Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Amazon, Toko Buku Online yang Berubah Jadi Raksasa Marketplace

KOMPAS.com - "Bekerja keras, bersenang-senang, dan mencetak sejarah," itulah kira-kira salah satu kutipan terkenal dari sosok yang mendirikan raksasa e-commerce Amazon, Jeff Bezos.

Amazon yang kita kenal sekarang merupakan buah dari jerih payah dan keringat Bezos dalam membangun dan menerapkan budaya kerja di perusahaan tersebut selama kurang lebih 26 tahun.

Bezos merintis Amazon untuk pertama kalinya pada 5 Juli 1994 di garasi rumahnya yang terletak di Bellevue, Washington DC, Amerika Serikat (AS). Modalnya dari uang pribadi Bezos sendiri sebesar 10.000 dolar AS.

Tujuan awal Bezos merintis perusahaan ini sendiri adalah untuk menghadirkan sebuah toko buku kecil-kecilan, di mana buku-bukunya bisa dibeli konsumen luas di seluruh dunia secara online.

Buku pertama yang berhasil dijual melalui Amazon adalah buku sains yang berjudul Fluid Concepts and Creative Analogis karya Doug Hofstadte. Buku ini terjual pada 3 April 1995 dan versi aslinya masih dijual di situs Amazon.

Pada bulan pertamanya, Amazon dikabarkan telah menerima pesanan buku dari 50 negara bagian AS dan 45 negara berbeda di seluruh dunia.

Kini, Amazon berubah menjadi raksasa e-commerce yang tidak hanya menawarkan buku, melainkan juga berbagai produk kebutuhan sehari-hari, konten hiburan digital, Amazon Prime, layanan cloud Amazon Web Services (AWS), dan lain sebagainya.

Dari modal 10.000 dollar AS, Bezos sukses mengembangkan Amazon menjadi perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar 1.670 triliun dollar AS pada 2021.

Ketika pertama kali dirintis, kata "Amazon" sendiri sebenarnya tidak terpikirkan oleh Bezos.

Nama yang terbesit di benak pria kelahiran 12 Januari 1964 itu adalah "Cadabra", suatu kata yang juga muncul di kata "Abracadabra" yang biasanya disebutkan ketika seseorang memulai sebuah trik sulap.

Namun, Bezos kemudian menyadari bawah "Cadabra" memiliki kemiripan bunyi dengan "cadaver" (jenazah) yang notabene memiliki konotasi negatif.

Setahun setelah pendiriannya, nama Cadabra pun diganti menjadi Amazon yang dinilai memberi kesan skala yang besar karena merupakan sebutan bagi salah satu sungai terbesar di dunia.  Ini selaras dengan slogan perusahaan tersebut, yaitu "Earth's Biggest Book Store".

Amazon juga dipilih karena nama tersebut bakal muncul di deretan paling atas dalam direktori situs web yang kala itu memang disusun berdasarkan urutan abjad.

Nama Amazon masih dipakai hingga sekarang dengan logo khasnya yang menampilkan garis lengkung yang melintang dari huruf awal "A" hingga "Z" yang menyerupai senyuman.

Sentuhan ini konon menandakan budaya kerja perusahaan tersebut, di mana Amazon rela memberikan pelayanan terbaiknya bagi konsumen di seluruh dunia supaya mereka bahagia.

Ketika ada karyawannya yang melakukan sebuah kecerobohan, misalnya, pria berumur 57 tahun itu bisa saja mengatakan "Apa kamu malas atau memang tidak kompeten?" langsung di depan muka karyawannya.

Karakter semacam ini tentunya berpengaruh terhadap budaya dan aturan kerja di perusahaan tersebut yang dituntut keras sejak dulu, di mana tidak ada "zona nyaman" bagi seluruh karyawan.

Setiap dua tahun sekali, misalnya, seluruh karyawan Amazon, termasuk Bezos sendiri, memiliki kewajiban untuk bekerja di bagian customer service. Hal ini bertujuan supaya mereka tahu bagaimana proses layanan konsumen di perusahaan tersebut.

Contoh lain adalah ketika ada sesi rapat, di mana karyawan Amazon tidak menggunakan presentasi melalui modul PowerPoint (PPT).

Tiap rapat di perusahaan ini konon dimulai dengan sesi membaca materi yang bakal didiskusikan selama 30 menit. Setelah itu, para peserta rapat baru bisa berdiskusi secara kritis dan menyampaikan ide-ide kreatifnya.

Tidak hanya rapat, kerasnya budaya kerja di Amazon juga tercermin di jam kerjanya.

Pada libur Natal 1998 lalu, misalnya, seluruh karyawan Amazon harus lembur untuk melayani pembeli yang membeludak. Bahkan, banyak dari mereka yang mengajak kerabat dan keluarganya demi membantu memenuhi lonjakan permintaan.

Budaya kerja yang dicanangkan Bezos ini agaknya membuat para karyawannya terampil dan mempelajari nilai-nilai penting dalam jalannya sebuah bisnis di suatu perusahaan.

Beberapa dari mereka bahkan merintis perusahaan teknologi lain yang populer hingga kini, seperti Jason Kilar yang merintis platform streaming Hulu, hingga Charlie Cheever yang membuat situs tanya jawab populer Quora.

Kemudian ada situs web Findory.com yang dirintis oleh Greg Linden, Pro.com yang dibuat oleh Matt Williams, Foodista.com yang diciptakan oleh Barnaby Dorfman, dan beberapa layanan berbasis situs web lainnya yang digagas oleh mantan karyawan Amazon.

Ada pula salah satu e-commerce raksasa asal India, Flipkart yang juga dirintis oleh duo Sachin Bansal dan Binny Bansal yang dulunya merupakan mantan pegawai Amazon.

Seiring waktu, Amazon makin meraksasa, termasuk dengan terus mengakuisisi banyak perusahaan lain di berbagai segmen.

Beberapa perusahaan yang dimiliki Amazon mencakup perusahaan fesyen Zappos, perusahaan grosir bahan pangan Whole Foods, perusahaan pembuat buku berbasis audio Audible, perusahaan robot Kiva Systems, dan lain sebagainya.

Platform kurator buku online Good Reads, serta platform streaming game populer Twitch, serta media The Washington Post juga kini berada di bawah naungan Amazon.

Amazon juga memiliki saham 10 persen di North American eCommerce yang mencakup saham dari perusahaan-perusahaan ritel besar seperti Office Depot, Staples, Apple, Dell, hingga Walmart.

Sifat agresif Amazon, begitu juga Bezos di ranah bisnis, membuat Amazon terus berkembang. Kini, perusahaan tersebut menjadi salah satu dari lima perusahaan teknologi alias "the Big Five" yang berpengaruh di dunia, bersama Microsoft, Apple, Google, dan Facebook.

https://tekno.kompas.com/read/2021/05/05/20210037/sejarah-amazon-toko-buku-online-yang-berubah-jadi-raksasa-marketplace

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke