Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Beda Hasil Foto Kamera Film dan Digital?

Tompi yang sebelumnya dikenal sebagai penyanyi jazz dan dokter bedah plastik mulai tertarik bermain kamera film sejak 2014. Belakangan ia bersama tiga kawannya membuka laboratorium cetak foto film bertajuk Soup N Film.

Kepada KompasTekno, Tompi mengatakan kualitas gambar yang dihasilkan kamera film dan digital tak bisa serta-merta dibandingkan. Masing-masing punya karakteristik berbeda, tak ada yang lebih baik atau lebih buruk.

“Selayaknya nggak dibandingkan. Ini kayak membandingkan buah-buahan sama binatang,” kata dia pada KompasTekno beberapa saat lalu. (Baca: Era Digital, Kenapa Anak Muda Kembali ke Kamera Analog?)

Tompi sendiri tertarik mendalami kamera film karena menyukai karakter warna yang dihasilkan. Hal ini disepakati pendiri Soup N Film lainnya bernama Jerry Surya.

“Banyak orang pakai kamera digital lalu fotonya diedit biar warnanya keliatan vintage. Kalau pakai kamera film, nggak usah edit langsung dapat look yang begitu secara natural,” kata Jerry saat ditemui di laboratorium dark room Soup N Film.

Tompi dan Jerry mengatakan perbedaan kamera film dan kamera digital lebih bisa dijelaskan jika ditilik dari proses penjepretannya. Kamera digital menawarkan proses yang lebih instan, sementara kamera film cenderung lebih panjang.

Lebih lanjut, berikut beberapa perbedaan kamera analog dan kamera digital yang bisa diuraikan.

Pertama, bentuk hasil akhir. Gambar hasil akhir kamera digital berupa data digital yang bisa langsung diakses dan dipindah-pindahkan ke perangkat digital lain semisal komputer atau smartphone. Data digital ini biasanya disimpan dalam kartu memori yang mampu menampung hingga ribuan gambar, tergantung ukuran file foto dan kapasitas memory card.

Hasil akhir kamera film berupa gambar laten di lembaran film yang mesti dimunculkan dan dibuat permanen lewat proses development dengan sejumlah cairan kimia, kemudian diperbesar (enlarge) sesuai kebutuhan untuk dicetak di kertas film. Jumlah frame foto film yang bisa disimpan dalam satu media (roll film) jauh lebih sedikit dibandingkan kamera digital (kartu memori). Satu roll film 135 misalnya, hanya berisi 36 frame.

Proses menuju hasil akhir pada kamera film memang lebih rumit, tapi sekaligus menambahkan satu tahapan yang bisa dimanfaatkan untuk memodifikasi tampilan foto final, yakni proses pencucian.

Keterbatasan jumlah frame yang tersedia juga umumnya menyebabkan pengguna kamera film lebih berhati-hati dan banyak pertimbangan sebelum menekan tombol shutter. Sebagian orang berpendapat hal ini menyebabkan tiap frame foto film cenderung lebih bagus secara estetika karena dipertimbangkan secara matang.

“Pada saat saya foto dengan kamera digital, saya akan mengambil gambar sebanyak mungkin untuk kemudian pilih yang terbaik. Proses memilihnya bisa lebih lama dari proses fotonya. Beda dengan kamera film, di mana saya mikir dulu baru memotret,” Tompi menuturkan.

Kedua, “noise" dan “grain”. Pada hasil jepretan kamera digital dan analog, kadang muncul “tesktur” berupa bintik-bintik. Di foto digital, bintik-bintik ini lazim disebut noise. Asalnya dari gangguan sinyal yang dihasilkan oleh sirkuit elektronik penangkap gambar, entah karena panas atau perubahan sinyal listrik. (Baca: Istilah-istilah Kamera Analog yang Perlu Diketahui)

Tekstur bintik-bintik serupa di jepretan kamera film disebut sebagai “grain”. Sebabnya bukan berakar dari gangguan sinyal, melainkan partikel-partikel kimia dalam lembaran film.

Noise dan grain biasanya makin tampak apabila sensitivitas sensor atau film meningkat. Film ASA 400 misalnya, cenderung memiliki grain berukuran lebih besar dan lebih terlihat dibandingkan film ASA 100.

Kendati bisa mengganggu, kemunculan tekstur bintik-bintik ini sering pula dengan sengaja dimanfaatkan untuk menambah efek artistik, utamanya pada foto hasil jepretan kamera film.


Ketiga, dynamic range. Dynamic range adalah rentang tonal yang bisa ditangkap oleh sensor kamera atau film dari titik paling terang ke yang paling gelap. Kemampuan dynamic range, misalnya, menentukan apakah subjek foto yang mengalami backlight akan gelap total atau masih terlihat raut wajahnya.

Semakin tinggi dynamic range, semakin baik pula kemampuan sensor kamera digital atau film untuk menangkap semua detil foto di area gelap dan terang.

Dynamic range kamera digital awalnya tertinggal dari film. Namun sensor digital modern kini sudah mampu menghasilkan dynamic range yang bisa menandingi atau melewati kemampuan film.

Kamera digital dan gadget modern saat ini juga sudah banyak dibekali fitur High Dynamic Range (HDR) untuk memperluas dynamic range dengan menjepret beberapa foto dengan exposure berbeda dan menggambungkan hasilnya menjadi satu frame akhir.

Keempat, sensitivitas terhadap cahaya. Seperti film, sensor kamera digital memiliki ukuran sensitivitas terhadap cahaya. Standar yang digunakan sama, yakni ISO (ASA). Sensitivitas sensor digital saat disetel di angka ISO 200 sama dengan film ISO/ASA 200, demikian juga sebaliknya.

Di kamera digital, rating sensitivitas ini berlaku untuk sensor dan bisa diubah-ubah kapanpun sesuai keinginan. Di kamera analog, rating sensitivitas hanya bisa diubah dengan mengganti film yang bersangkutan karena masing-masing film memiliki rating sensitivitas individual yang berbeda, misalnya ASA 50 dan ASA 400. Film modern biasanya tersedia dalam rating sensitivitas ISO 50 hingga 3.200.

Sensor digital memiliki sensitivitas maksimum yang bisa jauh lebih tinggi, mencapai kisaran ratusan ribu. Semakin tinggi sensitivitas, maka semakin peka pula sensor/film terhadap cahaya sehingga pengguna bisa memotret dalam kondisi lebih gelap atau menjaga kecepatan shutter di kisaran tinggi.

Kecepatan shutter yang tinggi biasanya digunakan untuk "membekukan" tampilan subjek yang bergerak cepat sehingga tidak buram karena motion blur. (Baca: Menghitung Biaya Sebelum Memulai Hobi Kamera Analog)

Kelima, karakter. Jerry Surya membagikan beberapa foto yang ia bidik menggunakan kamera digital dan kamera film. Anda bisa membandingkan sendiri hasilnya sebagai berikut.

Film memiliki “karakter” tampilan yang berbeda-beda antar merek dan jenisnya. Film slide Fujifilm seri Velvia, misalnya, dikenal menghasilkan warna dengan saturasi dan kontras tinggi sehingga tampak mencolok dan sesuai untuk foto-foto pemandangan.

Film negatif Kodak Portra cenderung menghasilkan warna dan kontras lebih halus yang cocok untuk dipakai memotret orang. Sementara, film negatif hitam-putih Kodak Tri-X memiliki karakter kontras dan grain yang terlihat agak kasar tapi banyak disukai.

Sensor kamera digital pun memiliki karakter, tergantung tipe dan konstruksi sensor, serta software pengolah gambar yang digunakan untuk menghasilkan foto akhir. Masing-masing pabrikan kamera digital punya “resep” olahan gambar sendiri untuk menghasilkan tampilan yang khas.

Karakter jepretan kamera digital bersifat permanen karena sensor biasanya tidak bisa diganti. Sebaliknya, pengguna kamera film bisa dengan mudah berganti jenis film untuk mendapatkan karakter foto yang dicari.

Menurut pehobi kamera analog sekaligus pendiri ruang kreatif “Saka Space”, Fahmy Siddiq (24), kamera digital dan analog sejatinya untuk saling melengkapi, bukan mengalahkan.

“Orang-orang yang hobi fotografer bisa punya referensi yang lebih kaya. Penggunaan kamera digital dan analog tergantung kebutuhan masing-masing,” ia menjelaskan.

https://tekno.kompas.com/read/2017/08/08/20100007/apa-beda-hasil-foto-kamera-film-dan-digital-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke