Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Lelang Frekuensi 5G yang Tiba-tiba Dibatalkan Kominfo...

Oleh Moch S Hendrowijono*

KEBIJAKAN Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI Johnny G Plate kali ini sangat mengejutkan. Tiba-tiba dia membatalkan proses lelang frekuensi spektrum 2,3 GHz, yang sudah sampai pada penentuan tiga pemenangnya.

Alasannya, menurut Plt Kepala Biro Humas Kemkominfo, Ferdinandus Setu, sebagai langkah kehati-hatian dan kecermatan untuk menyelaraskan setiap bagian dengan ketentuan perundangan yang berkaitan dengan PNBP (penerimaan negara bukan pajak).

Lelang frekuensi di spektrum 2,3 GHz selebar 30 MHz yang dialokasikan untuk jaringan 5G ini dimenangkan oleh tiga operator: Telkomsel, Smartfren dan Hutchison Tri (3).

Masing-masing mendapat 10 MHz. Telkomsel memenangi Blok C, Tri mendapat Blok B dan Smartfren mendapat Blok A, masing-masing dengan harga penawaran sama persis, Rp 144,8 miliar.

Dua operator papan atas, Xl Axiata dan Indosat Ooredoo tidak memenangi lelang selain memang kurang berminat, mereka juga gugur di sisi administrasi.

Namun yang penting, semua operator pemenang lelang sudah berencana akan mengembangkan layanan berteknologi 5G (generasi kelima) di tahun 2021 ini, atau menguatkan layanan di jaringan 4G LTE mereka.

Telkomsel yang mendapat spektrum 2300 MHz selebar 10 MHz di rentang 2360 – 2390 MHz berencana akan memanfaatkannya untik mengembangkan layanan 4G LTE dan melanjutkan pengembangan imlementasi tekonologi jaringan 5G.

Mereka pun siap melakukan proses penataan kembali, refarming, sebab dari lelang sebelumnya, mereka sudah menguasai 30 MHz di spektrum tersebut, sehingga mereka kini memiliki 40 MHz.

Di sisi lain, pemilikan tambahan 10 MHz ini membuka lebar kesempatan Telkomsel untuk mengembangkan penerapan layanan 5G yang mensyaratkan penggunaan 40 MHz secara penuh.

Hal sama juga berlaku untuk Smartfren sebagai pemenang dan sebelumnya sudah merupakan penguasa 30 MHz pertama di spektrum 2300 MHz.

Kelebihan spektrum medium ini, yang mampu menyajikan kapasitas besar lewat proses re-use (penggunaan kembali) frekuensi, karena jarak cakupan frekuensi ini hanya sekitar 300-an meter.

Ini memang sifat frekuensi, makin tinggi dia, makin sempit cakupannya. Beda dengan frekuensi rendah atau sempit, narrowband, seperti 900 MHz, cakupannya bisa sampai radius lima kilometer.

Sayangnya, lelang frekuensi yang sudah sampai tahap menunggu keluarnya izin pita frekuensi radio (IPFR) dari Kementerian Kominfo, dibatalkan oleh menteri. Suatu hal yang belum pernah terjadi sejak ada lelang frekuensi yang terbuka tahun 2016.

Masalahnya lalu bukan selesai dengan sekadar mengembalikan uang jaminan peserta lelang.
Pemerintah harus bisa menjelaskan alasan pembatalan lelang. Sebab ini akan menjadi preseden yang tidak baik ke depannya.

Jika alasan “menyelaraskan dengan peraturan perundangan, berupa PP No 80/2015 tentang PNBP”, maka bisa dikatakan, penetapan pemenang dengan besaran angka penawaran yang kemudian diterima, itu merupakan hal yang fatal.

Optimalisasi penerimaan

Menteri Kominfo Johnny G Plate tidak mempelajari pengalaman lelang-lelang sebelumnya, terutama lelang frekuensi selebar 30 MHz di spektrum sama, 2300 MHz beberapa waktu lalu.

Lelang dimenangkan oleh Telkomsel dengan harga sedikit di atas satu triliun rupiah (Rp 1.050.000.000.000).

Sementara di sisi lain, Kementerian Kominfo punya kewajiban untuk mengumpulkan sebanyak mungkin PNBP yang didapat antara lain dari lelang frekuensi, BHP (biaya hak penggunaan frekuensi), upfront fee, dan lain-lain.

Jika dihitung dari lelang yang dimenangkan Telkomsel sebelumnya, 30 MHz lelang terakhir hanya menghasilkan 3X Rp 144,8 miliar sama dengan Rp 434,4 miliar.

Jumlah ini sangat jauh dari Rp 1,05 triliun yang dibayarkan Telkomsel sebelumnya. Sementara tahun-tahun sebelumnya Kementerian Kominfo menyetorkan PNBP ke negara tidak kurang dari Rp 30 triliun.

Bukan tidak mungkin, Menkominfo mendapat teguran dari Kementerian Keuangan karena kegagalan mendapatkan PNBP yang seharusnya paling tidak mendapat Rp 1,05 triliun.

Apalagi, pemerintah saat ini sedang perlu dana sangat besar untuk melawan pandemi Covid-19, sehingga mereka melakukan optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak.

Dari segi teknologi, XL dan Indosat memang kurang berminat soal 10 MHz yang dilelang, karena diangap tidak optimal untuk digunakan menggelar layanan 5G.

Spektrum 2300 MHz merupakan mediumband yang tidak terlalu dilirik operator telko yang akan menggelar 5G. Mereka lebih nyaman di 2,6 GHz, 3,5 GHz, 26 GHz dan 28 GHz, selain 700 MHz untuk luasnya cakupan.

Ekosistem 2300 MHz juga sangat kurang, dilihat dari ketersediaan teknologinya, dan model ponsel-ponsel 5G-nya.

Korea Selatan sudah mengembangkan 5G dengan menggunakan spektrum 2300 MHz, namun pelanggan kurang puas karena jumlah merek dan model ponsel 5G di rentang itu hanya 50 macam.

Sementara untuk ponsel yang bisa digunakan di frekuensi 2,6 GHz dan 3,5 GHz ada 269 model dan 299 model, dan yang menggunakan 1800 MHz ada 180 model.

Tanpa memiliki spektrum milimeterband operator juga bisa mencoba menggelar 5G dengan teknologi DSS (dynamic spectrum sharing), mengombinasikan lebih dari satu spektrum.

XL Axiata dan beberapa operator dunia sudah mencoba, mislanya dengan menggabungkan frekuensi 1800 MHz dan 2100 MHZ.

Namun hasilnya tidak lebih baik dari jika kedua frekuensi itu digabungkan untuk layanan 4G LTE.  (*Moch S Hendrowijono, pengamat transportasi dan telekomunikasi)

https://tekno.kompas.com/read/2021/01/25/18201087/menyoal-lelang-frekuensi-5g-yang-tiba-tiba-dibatalkan-kominfo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke