Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Polemik "Pasal Karet" UU ITE, dari Permintaan Jokowi hingga Desakan Revisi

Permintaan orang nomor satu di Republik Indonesia ini seketika memancing respons publik.
Banyak masyarakat bertanya-tanya, bagaimana bisa memberikan kritik tanpa takut ancaman Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)?

Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dianggap memiliki sejumlah "pasal karet" dan menimbulkan multitafsir.

Sebab, siapapun yang merasa dirugikan atas pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan/atau menyebarkan "informasi elektronik" sebagaimana diatur dalam undang-undang, bisa menggunakan UU ITE untuk membawa ke ranah hukum.

Pasalnya, keberadaan pasal 27 ayat 3 yang kerap kali jadi landasan untuk membawa "curhat" atau kritik di media sosial ke meja hijau.

Cakupan yang luas ini sering dimanfaatkan segelintir orang untuk mengkriminalisasi pihak lain. Kekhawatiran masyarakat lalu ditanggapi oleh presiden dengan mengusulkan revisi UU ITE. Jokowi mengatakan, jika UU ITE tidak bisa memberi rasa keadilan, maka harus direvisi.

"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini," kata Jokowi saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).

Bahkan, Jokowi meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE yang disebutnya menjadi pangkal persoalan UU tersebut.

"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi.

Presiden juga meminta Kapolri untuk lebih selektif dalam menyikapi dan menerima laporan dugaan pelanggaran UU ITE.

Selain itu, Polri juga diminta untuk membuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal UU ITE dan meningkatkan pengawasan pelaksanaannya lebih konsisten, akuntabel, dan berkeadilan.

Tanggapan publik

Rencana itupun disambut baik dan kritik dari publik. Terutama, mereka yang selama ini mengawal isu ruang digital.

Salah satunya berasal dari organisasi nirlaba Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet). Direktur eksekutif SafeNet, Damar Juniarto menyebut setidaknya ada sembilan pasal bermasalah di UU ITE.

"Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan "karet" dan ada duplikasi hukum," tulis Damar dalam sebuah kicauan.

Adapun pasal-pasal UU ITE yang dipersoalkan karena dianggap "karet" adalah sbb:

Pada tahun pertama diimplementasikan, UU ITE menjerat Prita Mulyasari yang dilaporkan RS Omni Internasional Tangerang karena keluhannya tentang RS tersebut, tak sengaja tersebar ke sejumlah mailing list di dunia maya.

Prita dikenai pasar 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik serta pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Kemudian pada 2013, aktivis mahasiswa Universitas Hasanuddin, Muhammad Arsyad juga menjadi "korban" UU ITE setelah dituding menghina pengurus DPP Golkar, Nurdin Halid.

Arsyad disebut melakukan penghinaan lewat status BlackBerry Messenger (BBM) yang berbunyi "No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!". Selain Arsyad, beberapa aktivis lain juga dijerat UU ITE setelah menyampaikan kritik ke pemerintah.

Salah satunya adalah Dandhy Dwi Laksono. Dandhy dituding melanggar Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45A ayat 2 UU ITE. Sutradara, aktivis, dan jurnalis tersebut ditangkap polisi tahun 2019 lalu terkait unggahan Twitternya yang dinilai menyebar kebencian berdasarkan SARA.

Saat itu, Dandhy cukup aktif mengunggah twit soal kisruh di Papua. Pasal UU ITE juga pernah menjerat guru honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nuril Maknun.

Tahun 2018, Nuril dianggap melanggar pasal 27 ayat 1 juncto pasal 45 ayat 1 UU ITE. Vonis penjara 6 bulan diberikan setelah Baiq merekam percakapan telepon Kepala Sekolah berinisial M, tentang perbuatan asusilanya bersama perempuan lain yang juga dikenal Nuril. Rekaman itu kemudian beredar luas di masyarakat.

Tanggapan Kominfo

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G Plate mendukung usulan Presiden Jokowi untuk merevisi UU ITE.

Menurut Johnny, UU ITE memiliki "DNA" untuk menjaga ruang digital di Indonesia agar lebih bersih,sehat, beretika, dan bisa digunakan dengan nyaman oleh seluruh masyarakat.

Ia juga mengatakan pemerintah akan lebih selektif dalam menerima laporan yang menggunakan UU ITE sebagai dasar hukum.

"Pemerintah akan secara lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE dan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir diterjemahkan secara hati-hati," tutur Johnny.

Meski demikian, Johnny mengatakan bahwa dua "pasal karet" yakni Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) tersebut sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan terbukti telah sesuai dengan hukum yang berlaku (konstitusional).

"Perlu dicatat bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, yang kerap kali dianggap sebagai 'pasal karet', telah beberapa kali diajukan uji materiil ke MK serta selalu dinyatakan konstitusional," ujar Johnny dalam keterangan resmi yang diterima KompasTekno, Rabu (17/2/2021).

Pernah direvisi

UU ITE sempat direvisi pada 2015 lalu. Usulan revisi diajukan langsung oleh Presiden Jokowi kepada DPR.

Revisi tersebut rampung dan tertuang dalam UU Nomor 19 Tahun 2016. Namun, pasal yang dipersoalkan belum mendapat banyak perubahan.

Seperti pasal 27 ayat 3 tentang defamasi yang disebut mengekang kegiatan berekspresi dan kritik terhadap pemerintah atau lembaga negara. Menurut Rudiantara, Menkominfo periode 2014-2019, pasal 27 ayat 3 tidak mungkin dihapuskan.

Ia mengatakan, jika pasal tersebut dihapus, akan menghilangkan efek jera terhadap pelanggar hukum. Rudiantara menyebut pasal ini memiliki peran besar untuk melindungi transaksi elektronik di dunia maya, hanya saja implementasinya kerap kurang tepat.

Lantas, apakah usulan revisi yang diusulkan Presiden Jokowi lagi nantinya akan banyak berubah ataukah tetap seperti sebelumnya? Kita lihat saja.

https://tekno.kompas.com/read/2021/02/18/07000017/polemik-pasal-karet-uu-ite-dari-permintaan-jokowi-hingga-desakan-revisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke