Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengamat Sebut Pemerintah Perlu Dialog untuk Merevisi UU ITE

Sebab, menurut Jokowi, pasal-pasal dalam Undang-undang No 11 Tahun 2008, bisa menjadi hulu dari persoalan hukum.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto, mengapresiasi langkah tersebut.

Menurut Damar, inisiatif revisi UU ITE juga menjadi jawaban terhadap kecemasan warga, terutama ketika melayangkan kritikan di ruang maya.

"Ketika mengkritik, UU ITE jadi salah satu penghambat. Jadi dengan sikap Pak Jokowi ini, sudah klop-lah anjuran disertai dengan keinginan untuk merevisi (UU ITE)," kata Damar kepada KompasTekno, Selasa (16/2/2021).

Selain merevisi "pasal karet", Damar menyarankan agar pemerintah melakukan dialog dengan pihak-pihak yang sudah mengawal UU ITE ini sejak awal.

Damar mengungkapkan, sejauh ini, revisi UU ITE hanya berkutat pada bagian teks, yakni pada bunyi pasal dan ayat-ayat saja.

Padahal, Damar melanjutkan, pemerintah juga harus mengetahui bagaimana dampak UU ITE ini dalam konteks kehidupan bermasyarakat.

"Nyatanya UU ITE telah merusak jalinan sosial yang ada di masyarakat. Kenapa saya katakan demikian? Karena dalam penerapannya dia sudah menimbulkan dampak-dampak yang tidak diinginkan," kata Damar.

Dampak politik dan sosial

Mengutip riset CSIS 2018, Damar mengungkapkan bahwa UU ITE memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences), yakni dampak politik dan sosial.

Dari segi dampak politik, UU ITE ini digunakan oleh para politisi dan pemegang kekuasaan untuk menjatuhkan lawan-lawannya.

Sedangkan, dampak sosial, kata Damar, muncul karena UU ITE ini dijadikan alat untuk balas dendam, barter kasus, hingga membungkam pihak yang berbeda pedapat.

"Nah itu yang menurut saya perlu juga didengar oleh pemerintah. Jadi gak cuma berbicara ayat-ayat yang harus diperbaiki," kata Damar.

Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan moratorium. Salah satu langkahnya ialah dengan meminta kepolisian lebih selektif lagi bila mengusut kasus yang melibatkan UU ITE.

"Jangan semuanya dipidanakan, itu ngeri. Mengingat tingkat hukuman (conviction rate) dalam kasus UU ITE ini mencapai 96,8 persen," lanjut Damar.

Artinya, orang yang terjerat UU ITE itu kemungkinan besar akan dihukum. Damar melanjutkan, 88 persen seseorang kemungkinan akan dipenjara.

"Karena tingginya hal tersebut maka moratorium itu jadi opsi yang harus dipertimbangkan," kata Damar.

Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak lagi "takut" lagi untuk mengkritik di ruang maya.

Selain itu, langkah moratorium lainnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah ialah dengan meminta Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran untuk kasus-kasus UU ITE yang sedang berjalan di persidangan hingga revisi undang-undang tersebut rampung.

"Karena kan proses revisi itu nggak cepat ya, bisa setahun, dua tahun. Karena ini kan proses," ungkap Damar.

Sembilan pasal bermasalah

Selain Presiden Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga mengungkapkan bahwa pemerintah akan mendiskusikan inisiatif untuk meakukan revisi terhadap UU ITE. Hal tersebut diungkapkan Mahfud dalam sebuah kicauan di Twitter.

"Jika sekarang UU tersebut (UU ITE) dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet, mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut," tulis Mahfud.

Memanfaatkan momentum ini, Damar menyodorkan sembilan pasal bermasalah menurut Safenet yang perlu direvisi pemerintah.

Salah satu pasal "karet" yang perlu direvisi ialah pasal 27 ayat 3 yang berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Pasal tersebut membahas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa. Butir ini sering digunakan untuk menuntut pidana netizen yang melayangkan kritik lewat dunia maya.

Melalui sebuah kicauan, Damar juga menyebutkan delapan pasal bermasalah lainnya lainnya karena rumusan pasalnya tidak ketat (karet) dan multitafsir, termasuk pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian, pasal 29 tentang ancaman kekerasan, hingga pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi.

Pertama hak untuk mengakases bagi seluruh warga Indonesia, meliputi kebebasan mengakses internet seperti ketersediaan infrasturuktur, ketersediaan infrastruktur, kepemilikan dan kontrol layanan penyedia Internet, kesenjangan digital, hingga kesetaraan akses antargender.

Kedua ialah hak untuk berkespresi, meliputi jaminan atas keberagaman konten, bebas menyatakan pendapat, dan penggunaan Internet dalam menggerakkan masyarakat sipil.

Terakhir ialah hak untuk merasa aman, meliputi bebas dari penyadapan massal dan pemantauan tanpa landasan hukum, perlindungan atas privasi, hingga aman dari penyerangan secara daring.

"Di kita itu nggak ada (jaminan dalam UU ITE). Padahal itu harusnya hal vital," lanjut Damar.

Selain itu, Damar mengungkapkan UU ITE itu didesain untuk melindungi transaksi elektronik. Namun, dalam praktiknya, UU ITE ini dimasukkan begitu banyak peraturan. "Yang justru melimitasi atau membatasi masyarakat," pungkasnya.

Damar berharap ke depannya, Indonesia bisa memiliki regulasi yang berkenanaan dengan internet yang lebih lengkap "sehingga UU ITE-nya bisa balik ke intensi awalnya, yaitu mengatur transaksi elektronik".

https://tekno.kompas.com/read/2021/02/16/16245607/pengamat-sebut-pemerintah-perlu-dialog-untuk-merevisi-uu-ite

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke