Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengamati Pergeseran Pasar Smartphone Indonesia di 2019

Seperti sebelum-sebelumnya, IDC masih menempatkan Samsung di urutan teratas dengan pangsa pasar sebesar 26,9 persen. Oppo menyusul di urutan kedua (21,5 persen), lalu secara berturut-turut Vivo (17 persen), Xiaomi (16,8 persen), dan Realme (6,1 persen).

Menurut analis IDC Risky Febrian, keberhasilan Samsung mempertahankan posisi nomor satu di pasaran smartphone Indonesia tak lain berkat deretan ponsel Galaxy A baru yang gencar dirilis sepanjang paruh pertama 2019.

“Galaxy A berkontribusi 77 persen dari semua produk Samsung,” ujar Risky kepada KompasTekno. Angka yang dicapai Samsung itu terhitung sejak peluncuran Galaxy A2 Core Hingga Galaxy A70.

Lini Galaxy A dari Samsung terutama memperkuat posisi vendor asal Korea Selatan itu di segmen menengah dan high-end (200-600 dollar AS, Rp 2,8 juta-8,5 juta) dengan menawarkan spesifikasi, fitur, dan rentang harga kompetitif.

Masalah Xiaomi, berkah Realme

Setelah Samsung, Oppo di posisi kedua tercatat mengalami kenaikan pangsa pasar dari 18 persen di tahun sebelumnya. Begitu juga dengan Vivo yang pada 2018 hanya menguasai market share 9 persen.

Pencapaian Oppo, menurut paparan IDC, didukung oleh cakupannya yang luas di pasar offline dan peluncuran model baru A1K. Pangsa pasar merek ini signifikan di segmen low-end dengan kisaran harga 100-200 dollar AS (Rp 1,4 juta-2,8 juta).

Sementara itu, berbeda dari Oppo dan Vivo yang menanjak, Xiaomi justru merosot dari posisi kedua tahun lalu ke nomor empat dengan pangsa 16,8 persen, turun dari 25 persen di periode yang sama di 2018.

Penurunan Xiaomi tersebut merupakan berkah bagi Realme, sub-brand besutan Oppo, yang untuk pertama kalinya masuk daftar 5 vendor smartphone terbesar di Indonesia.

Menurut Risky, Xiaomi tahun ini tak banyak merilis produk baru di Indonesia sehingga mempengaruhi kondisi pasarnya. Lalu ada juga masalah kelangkaan barang dan pedagang yang menaikkan harga seenaknya.

Hal ini antara lain terlihat dari model Note 7 besutan Redmi -sub-brand Xiaomi- yang angka permintaannya tinggi sehingga banderolnya melambung tinggi, jauh di atas harga resmi.

Di sisi lain, Realme tidak mengalami masalah serupa. “Juga spesifikasi dan desain produknya lebih kompetitif dibanding yang ditawarkan oleh Xiaomi, sehingga konsumen banyak yang beralih ke Realme,” kata Risky.

Merek lokal Indonesia tersingkir

Laporan IDC agak berbeda dibanding firma riset Counterpoint yang menghitung angka penjualan. Menurut Counterpoint, Samsung masih duduk di posisi pertama, tapi urutan kedua ditempati oleh Xiaomi, kemudian Oppo, Vivo, dan Realme.

Ada juga firma riset lain, Canalys, yang bahkan menempatkan Oppo di puncak klasemen, mengalahkan Samsung untuk pertama kalinya. Canalys menyebutkan Oppo memiliki market share 26 persen di Indonesia, dengan pertumbuhan year-over-year mencapai 54 persen.

Hasil laporan firma riset pasar memang bisa berbeda-beda tergantung variabel mana yang dihitung. Apakah pengapalan (shipment), penjualan (sales), atau lebih detil lagi dengan melacak hingga pembelian di toko.

Terlepas dari sejumlah perbedaan di laporan mereka, baik IDC, Counterpoint, maupun Canalys sepakat menempatkan Realme, sub-merek yang kiprahnya baru seumur jagung, di urutan kelima, masuk top five untuk kali pertama.

Dalam laporan IDC di kuartal-I 2019, posisi kelima masih dipegang oleh Advan. Namun kini merek lokal Indonesia itu sudah tersingkir dari daftar.

IDC mengatakan performa merek lokal terus menurun karen tekanan kompetisi yang tinggi di pasaran ultra low-end dengan kisaran harga di bawah 100 dollar AS (Rp 1,4 juta), terutama dari Xiaomi dan Samsung yang masing-masing memiliki produk di segmen ini.

Produk Redmi Go dari Xiaomi yang dibanderol di bawah Rp 1 juta, misalnya, disebut mampu melampaui pengiriman dua merek Indonesia, Advan dan Evercoss, di kelas ultra low-end.

Beberapa waktu lalu, Risky juga sempat mengungkapkan masalah lain yang dihadapi vendor lokal, yakni promosi besar-besaran dari para pemain asing yang sebagian besar merupakan merek asal China.

“Sumber permasalahannya dari vendor lokal itu kebanyakan dari sisi budget,” kata Risky. “Jadi, mereka kesulitan mempromosikan produknya, brand awareness pun jadi kecil dari sisi konsumen.”

Ketakutan blokir ponsel BM

Jumlah pengapalan smartphone di Indonesia sebanyak 9,7 juta unit di kuartal-II 2019 yang mencatat rekor, menurut IDC, mengalami kenaikan 20 persen dibanding kuartal sebelumnya serta lebih tinggi 3 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Risky menuturkan bahwa kuartal-II memang selalu menjadi puncak pengapalan smartphone tiap tahun. Terlebih, periode tersebut tahun ini juga bertepatan dengan sejumlah momen khusus di Indonesia, seperti bulan Ramadhan dan Idul Fitri, serta liburan sekolah.

Vendor smartphone pun jorjoran menggelar aneka diskon dan promosi untuk menarik konsumen.

Selain itu, Risky mengatakan bahwa isu pemblokiran ponsel black market juga mempengaruhi tingginya pengapalan smartphone di Indonesia.

“Rencana ini lumayan memberikan ketakutan untuk konsumen, jadi mereka lebih pilih membeli yang legal (resmi), sehingga permintaan ponsel legal jadi lebih tinggi,” jelas Risky.

Simak Visual Kreatif KOMPAS yang mengulas detail pasar smartphone Indonesia dalam grafis melalui tautan ini, VIK Pasar Mewah Ponsel Murah, Memahami Pasar Smartphone Indonesia

https://tekno.kompas.com/read/2019/09/02/14010097/mengamati-pergeseran-pasar-smartphone-indonesia-di-2019

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke