Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Christopher Wylie, Mahasiswa Pengungkap Kebocoran Data Pengguna Facebook

Ia diketahui mulai bekerja di Cambridge Analytica pada tahun 2014. Berkat bakat briliannya dalam pemrograman dan ilmu data, ia didapuk sebagai kepala peneliti Cambridge Analytica.

Sebelumnya, Wylie bekerja untuk Alexander Nix di Strategic Communication Laboratories (SCL), yang merupakan lembaga spesialis pemilu.

Pada pertengahan 2013, Wylie bertemu dengan Steve Bannon, editor BreitBart News Networking yang kemudian menjadi CEO tim kampanye Donald Trump pada pemilu Amerika Serikat (AS) tahun 2016. Bannon juga sempat menjabat sebagai konselor senior Presiden Trump.

Bannon, yang tengah menyiapkan kampanye Donald Trump kala itu, menjadi target Nix. Nix sadar betul jika Bannon merepresentasikan dirinya sebagai orang intelektual sehingga Nix merasa perlu merepresentasikan lembaganya seperti Bannon.

Ia kemudian membuat kantor palsu di Cambridge untuk mendatangkan rombongan dari London setiap Bannon berkunjung demi mengesankan Bannon jika lembaga mereka beroperasi berlandaskan akademisi. Lalu kantor itulah yang kemudian menjadi markas Cambridge Analytica.

Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, Wylie mengaku bertemu dengan Robert Mercer bersama Bannon dan Nix. Wylie mengaku jika Bannon merayu Robert Mercer, salah satu miliarder AS, untuk mau berinvestasi.

Mercer adalah salah satu tokoh kunci pada kampanye yang menyerukan Inggris agar keluar dari Uni Eropa atau British Exit (Brexit) yang terjadi pada tahun 2016. Ia pun menjadi salah satu tokoh sayap kanan di AS yang mendukung Trump dalam kontestasi pemilu AS.

Pertemuan tersebut membuahkan hasil suntikan dana 15 juta dollar (sekitar Rp 206 miliar) untuk Cambridge Analytica.

Cara Cambridge Analytica mendapat data pengguna Facebook

Tahun 2014, Wylie bertemu dengan Aleksandr Kogan di Universitas Cambridge. Kogan menawarkan cara tercepat, termurah, dan berkualitas untuk memanen data pengguna Facebook.

Kepada Wylie, ia mengaku memiliki aplikasi bernama "thisisyourdigitallife" di Facebook. Aplikasi ini bisa memberikan akses khusus, bukan sekadar dari data pengguna dalam aplikasi tersebut, tetapi juga jaringan teman para pengguna aplikasi.

"Gampangnya, jika Anda menggunakan aplikasi tersebut, saya tidak hanya akan bisa melihat profil Anda saja, tapi juga teman-teman Facebook Anda", ujar Wylie seperti dilansir KompasTekno dari The Guardian, Jumat (23/3/2018).

Kogan diketahui pernah mengirim e-mail kepada Wylie tentang sifat-sifat personal para pengguna Facebook yang bisa diprediksi melalui aplikasi.

Aplikasi buatan Global Science Research tempat Kogan bekerja, memang kerap menyuguhkan survei tentang kepribadian yang tersebar di Facebook. Pengguna aplikasi ini secara tidak sadar menyerahkan dengan sukarela data personal mereka, apa yang mereka sukai, di mana mereka tinggal, serta siapa saja teman mereka.

"Kami hanya perlu menyentuh ratusan ribu akun orang, lalu menyebarkannya lebih luas ke seluruh wilayah AS", ungkap Wylie.

Memang, aplikasi Kogan hanya diunduh 270.000 pengguna Facebook, tetapi dampaknya hingga puluhan juta data pengguna. Wylie menambahkan hanya perlu dua hingga tiga bulan untuk memanen 50-60 juta data pengguna.

Memanfaatkan psikologi untuk memengaruhi pemilih

Wylie sempat berujar bahwa dirinya telah membuat senjata perang psikologi untuk Steve Bannon. Menurut dia, Steve sangat ambisius karena dirinya meyakini bahwa untuk mengubah politik harus mengubah dulu budayanya karena politik mengalir dalam budaya. Lantas untuk mengubah budaya, maka ubahlah masyarakatnya.

"Jika Anda ingin mengubah masyarakat, hancurkan dulu. Setelahnya, kumpulkan pecahan tersebut menjadi masyarakat baru sesuai visi Anda," imbuh mahasiswa PhD jurusan fashion trend forecasting ini.

Wylie kemudian merancang Psychological Operation (Psyop), sebuah operasi untuk menyampaikan informasi tertentu, memengaruhi emosi audiens, memotivasi dan memberikan alasan obyektif.  Untuk menjajaki pemilih, mereka mengumpulkan data banyak orang untuk membangun profil psikologisnya.

"Kami menargetkan mereka bukan sebagai pemilih, namun sebagai personal politik", ujar Wylie.

Setelahnya, tim kreatif, desainer, videografer, dan fotografer membuat konten yang akan dikirim ke target—dalam hal ini adalah para calon pemilih—yang disebar ke internet.

Menciptakan situs, blog, dan konten apa pun, selama target bisa mudah mencarinya, mengkliknya, lalu membiarkan mereka masuk semakin dalam ke konstruksi yang dibangun melalui psikologi.

Wylie pun menjelaskan, jika cara ini berbeda dengan cara konservatif dengan narasi di depan umum.

"Anda bisa membisikkan ke setiap telinga target, bahkan membisikkan hal berbeda dari satu target ke target yang lainnya. Kami mengambil risiko untuk mem-framing masyarakat", imbuh Wylie.

Akun Facebook, WhatsApp, dan Instagram ditangguhkan

Dilansir KompasTekno dari CNBC, akun Facebook Wylie di-suspend atas kejadian ini. Ia mengklaim jika akun WhatsApp dan Instagram, yang juga berada di bawah Facebook, ikut ditangguhkan meskipun perwakilan WhatsApp sempat membantah hal ini.

Wylie menjelaskan konsekuensi membeberkan informasi pribadi di media sosial.

"Di media sosial, Anda mengurasi diri Anda sendiri, Anda menaruh banyak informasi tentang siapa diri Anda di satu tempat, yang dapat ditangkap dengan mudah lalu dijalankan melalui algoritma yang akan mempelajari siapa diri Anda," ujarnya.

 Wylie mengaku menyesal terjerumus dalam skandal ini.

"Saya menyesal. Perkara itu jelas tidak etis karena Anda memainkan psikologi semua negara bagian di AS tanpa mereka tahu dan mengerti," aku pria asal Kanada ini.

https://tekno.kompas.com/read/2018/03/23/10010067/christopher-wylie-mahasiswa-pengungkap-kebocoran-data-pengguna-facebook

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke