Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tyler Brûlé dan Monocle, Menantang Arus Era Digital

Bukan berarti Monocle tak ada di dunia digital. Namun, geliat digital Monocle “dibatasi” pada ketersediaan situs web. Itu pun, aksesnya berbayar.

Sudah begitu, Brûlé juga terang-terangan mengatakan bahwa Monocle tak menggandeng media sosial untuk mempromosikan diri apalagi menyebarkan potongan kontennya.

Kompas.com mendapat kesempatan wawancara eksklusif dengan Brûlé—pendiri sekaligus CEO Monocle—pada  Jumat (6/10/2017), di sela hajatan Ideafest 2017. Di situ, dia berbagi sejumlah perspektif tentang Monocle dan jurnalisme.

(Simak video: Wawancara Eksklusif Tyler Brûlé, Pendiri dan CEO Majalah Monocle)

“Jurnalisme yang baik harus menjadi fondasi, begitu juga originalitas (konten),” ujar Brûlé.

Dalam perbincangan tersebut, Brûlé pun mengkritisi awak redaksi media yang menurut dia semakin berjarak dengan pembacanya. Ada begitu banyak media, kata dia, yang memantau dari waktu ke waktu jumlah pembaca untuk setiap kontennya tanpa pernah tahu siapa sebenarnya para pembaca itu.

“Kita perlu kembali ke titik di mana para editor, penerbit, keluar untuk menemui pembaca. (Saat ini) semua orang hanya sibuk menatap layar (data pemantau jumlah pembaca artikel) daripada menjumpai dan bercakap-cakap dengan pembaca seperti kita sekarang,” ungkap Brûlé.

Paradoks media sosial dan media massa

Soal media sosial dan media massa, Brûlé sangat lugas memberi garis batas. Menurut dia, media sosial adalah alat yang andal untuk promosi bagi berbagai jenis usaha tetapi bukan untuk media massa.

“Kami punya rasa skeptis yang sehat terhadap media sosial. Kalau Anda perusahaan media, maka Anda bersaing dengan perusahaan media lain,” ujar dia.

“Saya pikir (media sosial) itu bagus kalau Anda tidak bersaing dengan Twitter. Tapi mereka ini (perusahaan media) bersaing dengan Twitter. Mereka (Twitter) mengincar pengiklan yang sama. Lalu, mungkin tidak tiap hari, tapi sering kali mereka (media sosial) yang menang (dari perusahaan media),” ungkap Brûlé.

Brûlé melihat, banyak media massa punya kencenderungan menggunakan media sosial untuk membangun awareness pembaca atas produknya. Padahal, ujar dia, pembaca justru tak mengakses lagi media massa ketika kontennya digelontorkan gratis begitu saja lewat media sosial.

“Kalau kita (perusahaan media) tidak menyadari ini, bahwa perusahaan ini (media sosial) bukan teman tapi kompetitor, saya pikir banyak perusahaan media tradisional tak akan bertahan lama,” ujar dia.

Dengan semua perspektif itu, Brûlé mengakui bahwa tantangan media massa saat ini adalah terus mengasah model bisnis yang tepat untuk tetap bertahan. Memikat pembaca untuk mau membayar saat membaca konten berita, adalah salah satunya.

“Saya pikir semua orang sedang sibuk berkutat dengan masalah ini,” tegas dia.

Menurut Brûlé, media yang bisa diakses gratis—lewat berbagai wujud—adalah fenomena di hampir semua tempat.

Media yang dapat diakses gratis, lanjut Brûlé, akan cenderung menggunakan sumber dari kantor berita untuk mendapatkan kontennya. Masalahnya, ketika bersumber dari kantor berita maka konten tersebut juga akan dipakai media lain dengan pola kerja yang sama.

“Berapa banyak karya jurnalisme original yang mereka hasilkan? Tak banyak. Ya, ada banyak outlet gratis, (tapi) tidak punya loyalitas pembaca,” ungkap Brûlé.

Sejalan waktu, Monocle adalah merek dagang yang merambah sejumlah bidang lain. Namun, lagi-lagi konsep yang diusung kurang lebih sama, tak semata berbasis data tanpa muka para konsumennya, menantang angka-angka yang kerap jadi “dewa” jejaring dunia maya. 

Berikut ini video wawancara Kompas.com dengan Tyler Brûlé:

https://tekno.kompas.com/read/2017/10/30/14274287/tyler-brl-dan-monocle-menantang-arus-era-digital

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke