Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita Tompi Jatuh Hati kepada Kamera Film

"Pas wedding, saya lihat cara kerja fotografernya kayaknya menyenangkan," kata pria bernama asli Teuku Adifitrian itu, dalam sebuah wawancara dengan KompasTekno di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta, bulan lalu.

Rasa penasaran menimbulkan keinginan untuk membalik peran, dari di depan kamera menjadi di belakangnya. Tompi pun menghubungi sang fotografer untuk meminta saran tentang bagaimana cara mulai memotret.

Sebuah kamera dibeli sebagai modal awal. Ketika itu, tahun 2007, Tompi memulai perkenalannya dengan dunia fotografi yang berlangsung hingga kini.

Baca: Kamera Roll Film Ngetren Lagi, Foto #35mm Ramai di Instagram Tanah Air

Belajar sendiri

Tompi mengaku belajar memotret dari nol tanpa tahu apapun soal itu. Maklumlah, dia sebelumnya berprofesi sebagai dokter ahli bedah plastik dan penyanyi jazz yang boleh dibilang tak berhubungan dengan potret memotret.

Tapi Tompi justru merasa tertentang untuk belajar secara otodidak. Dia giat bertanya dan berkumpul dengan komunitas fotografer. Buku manual kamera pun dilahap hingga akhirnya Tompi menguasai teknik pemotretan dan menemukan genre yang disukai, yakni fashion atau portrait dan street photography.

Seperti kebanyakan orang yang mulai belajar memotret di era modern, Tompi awalnya memakai kamera digital. Tiga tahun belakangan dia merasa penasaran dengan hasil foto kawan-kawan fotografer yang memakai kamera film (analog).

"Saya lihat hasil-hasil foto mereka kok beda ya. Saya tidak merasa lebih bagus atau keren, tapi beda saja, ada rasa lain, begitu," ujar Tompi mengingat kembali keheranannya dulu.

Sepulangnya ke Jakarta, Tompi membulatkan tekad untuk mulai memotret dengan film. Dia mendatangi seorang tokoh fotografi film Indonesia, Benny Asrul, untuk meminta saran.

Kamera analog pertama Tompi adalah sebuah rangefinder buatan Jerman. "Begitu beli, langsung isi rol film dan belajar," katanya menggambarkan antusiasme ketika itu.

“Nyuci” foto

Prinsip kerja kamera digital dan film sebenarnya hampir sama. Perbedaan utamanya terletak di jenis medium penangkap dan perekam gambar.

Kamera digital menangkap gambar dengan sensor, kemudian menyimpan hasilnya dalam bentuk data di kartu memori. Sebaliknya, kamera analog memakai film untuk menangkap gambar. Foto-fotonya pun terekam dalam tiap frame di lembaran film.

Berbeda dari kamera digital yang hasilnya bersifat instan dan bisa langsung dilihat, foto jepretan kamera film mesti lebih dahulu "dicuci" (develop) di kamar gelap dengan berbagai cairan kimia sebelum bisa nampak.

Tompi pun kesulitan mencari, tapi dia tak menyerah. Melihat ada beberapa teman sesama fotografer yang mencuci sendiri filmnya, Tompi pun mendekati mereka dan minta diajari.

Dia menimba ilmu dari sejumlah tokoh fotografi film di Tanah Air. Selain Benny Asrul, Tommy Armansyah dan Haryanto Devcom ikut menjadi gurunya.

Baca: Berkenalan dengan Kamera Film yang Kembali Digandrungi di Indonesia

Ritual pagi

Proses developing film memiliki seninya sendiri. Film hitam putih butuh perlakuan berbeda dengan film warna. Bahkan suhu bahan kimia yang dipakai pun bisa menentukan seperti apa hasilnya nanti.

Di sini Tompi menemukan keasyikan tersendiri. Berbeda dengan digital, fotografi menggunakan kamera analog dengan medium film punya banyak faktor yang menentukan output.

Selain kondisi pemotretan dan pencucian, masing-masing jenis film yang digunakan memiliki “karakter” khas. Ada yang mampu menampilkan tone hitam putih dengan kuat, atau memiliki warna-warna cerah, ada juga yang bisa menyajikan skintone dengan hasil yang menarik di mata.

“Kalau film itu beda (dari digital). Kamera boleh sama, filmnya boleh sama, tapi kalau proses pencuciannya beda, hasilnya pasti beda,” tutur Tompi.

Lambat laun, Tompi pun keranjingan. Ia membentuk “ritual” tiap pagi, di mana ia selalu mengutak-atik film di kamar gelap pada pukul 7 hingga 9, sebelum memulai praktik dokter.

Selepas praktik pukul 4 sore, Tompi bergegas kembali ke darkroom. Aktivitasnya di sana bisa berlangsung hingga pukul 10 malam. “Orang rumah akhirnya ngomel juga, ke mana nih nggak pulang-pulang, ha-ha-ha,” candanya.

Baca: Apa Beda Hasil Foto Kamera Film dan Digital?


Tompi, sang fotografer film

Rasa penasaran terhadap kamera berbuah menjadi profesi baru. Tompi, sang dokter ahli bedah plastik dan penyanyi kondang, kini sekaligus merangkap sebagai fotografer profesional.

Sebuah studio foto bertengger di lantai dua klinik Tompi di Jalan Pakubuwono, Jakarta Selatan. Di sini ia menerima order pemotretan fashion dan portrait.

Selain itu, Tompi juga kerap menerima order foto pre-wedding. Ruang tunggu kliniknya dihiasi serangkaian frame foto hasil jepretan sang dokter.

Kadung jatuh cinta dengan kekhasan film sebagai medium penangkap gambar, Tompi senantiasa menenteng kamera analog kala memotret.

Jenisnya pun beraneka rupa. Tompi, misalnya, mengaku memiliki beragam tipe kamera berdasarkan format film yang digunakan, mulai dari kamera fim 135 (35 mm) standar, hingga kelas medium format dan large format.

Kamera digital tetap dipakai, tapi porsinya tak sebanyak kamera film. “Pokoknya, untuk semua pekerjaan yang serius, saya pakai film,” tegas Tompi.

Ketimbang sensor digital, Tompi merasa lebih nyaman dengan kamera film. Dia mencontohkan proses pengambilan gambar, di mana pengguna kamera digital cenderung menjepret sangat banyak frame sehingga kerepotan memilih mana yang paling bagus untuk diberikan ke klien.

Sebaliknya, pengguna kamera film lebih kritis dan berhati-hati karena jumlah frame film sangat terbatas (36 frame untuk satu rol film 135, 12 frame untuk rol film 120). Sebuah scene dievaluasi dulu sampai benar-benar sesuai keinginan, barulah menekan tombol shutter.

Walhasil, berkebalikan dengan kamera digital proses seleksi foto saat memakai kamera analog justru dilakukan di awal pemotretan, bukan setelahnya sehinga dinilai menghemat waktu oleh Tompi.

“Kalau pakai kamera analog itu, saya mikir dulu baru motret, jadi tidak buang-buang rol film. Kalau perlu 5 sampai 10 gambar, mungkin cuma dua rol yang saya pakai,” katanya.

Baca: Tips Memotret dengan Kamera Film

Soup ’n Film

Kesulitan yang dialami kala berupaya mencari film fan fasilitas developing dulu menginspirasi Tompi untuk mendirikan Soup’n Film, sebuah toko yang mengkhususkan diri dalam segala hal tentang fotografi film.

Dia memulai usaha itu dua tahun lalu bersama tiga orang kawan. Mulanya hanya berupa situs online dan melayani kenalan sesama penggemar kamera film.

Perlahan-lahan peminatnya makin banyak sehingga tahun ini Soup n Film membuka toko di Senayan Trade Center. Sebuah darkroom untuk sentra pengolahan film didirikan di daerah Pasar Baru.

Order makin lama makin banyak sehingga Soup ’n Film kewalahan. Tompi dan kawan-kawan pun menambah tenaga kerja. Belakangan, mereka membuat rencana untuk melakukan ekspansi dengan membuka cabang di Bali.

Pulau Dewata dipilih karena kerap menjadi destinasi bagi fotografer mancanegara. Para fotografer Indonesia yang berdomisili di Bali pun banyak yang berkutat dengan film.

Buat Tompi, keberadaan Soup ’n Film adalah ekstensi dari passion terhadap fotografi film. Ia mengaku motivasinya mengembangkan bisnis ini bukanlah mencari untung, tapi menyebarkan “virus” fotografi film dengan mempermudah akses terhadap film, fasilitas pencucian, dan penyediaan hal-hal lain yang masih terkait.

“Tujuannya supaya lebih banyak orang yang pakai film, biar temannya makin banyak,” tandasnya seraya tersenyum lebar.

Baca: Menghitung Biaya Sebelum Memulai Hobi Kamera Analog

https://tekno.kompas.com/read/2017/08/12/19060047/cerita-tompi-jatuh-hati-kepada-kamera-film

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke