Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Satelit Satria Angkat Martabat 26,5 Juta Penduduk 3T

Lebih tiga perempat abad Indonesia merdeka, dan memiliki jaringan GSM sejak 27 tahun lalu, masih ada 26,5 juta (nyaris 10 persen) dari 271 juta penduduk Indonesia yang belum terjangkau fasilitas telekomunikasi.

Padahal operator seluler selalu mengklaim bahwa mereka sudah melayani 92 persen – 95 persen populasi Indonesia.

Kenyataan ini yang akhirnya pada 2017 ITU (International Telecommunication Union) dalam ICT Development Index, memasukkan Indonesia pada urutan ke-111 berdekatan dengan Timor Leste dan Kamboja, di bawah Filipina dan Vietnam.

Ke-26,5 juta warga negara Indonesia yang kurang beruntung itu memang tinggal di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal), yang terbentang dari ujung ke ujung Tanah Air.

Tidak mudah mengejar ketertinggalan tadi, karena Indonesia terdiri dari lebih 17.000 pulau yang sebagiannya memang sulit dijangkau akibat berada di hutan lebat dan pegunungan yang sangat jauh dari pusat kota.

Ny Juinar, kepala sekolah di sebuah SMA di Sangihe, Sulawesi Utara kalau akan ke ibu kota propinsi, Manado, harus naik kapal lebih dari enam jam.

Di tempatnya mengajar memang ada fasilitas telekomunikasi yang dibangun BAKTI (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika) namun ada murid yang tinggal di pulau lain yang tidak ada jaringan seluler.

Untuk murid yang tinggal di Sangihe dan punya ponsel pintar, pada masa pandemi ini belajar secara daring. Tetapi untuk murid di pulau lain, guru-gurulah yang harus naik perahu 6 jam bolak balik untuk mengajar mereka.

Contoh ini, membuat studi The Boston Consulting Group (BCG) tahun 2017 menyarankan BAKTI menggunakan tiga satelit untuk menghubungkan 150.000 titik di kawasan 3T tadi.

Mustahil menghubungkan titik-titik tadi dengan kabel, serat optik (FO) atau sinyal seluler karena terdiri dari 93.000 sekolah/madrasah, kantor desa-kecamatan sebanyak 47.900. Juga puskesmas dan rumah sakit sebanyak 3.700 buah, Polsek dan Pos TNI ada 3.900 dan kantor-kantor pemerintah lain sebanyak 600, semuanya di daerah terpencil.

Sebagian dari 83.218 desa di Indonesia, menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), ada 20.341 desa berada di wilayah 3T dan 9.113 desa di antaranya belum terjangkau layanan seluler generasi keempat (4G).

Kapasitas internet di desa-desa yang sudah terliput 4G pun, lewat VSAT (very small aperture terminal) baru sekadar 2 Mbps, beda dengan perkotaan yang kini sedikitnya 50 Mbps.

Berdasarkan saran BCG, pemerintah (BAKTI Kominfo) dengan skema KPBU (kerja sama pemerintah dengan badan usaha) kemudian membangun satelit multifungsi berteknologi HTS (high throughput satellite – satelit berkapasitas tinggi).

Satelit yang dinamai Satria 1 (Satelit Republik Indonesia) ini berkapasitas 150 Gbps (gigabyte per second/detik), kapasitas tertinggi satelit serupa di Asia Tenggara, yang kini sedang dibangun di pabrik dan akan diluncurkan tahun 2023 dari Florida, Amerika Serikat.

Menurut Direktur Utama Bakti, Anang Latif, harga Satria 1 sekitar Rp 7,1 triliun termasuk biaya peluncuran. Setiap tahun selama 15 tahun beroperasi sesuai usia rata-rata satelit, pemerintah membayar ke KPBU tadi Rp 1,4 triliun yang diambil dari dana USO (universal service obligation – kewajiban pemerintah memberi layanan publik), di luar pajak.

Dana USO didapat dari sumbangan operator yang dipungut 1,25 persen dari pendapatan kotor mereka, sekitar Rp 2,6 triliun hingga Rp 3 triliun per tahun berupa PNBP (penerimaan negara bukan pajak).

Tumbuhkan ekonomi

Satelit HTS beda dengan satelit konvensional, yang cakupannya berupa footprint yang bisa seluas kawasan dari Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara, Nusantara dan Australia Utara.

Cakupan satelit HTS berupa spot beam, atau titik cakupan seperti halnya cakupan BTS (base transceiver station yang radiusnya lima kilometeran).

Satelit Telkom yang akan dibangun dan diluncurkan tahun 2024, sebagian konvensional (C-Band dan XC-Band) berkapasitas 7 Gbps dan sebagian lagi HTS dengan Ku-Band berkapasitas 20 Gbps.

Transponder C-Band dan XC-Band satelit Telkom merambah hutan, samudera, kawasan perkotaan dan pedesaan, sementara Satria 1 hanya masuk ke 150.000 titik yang dituju dengan frekuensi Ka-Band yang lebih tinggi, 20 GHz – 30 GHz.

Hingga tahun 2023, kapasitas 150 GB kalau rata- rata digunakan selama 15 jam sehari, hanya akan mampu membagi sebesar 1,14 Gbps tiap pengguna tiap bulan, sangat kecil dibanding saudara-saudara mereka di kota yang bisa “makan” 50 Gbps.

Ketika satelit Satria 2a dan 2b diluncurkan tahun 2025 yang total kapasitasnya 300 Gbps, jatah tiap pengguna per bulan bisa naik sampai 2,29 Gbps, dan pada 2030, Satria 3 yang berkapasitas 500 Gbps akan membagi masing-masing pengguna 3,82 Gbps per bulan.

Kapasitas itu tidaklah akan cukup, apalagi lima tahun ke depan, kebutuhan digital manusia akan terus tumbuh yang kalau dituruti dan ada dana, tidak akan cukup dengan meluncurkan 20 satelit lagi. Akhirnya, sayangnya, namanya 3T akan tetap saja 3T, terluar, terdepan dan tertinggal.

Kenapa? Karena 150.000 titik itu bisa dikatakan, satu desa mungkin hanya masuk satu titik. Sementara desanya luas, sampai ke seberang sungai, seberang hutan atau seberang bukit.

Mereka yang ada di seberang inilah yang disebut tetap 3T, karena jangkauan BTS Bakti tidak bisa sampai batas desanya. Bukan hanya itu, jika pengguna yang tinggal dekat BTS Bakti mengakses video yang makan data banyak, tidak hanya yang di seberang, yang agak jauh sedikit dari BTS pun tidak akan kebagian jatah.

Namun, bagaimanapun, masuknya internet ke kawasan 3T akan mampu menumbuhkan ekonomi masyarakat, menyetarakan ilmu para pelajar karena mereka bisa mengakses informasi dari mana saja seperti saudara-saudara mereka di perkotaan, dan dapat digunakannya teknologi pengobatan dari jauh, teledoctor, yang bisa meningkatkan kesehatan masyarakat, dan sebagainya.

Kelebihan satu daerah 3T, misalnya potensi wisata, atau hasil bumi, kerajinan khas daerah, kreasi masyarakat, dibukakan pasarnya lewat internet, harkat dan martabat mereka pun terangkat. Orang tidak perlu ke kota untuk belajar, berobat, selain bisa menjajakan hasil produksi mereka hingga ke seluruh pelosok dunia.

https://tekno.kompas.com/read/2021/07/13/13020057/satelit-satria-angkat-martabat-26-5-juta-penduduk-3t

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke