Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dua Pasal Permenkominfo 5/2020 yang Berpotensi Melanggar HAM

Desakan tersebut digaungkan oleh organisasi pembela kebebasan berekspresi SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network).

Direktur Eksekutif SAFENET Damar Juniarto mengungkapkan pihaknya menilai bahwa Permenkominfo 5/2020 berpotensi melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) serta kebebasan berkespresi masyarakat Indonesia.

Penilaian ini berangkat dari hasil analisis hukum yang dilakukan SAFENET bersama ahli hukum Herlambang Wiratraman.

"Permenkominfo ini sebenarnya bermasalah besar dan mengancam atas kebebasan berkespresi," ungkap Herlambang dalam sebuah acara daring, Rabu (29/4/2021).

Untuk itu, SAFENET bersama Herlambang mencoba melakukan kajian pada aturan tersebut dengan berangkat dari perspektif hukum dan hak asasi manusia. Kajian ini juga untuk melihat potensi dampak yang dapat dihasilkan oleh aturan ini.

Aturan tak sesuai porsinya

Secara garis besar, Permenkominfo 5/2020 mengatur perihal Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.

Penyelenggara Sistem Elektronik merupakan perusahaan atau badan yang menggelar layanan digital atau online, antara lain Google, Facebook, YouTube, Twitter, TikTok, termasuk Gojek, Grab, Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya.

Hal-hal yang diatur dalam Permen tersebut, seperti pendaftaran, tata kelola moderasi informasi atau dokumen elektronik, dan permohonan pemutusan akses atas informasi/dokumen yang dilarang.

Aturan itu juga mengatur pemberian akses untuk kepentingan pengawasan dan penegakan hukum, serta sanksi administratif yang mungkin dijatuhkan pada PSE yang ada di Indonesia. Permenkominfo 5/2020 bisa diakses melalui tautan berikut.

Herlambang mengungkapkan ketika ia pertama kali mengetahui tentang peraturan menteri Kominfo ini, ia sampai terheran-heran.

"Kok ada peraturan begini? mengatur sebegitu detailnya. Bahkan ada sanksi-sanksi yang tidak di level peraturan perundang-undangan yang tepat gitu ya," ungkap Herlambang.

Setelah menganalisis substansi Permenkominfo 5/2020, ia menyimpulkan bahwa produk hukum eksekutif ini banyak mengatur soal HAM. Khususnya yang berkaitan dengan hak-hak digital, seperti hak untuk mengakses, hak untuk berekspresi, dan hak untuk merasa aman.

"Masalah lainnya, aturan ini juga mengatur pembatasan bahkan mengatur sanksi. Oleh karena itu secara teori penormaan, Permenkominfo ini melampaui batasan," jelas Herlambang.

Ia menjelaskan, seharusnya aturan yang mengatur perihal yang berkaitan dengan HAM, pembatasan, hingga sanksi seharusnya berada pada produk hukum di level undang-undang atau peraturan daerah. Bukan di level peraturan menteri seperti Permenkominfo 5/2020 ini.

Pasal-pasal berpotensi langgar HAM

Permenkominfo 5/2020 yang terdiri dari 7 bab dan 49 pasal. Dari seluruh pasal-pasal yang ada, Herlambang mengungkapkan ada dua pasal yang berpotensi melanggar prinsip HAM.

Pertama, pasal 21 ayat (1) dan (2). Pasal ini mewajibkan PSE Lingkup privat untuk memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Kementerian atau Lembaga serta aparat penegakan hukum dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Herlambang berpendapat, pasal-pasal yang mewajibkan PSE untuk membuka akses terhadap konten komunikasi ini rentan untuk disalahgunakan.

"Apalagi teori three part test-nya juga belum diatur ketat dalam Permenkominfo 5/2020, sehingga praktis, pengaturan ini membuka ruang pelanggaran hak privasi," ungkap Herlambang.

Ia menjelaskan, teori three part test menyangkut tiga hal. "Aturannya harus dinyatakan tegas di dalam hukum, ada alasan dan tujuan yang sah, dan memang diperlukan tindakan batasan itu sejauh tidak melanggar," kata Herlambang.

Kedua, pasal 36 ayat (5) yang berbunyi, "PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Data Pribadi Spesifik yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)".

Herlambang menjelaskan data pribadi spesifik yang dimaksud oleh aturan tersebut ialah data yang berkaitan dengan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, kehidupan/orientasi seksual, pandangan politik, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Di sini, ia menilai bahwa masalah utama pasal tersebut ialah ketidakjelasan soal level urgensi  bagi PSE untuk wajib memberikan akses pada data pribadi spesifik pada pihak-pihak yang disebutkan pada pasal 36 ayat (5).

"Saya juga ngggak tau ini yang membentuk aturannya ngerti atau nggak artinya kehidupan seksual dan orientasi seksual ini. Yang jelas pasal ini berlebihan mengatur data pribadi," kata Herlambang.

Berpotensi langgar kebebasan berekspresi

Tak hanya itu, Herlambang juga menggarisbawahi, ia menemukan 65 kata kunci "pemutusan akses", baik yang dimaknai sebagai pemblokiran (access blocking) maupun take down, dalam Permenkominfo 5/2020.

"Ini bentuk pembatasan. Dan itu jelas bertentangan dengan HAM, kebebasan berekspresi," pungkas Herlambang.

Masih soal pemutusan akses, ia juga melihat bahwa mekanisme penyampaian komplain (grievance mechanism) dari PSE soal pemutusan akses ini masih terbatas.

"Kalo Anda diputus, mekanismenya memang ada di aturan itu. Tetapi mekanisme pemutusan itu benar atau nggaknya, sesuai atau tidaknya, mekanisme untuk komplainnya terbatas," lanjut Herlambang.

Dari hasil analisis ini, Herlambang mengambil kesimpulan bahwa substansi hukum Permenkominfo 5/2020 yang mengatur soal Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat ini, masih jauh dari standar, bahkan bertentangan dengan prinsip HAM dan kebebasan berekspresi.

https://tekno.kompas.com/read/2021/04/29/15460097/dua-pasal-permenkominfo-5-2020-yang-berpotensi-melanggar-ham

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke