Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Aplikasi Android Pengukur Saturasi Oksigen, Bisakah Diandalkan?

Alhasil, pasien Covid-19 yang tidak bergejala berat kini diarahkan agar isolasi mandiri di rumah masing-masing.

Selama isolasi mandiri ini, saturasi oksigen atau kadar oksigen dalam darah menjadi salah satu hal yang vital yang perlu dipantau oleh pasien. Sebab, kondisi pasien yang memburuk kerap kali terjadi bersamaan dengan menurunnya saturasi oksigen.

Selain itu, dengan memantau saturasi oksigen, ini bisa menunjukkan ketika pasien memiliki masalah pernapasan yang serius, bahkan ketika sang pasien tidak mengalami sesak napas.

Nah, saturasi oksigen ini bisa diukur menggunakan alat bernama oksimeter. Alat ini dapat mengukur kadar oksigen di dalam darah tubuh lewat ujung jari tangan. Cukup menempelkan ujung jari tangan, lalu sensor akan memindai saturasi oksigen dalam darah.

Oksimeter bisa dibeli secara mandiri dan dijual di beberapa e-commerce dengan harga ratusan hingga jutaan rupiah.

Namun, sejumlah orang kerap memilih cara praktis untuk memantau kadar oksigen dalam darahnya, yakni menggunakan aplikasi oksimeter yang marak tersedia di smartphone Android dan iOS.

Lantas, apakah hasil pengukuran saturasi oksigen menggunakan aplikasi oksimeter di ponsel bisa dijadikan patokan?

Disclaimer dari aplikasi oksimeter

Patauan KompasTekno, aplikasi pengukur kadar oksigen dalam darah ini bisa ditemukan dengan mudah dan dalam jumlah yang banyak di toko aplikasi Google PlayStore.

Pengguna hanya perlu mengetik kata kunci "oksimeter" atau "oximeter fingerprint" untuk bisa menemukan berbagai macam aplikasi yang didesain untuk bisamengukur kadar oksigen dalam darah.

Misalnya, ada aplikasi O2 Meter, Pulse Oximeter, dan lainnya. KompasTekno menjajal aplikasi O2 Meter yang dikembangkan oleh Animesh Jana. Aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 100.000 kali, dan mendapatkan rating 4.0.

Ketika dijajal, pengguna hanya perlu meletakkan jari telunjuk di kamera belakang ponsel. Kemudia klik "start" supaya aplikasi bisa mengukur saturasi pengguna melalui kamera tadi. Setelah menunggu beberapa saat, aplikasi akan memberikan hasil pengukuran saturasi dalam darah.

Aplikasi O2 Meter ini tak hanya menyediakan pengukuran saturasi oksigen darah saja, melainkan juga pengukuran detak jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, hingga semua tanda vital.

Meski menyediakan berbagai macam pengukuran yang berkaitan dengan kondisi kesehatan seseorang, pengembang aplikasi O2 Meter telah memberikan disclaimer (peringatan) penggunaan aplikasinya itu.

Salah satunya ialah untuk tidak menjadikan hasil pengukuran dari aplikasi O2 Meter sebagai patokan utama.

"Aplikasi kami tidak diuji atau diverifikasi, jadi akurasi mungkin berbeda pada beberapa perangkat," tulis Animesh Jana selaku pengembang aplikasi O2 Meter di Google Play Store.

Tak hanya itu, pengembang juga memperingatkan pengguna bahwa aplikasi O2 Meter ini tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam mendiagnosis kondisi apapun, atau juga tidak ditujukan untuk mencegah penyakit apapun.

"Aplikasi kami tidak boleh digunakan sebagai perangkat atau produk medis. Konsultasikan dengan dokter, jika Anda memerlukan keperluan medis," tulis Animesh Jana.

Beberapa aplikasi oksimeter lainnya juga memberikan disclaimer yang mirip. Misalnya, Pulse Oximeter. Saat dijajal, aplikasi ini tidak memanfaatkan kamera untuk mengukur saturasi oksigen, seperti aplikasi O2 Meter.

Aplikasi Pulse Oximeter menggunakan metode tahan napas selama mungkin, semampu pengguna. Pengguna diarahkan menekah tombol "start" untuk memulai tahan napas, dan menekan tombol lanjutan bila sudah tidak kuat.

Nah, dari situlah aplikasi Pulse Oximeter menyajikan hasil pengukuran saturasi oksigen pengguna. Saat hasil pengukuran muncul, aplikasi memberikan peringatan bahwa hasil pengukuran menggunakan aplikasi Pulse Oximeter hanya berupa estimasi.

"Hasil aplikasi hanya rekomendasi estimasi dan tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis nilai saturasi oksigen, yang tepat," tulis Pulse Oximeter.

Jangan dijadikan patokan utama

Terkait hadirnya aplikasi seluler yang bisa digunakan untuk mengukur saturasi oksigen ini, sejumlah dokter meragukan kemampuannya.

Direktur kantor kedokteran Universitas Alabama di Sekolah Kesehatan Birmingham, Walter Schrading, bersama koleganya, pernah mengevaluasi kinerja tiga aplikasi oksimeter pada tahun 2019.

Hasilnya, aplikasi-aplikasi itu tidak cukup meyakinkan untuk mengidentifikasi orang yang tidak memiliki cukup oksigen.

Menurut Schrading, meskipun aplikasi tersebut bisa melakukan pemeriksaan oksimetri, tapi hasilnya tidak akurat, terutama jika kadar oksigen dalam darah sudah sangat rendah. Orang yang sebenarnya memiliki kadar oksigen rendah, bisa saja disebut "normal" oleh aplikasi.

"Mereka (aplikasi pemeriksaan oksimetri) tidak bekerja dengan baik ketika Anda benar-benar membutuhkannya untuk melakukan pemeriksaan, saat kadar oksigen Anda sudah sangat rendah," jelas Schrading.

Makanya, Schrading mengatakan, mengandalkan aplikasi untuk mengecek level oksigen dalam darah secara mandiri bisa berakibat fatal.

Di beberapa penelitian lain, aplikasi pemeriksaan oksimetri di gadget juga disarankan untuk tidak dijadikan acuan utama. Misalnya seperti penelitian yang diterbitkan oleh Center for Evidence-Based Medicine Universitas Oxford.

Dalam penelitian itu disebutkan beberapa alasan mengapa aplikasi pemeriksaan oksimetri di gadget sebaiknya tidak dijadikan acuan utama.

Pertama, kumpulan data atau dataset yang diujikan tidak menyertakan berbagai macam jenis kulit. 

Kedua, dataset yang diuji mencakup kisaran saturasi oksigen yang terbatas. Sebagian besar berada pada kisaran normal, yakni 95-100 persen. Sementara oksimeter yang digunakan secara klinis harus mencakup saturasi oksigen 70 persen hingga 100 persen.

Ketiga, tidak ada dataset independen yang menguji akurasi aplikasi.

"Saturasi oksigen yang diberikan oleh teknologi seperti itu (aplikasi di smartphone atau smartwatch) sebaiknya tidak dipercaya," tulis penelitian tersebut.

Beda standar pemeriksaan

Hasil pengukuran saturasi oksigen menggunakan aplikasi tak bisa dijadikan acuan utama mengingat standar pengukuran tingkat oksigen dalam darah pada aplikasi dan oksimeter medis, berbeda.

Dalam pemeriksaan medis, perangkat mengirimkan dua panjang gelombang cahaya yang berbeda melalui pemindaian ujung jari oleh sensor.

Gelombang cahaya tersebut adalah merah (red light) dan infrared. Hemoglobin, protein yang membawa oksigen ke dalam darah, menyerap lebih banyak infrared ketika membawa oksigen.

Sebaliknya, jika tidak membawa cukup banyak oksigen maka menyerap lebih banyak cahaya merah. Dari situlah perangkat menghitung seberapa banyak oksigen yang bersirkulasi di dalam tubuh.

Sementara itu, smartphone rata-rata hanya memiliki cahaya putih (white light). Sehingga, smartphone tidak bisa memeriksa secara akurat, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari The Verge, Jumat (2/7/2021).

https://tekno.kompas.com/read/2021/07/02/17454167/aplikasi-android-pengukur-saturasi-oksigen-bisakah-diandalkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke