Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ada Apa dengan Penerbangan Indonesia?

Kecelakaan yang terjadi pada pesawat kargo B737-400 Trigana Air di Bandara Halim Perdanakusuma pada Sabtu, 20 Maret 2021 menimbulkan pertanyaan besar terkait penerbangan nasional. Kejadian tersebut terjadi kurang dari 3 bulan sejak kecelakaan pesawat B737-500 Sriwijaya Air pada 9 Januari 2021 lalu. Ironisnya, kedua kecelakaan tersebut terjadi di sekitar ibukota negara, Jakarta.

Menurut ketentuan dalam Annex 13 Aircraft Accident and Incident Investigation dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) serta Civil Aviation Safety Regulation (CASR) RI part 830 sub part 830.2, definisi kecelakaan pesawat, di antaranya adalah: the aircraft sustains damage or structural failure which: a) adversely affects the structural strength, performance or flight characteristics of the aircraft, and b) would normally require major repair or replacement of the affected component.

Atau dengan kata lain, pesawat mengalami kerusakan berat yang berpengaruh pada struktur pesawat dan memerlukan perbaikan atau penggantian komponen yang banyak.

B737-400 PK YSF Trigana Air mengalami total loss, tidak bisa diperbaiki sehingga untuk evakuasi pesawat harus dipotong-potong. Dengan demikian, PK-YSF bisa dikatakan mengalami kecelakaan (accident).

Selain dua kecelakaan itu, dalam tiga bulan pertama di tahun 2021 ini juga banyak terjadi kejadian dan kejadian serius di penerbangan.

Pada 17 Februari, Garuda Indonesia GA 642 mengalami rusak mesin saat terbang dari Makassar menuju Gorontalo sehingga harus kembali ke Makassar.

Pada 6 Maret 2021, Batik Air ID-6803 rute Jambi-Jakarta mendadak harus Return To Base (RTB) ke Jambi karena roda depan pesawat bermasalah sehingga pesawat terhenti di tengah runway dan mengakibatkan bandara ditutup sementara.

Pada 8 Maret 2021, Batik Air ID-6561 rute Palu - Jakarta mengalami penundaan keberangkatan karena ditemukan garis yang melengkung pada permukaan lapisan kaca kokpit di bagian kiri.

Pada 12 Maret 2021, Citilink QG776 terpaksa kembali ke Bandara Soekarno-Hatta sesaat setelah lepas landas karena ada gangguan tekanan udara di kabin.
Tanggal 20 Maret, Batik Air penerbangan ID-6561 dari Palu harus menunda lepas landas dan terpaksa Return To Apron (RTA) karena pilot menemukan ada komponen yang perlu pengecekan lebih lanjut.

Kejadian-kejadian tersebut seperti mengingatkan pada kondisi di tahun 2007, di mana di awal tahun juga terjadi 2 kecelakaan pesawat dan beberapa kejadian lain. Kecelakaan pertama menimpa B737-400 PK-KKW Adam Air yang jatuh dan hilang di perairan Majene, Sulawesi Barat pada 1 Januari 2007. Kemudian tanggal 7 maret 2007, B737-400 PK- GZC Garuda Indonesia tergelincir dn terbakar di Bandara Adisutjipto Yogyakarta.

Akibat kejadian-kejadian tersebut, otoritas penerbangan Uni Eropa memasukkan Indonesia dalam UE Ban List pada Juli 2007. Artinya semua penerbangan Indonesia dilarang terbang di atas langit Eropa karena pemerintah Indonesia dianggap tidak dapat menjamin keselamatan penerbangan nasionalnya.

Setelah itu, keselamatan penerbangan Indonesia memang meluncur tajam ke bawah. FAA sebagai otoritas penerbangan AS juga memasukkan Indonesia dalam kategori 2 karena dianggap tidak bisa mematuhi dan melaksanakan aturan-aturan keselamatan penerbangan. Sedangkan dari hasil audit keselamatan USOAP ICAO pada tahun 2014, nilai Indonesia hanya 45%, meningkat sedikit pada tahun 2016 menjadi 51%. Tetapi masih di bawah rata-rata dunia yaitu 60%.

Pemerintah bisa saja menyatakan bahwa saat ini tingkat keselamatan penerbangan nasional sudah sangat tinggi. Karena FAA sudah menaikkan Indonesia menjadi kategori 1 di tahun 2016, hasil audit ICAO sudah di angka 80,34 % di tahun 2017 dan Uni Eropa juga sudah mencabut Indonesia dari ban list sejak tahun 2018.

Namun kenyataan di lapangan, saat ini dalam kurun waktu tidak sampai 3 bulan sudah terjadi 2 kecelakaan dan beberapa kejadian (incident) dan kejadian serius (serious incident). Jika ditarik ke belakang, pada akhir tahun 2018 juga terjadi kecelakaan yang menimpa pesawat B737 MAX Lion Air PK-LQP jatuh di perairan Karawang dekat dengan Jakarta.

Tanggung jawab siapa?

Dalam Undang-Undang no 1 tahun 2009 tentang Penerbangan pada pasal 308, disebutkan bahwa Menteri (Perhubungan) bertanggung jawab terhadap keselamatan penerbangan nasional. Menteri Perhubungan adalah regulator penerbangan nasional yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai pengatur, pengawas dan pengendali penerbangan nasional.

Pada pasal 312 disebutkan bahwa Menteri Perhubungan bertanggung jawab terhadap pengawasan keselamatan penerbangan nasional, di mana tugas pengawasan tersebut dalam dilakukan dalam kegiatan audit, inspeksi, pengamatan (surveillance) dan pemantauan (monitoring) untuk melihat pemenuhan peraturan keselamatan penerbangan yang dilaksanakan oleh penyedia jasa penerbangan dan pemangku kepentingan lainnya.

Terkait keselamatan penerbangan, aturan-aturannya bersifat internasional yang ditetapkan oleh ICAO melalui Annex, Documents dan Standart and Recommendation Practises (SaRPs). Aturan-aturan tersebut diadopsi di Indonesia menjadi CASR. Semua pemangku kepentingan, baik itu regulator, operator maupun pihak lain terkait, termasuk masyarakat, harus mengikuti aturan tersebut, tidak boleh menyimpang atau membuat aturan sendiri.

Dalam melaksanakan tugasnya, Menteri Perhubungan dibantu oleh beberapa istitusi di bawahnya. Termasuk di antaranya adalah KNKT yang bertugas melakukan investigasi dan penelitian kecelakaan transportasi. Investigasi KNKT tidak untuk mencari siapa yang salah dalam suatu kecelakaan, tetapi mencari apa akar penyebab dan kemudian memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak terkait seperti regulator, operator dan lainnya.

Namun rekomendasi KNKT ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan. Pada periode 2015-2020, dari sekitar 241 rekomendasi terkait penerbangan, sejumlah 125 atau 52 % rekomendasi belum ditindaklanjuti. Bahkan pada tahun 2020, hingga akhir tahun belum ada rekomendasi KNKT yang dilaksanakan.

Akar permasalahan

Tahun 2020, akibat pandemi Covid-19, penerbangan global termasuk penerbangan nasional memang mendapat dampak yang serius. Banyak maskapai berhenti beroperasi bahkan bangkrut. Ribuan pesawat tidak terbang dan jumlah penumpang turun tajam hingga tinggal 40-50 % dibanding sebelum pandemi.

Jadi dapat dimaklumi jika rekomendasi KNKT belum dapat dilaksanakan. Karena pemenuhan rekomendasi bisa berimplikasi keluarnya biaya yang tidak sedikit.

Namun menjadi aneh kalau hal tersebut sudah terjadi sejak tahun 2015, di mana seharusnya kondisi penerbangan normal. Apakah maskapai kekurangan dana untuk membiayai pemenuhan rekomendasi tersebut?

Jika melihat kenyataannya, ada indikasi kehidupan maskapai penerbangan Indonesia memang sudah parah sejak sebelum pandemi. Dapat dilihat dari laporan keuangan maskapai yang sudah melantai di bursa saham seperti Garuda Group dan Indonesia AirAsia.

Garuda Group tahun 2014 rugi Rp 4,87 triliun, tahun 2015 untung Rp 1,07 triliun tapi karena penyusutan beban usaha dan bukan karena pendapatan usaha yang justru turun, tahun 2016 untung Rp 124 miliar, tahun 2017 rugi Rp2,98 triliun, tahun 2018 rugi Rp 2,45 triliun dan tahun 2019 untung Rp 97,72 miliar karena menaikkan harga tiket dan mengurangi frekuensi terbang. Dapat dilihat, jumlah keuntungan tidak sebanding dengan jumlah kerugian yang diderita.

Indonesia AirAsia group, pada tahun 2018 melaporkan kerugian Rp907 miliar dan tahun 2019 rugi Rp157,4 miliar (kurs Rp 14.000).

Sriwijaya Group, pada Oktober 2018, menyatakan berhutang Rp2,46 triliun kepada Garuda Indonesia Group, PT. Pertamina, Angkasa Pura I dan II serta Airnav Indonesia.

Lion Group seperti juga Sriwijaya bukan perusahaan terbuka sehingga laporan keuangannya tidak bisa diakses publik. Namun pada tahun 2020, terdengan isu Lion Group akan mengecilkan kapasitas bisnisnya dengan membentuk maskapai baru. Apakah ini menandakan mereka juga kesulitan keuangan?

Pada tahun 2020 ini, hampir dapat dipastikan semua maskapai mengalami kerugian karena terdampak pandemi Covid-19.

Jika hanya satu maskapai yang kesulitan keuangan, tentu masih wajar. Namun menjadi tidak wajar dan berbahaya jika hampir semua maskapai kesulitan keuangan. Karena bisa jadi akan berdampak pada keselamatan penerbangan dan pertumbuhan perekonomian nasional.
Biaya pemenuhan keselamatan yang besar dan wajib dipenuhi maskapai, dalam kondisi keuangan yang cukup parah, bisa saja menimbulkan upaya-upaya untuk tidak memenuhi atau menunda pemenuhan keselamatan.

Atau jika terpaksa memenuhi biaya keselamatan, bisa saja kelangsungan hidup maskapai tidak akan lama dan bisa bangkrut atau paling tidak mengecilkan skala bisnisnya. Hal ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian nasional karena ketiadaan transportasi udara di Indonesia yang wilayah geografisnya kepulauan ini sudah terbukti menimbulkan kontraksi negatif. Contohnya di tahun 2020, dari laporan BPS pertumbuhan ekonomi minus 2,07 persen dengan penyumbang kontribusi terparah adalah adalah menurunnya sektor transportasi (termasuk pesawat) dan pergudangan yang tercatat minus 15,04 persen.

Menteri Perhubungan selaku penanggung jawab penerbangan nasional, sudah seharusnya mengambil langkah serius terkait hal ini. Kebijakan publik harus segera diperbaiki atau dibuat baru, terutama terkait bisnis penerbangan. Tidak hanya untuk masa pandemi, tapi juga nanti di saat kondisi normal. Hal ini agar pemenuhan aspek keselamatan penerbangan terpenuhi dan bisnis penerbangan bisa berkelanjutan sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan perekonomian nasional.

Pemerintah tidak seharusnya terpaku dengan jumlah penumpang yang banyak dan meminta maskapai menambah jumlah penerbangan tetapi dengan menjual harga tiket murah. Karena hal tersebut sudah terbukti membuat maskapai merugi. Jumlah penumpang yang banyak tetapi jumlah penerbangan juga banyak akan menyebabkan tingkat keterisian pesawat menurun dan biaya operasional meningkat. Jika tarif juga rendah, kemungkinan besar maskapai akan rugi.

Aturan-aturan bisnis yang menunjang efektifitas dan efisiensi operasional penerbangan kemungkinan perlu diperbaiki atau dibuat baru. Aturan terkait tarif (baik untuk penumpang maupun kargo), rute dan slot, serta pola operasional penerbangan nasional dapat diperbarui dengan memperhatikan keseimbangan supply and demand. Dengan demikian jumlah keterisian pesawat meningkat, tarif sesuai industri serta menghilangkan perang harga (predatory pricing) antar maskapai.

Hal-hal yang di luar operasional penerbangan namun berkaitan langsung seperti misalnya pengadaan avtur, bea masuk pesawat dan sparepart serta nilai tukar rupiah perlu dibuat stabil dan meringankan maskapai penerbangan. Menteri Perhubungan dapat menjadi jembatan yang aktif untuk mendorong pihak-pihak terkait membantu dalam hal tersebut.

Pada akhirnya, penerbangan nasional menjadi sehat berkelanjutan, keselamatan meningkat dan ikut mendongkrak pertumbuhan perekonomian nasional.***

https://tekno.kompas.com/read/2021/03/24/11030067/ada-apa-dengan-penerbangan-indonesia-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke