sinyal, melainkan partikel-partikel kimia dalam lembaran film.

Noise dan grain biasanya makin tampak apabila sensitivitas sensor atau film meningkat. Film ASA 400 misalnya, cenderung memiliki grain berukuran lebih besar dan lebih terlihat dibandingkan film ASA 100.

Kendati bisa mengganggu, kemunculan tekstur bintik-bintik ini sering pula dengan sengaja dimanfaatkan untuk menambah efek artistik, utamanya pada foto hasil jepretan kamera film.

3. Dynamic range

Semakin tinggi dynamic range, semakin baik pula kemampuan sensor kamera digital atau film untuk menangkap semua detil foto di area gelap dan terang.

Dynamic range kamera digital awalnya tertinggal dari film. Namun sensor digital modern kini sudah mampu menghasilkan dynamic range yang bisa menandingi atau melewati kemampuan film.

Kamera digital dan gadget modern saat ini juga sudah banyak dibekali fitur High Dynamic Range (HDR) untuk memperluas dynamic range dengan menjepret beberapa foto dengan exposure berbeda dan menggambungkan hasilnya menjadi satu frame akhir.

4. Sensitivitas terhadap cahaya

Seperti film, sensor kamera digital memiliki ukuran sensitivitas terhadap cahaya. Standar yang digunakan sama, yakni ISO (ASA). Sensitivitas sensor digital saat disetel di angka ISO 200 sama dengan film ISO/ASA 200, demikian juga sebaliknya.

Di kamera digital, rating sensitivitas ini berlaku untuk sensor dan bisa diubah-ubah kapanpun sesuai keinginan. Di kamera film, rating sensitivitas hanya bisa diubah dengan mengganti film yang bersangkutan karena masing-masing film memiliki rating sensitivitas individual yang berbeda, misalnya ASA 50 dan ASA 400. Film modern biasanya tersedia dalam rating sensitivitas ISO 50 hingga 3.200.

Sensor digital memiliki sensitivitas maksimum yang bisa jauh lebih tinggi, mencapai kisaran ratusan ribu.Semakin tinggi sensitivitas, maka semakin peka pula sensor/film terhadap cahaya sehingga pengguna bisa memotret dalam kondisi lebih gelap atau menjaga kecepatan shutter di kisaran tinggi.

Kecepatan shutter yang tinggi biasanya digunakan untuk "membekukan" tampilan subyek yang bergerak cepat sehingga tidak buram karena motion blur, seperti pada foto mobil di atas.

5. Karakter

Film negatif Kodak Portra cenderung menghasilkan warna dan kontras lebih halus yang cocok untuk dipakai memotret orang. Sementara, film negatif hitam-putih Kodak Tri-X memiiki karakter kontras dan grain yang terlihat agak kasar tapi banyak disukai.

Sensor kamera digital pun memiliki karakter, tergantung tipe dan konstruksi sensor, serta software pengolah gambar yang digunakan untuk menghasilkan foto akhir. Masing-masing pabrikan kamera digital punya “resep” olahan gambar sendiri untuk menghasilkan tampilan yang khas.

Karakter jepretan kamera digital bersifat permanen karena sensor biasanya tidak bisa diganti. Sebaliknya, pengguna kamera film bisa dengan mudah berganti jenis film untuk mendapatkan karakter foto yang dicari.


Jenis film

Film yang biasa dipakai untuk untuk kamera bisa dibedakan berdasarkan format (bentuk dan ukuran) populer, yakni:

1. Film 135 atau 35mm, untuk kamera ringkas seperti tipe rangefinder. Biasanya 1 rol film 35mm terdiri dari 36 frame. Firm 135 merupakan format film paling populer, dan karena itu paling mudah didapatkan dan diproses (develop).

2. Film 120 atau medium format, untuk kamera-kamera berukuran lebih besar. Satu rol film 120 biasanya berisi 12 atau 16 frame. Pengolahannya lebih sulit dan lebih jarang ditemukan dibanding film 135.

3. Film 4x5 inci, 8x10 inci, dan seterusnya, atau disebut juga large format/sheet film. Biasanya film berukuran terbesar ini hanya digunakan di view camera/land camera tua, yang ukurannya sangat besar pula dan mesti duduk di atas tripod.

Untuk tipe film, ada tipe negatif (print film) dan positif (reversal/ slide) untuk masing-masing format. Film negatif menghasilkan warna-warna yang terbalik dibandingkan scene aslinya di dunia nyata. Area gelap menjadi terang, hitam menjadi putih, dan seterusnya.

Saat dicetak, film negatif melalui proses inversi untuk “membalik” warna agar tampil sesuai aslinya. Film negatif biasanya memiliki warna dan kontras yang halus, serta rentang dynamic range luas sehingga lebih toleran terhadap kesalahan exposure.

Film positif atau slide menghasilkan gambar yang sedari awal memiliki warna-warna sesuai scene aslinya sehingga tidak perlu diinversi seperti film negatif. Selain dicetak, frame indovidual dari film ini bisa langsung dipasang di slide untuk proyeksi.

Filim positif cenderung memiliki saturasi warna dan kontras yang tinggi, tapi rentang tonalnya (dynamic range) tidak seluas film negatif sehingga lebih rentan terhadap kesalahan exposure. Area yang terlalu terang rawan menjadi “botak” alias putih polos tanpa detil, sementara area yang kurang cahaya bisa menjadi sangat gelap.

Kemunculan kamera digital telah membuat produksi sebagian film disetop lantaran kurang peminat atau tidak menguntungkan dari segi bisnis, misalnya seri film Kodachrome bikinan Kodak yang legendaris tetapi proses pencuciannya rumit.

Sejumlah film masih diproduksi oleh berbagai pabrikan saat ini, terutama untuk format 135 yang paling populer. Masing-masing brand film biasanya tersedia dalam beberapa varian yang memiliki perbedaan tertentu seperti rating sensitivitas, misalnya Fujifilm Velvia ASA 50 dan Fujifilm Velvia ASA 100.

Beberapa produsen juga masih memproduksi dan menjual kamera film (baru), misalnya Leica dengan seri M7 dan MP (rangefinder)  serta Nikon dengan F6 dan FM10 (SLR). Selain kamera film baru, peminat fotografi film juga bisa menggunakan kamera film lawas yang banyak dijual bekas dengan harga relatif terjangkau, seperti Canon Canonet (rangefinder) dan AE-1 (SLR).

Catatan: Artikel ini adalah bagian dari Liputan Khusus KompasTekno soal "Tren Kamera Analog di Era Digital". Artikel-artikel lain soal seluk-beluk tren kamera analog bisa dipantau di kanal ini.

https://tekno.kompas.com/read/2017/08/05/10465657/berkenalan-dengan-kamera-film-yang-kembali-digandrungi-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke