Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Holding BUMN Aviasi – Pariwisata, Jangan Mengulangi Kesalahan Garuda

Kita ingin menjadi suatu bangsa yang seperti setiap hari digembleng oleh keadaan.
Digembleng, hampir hancur lebur, bangkit kembali…

(Pidato Bung Karno pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di istana negara tahun 1964)

Sejak awal, Bung Karno sebagai founding father Indonesia sudah menyatakan bahwa kalau ingin menjadi bangsa yang besar harus mau digembleng oleh keadaan, up and down, berkompetisi sehat di bidang apa saja termasuk di bidang bisnis.

Namun wejangan Bung Karno ini seperti terlupakan saat kita membaca pemberitaan tentang rencana dibentuknya beberapa holding badan usaha milik negara (BUMN).

Termasuk di antaranya adalah holding BUMN yang bergerak di bidang penerbangan (aviasi) dan pariwisata.

Holding yang diinisiasi oleh Kementerian BUMN ini rencananya akan beranggotakan PT Angkasa Pura I dan II, maskapai Citilink Indonesia dan BUMN lain dari bidang aviasi, dan beberapa BUMN pariwisata seperti Sarinah, Pengembangan Pariwisata Indonesia, Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko.

Mall besar vs warung

Holding ini bisa dibayangkan seperti sebuah mal besar yang menjual berbagai macam produk penerbangan dan pariwisata. Orang yang masuk ke mal ini akan dimanjakan dengan berbagai produk dan layanan dari masuk hingga keluar mal.

Dengan demikian diharapkan banyak masyarakat yang tertarik untuk mengunjungi dan berbelanja di mal besar ini.

Merchant atau pemilik kios-kios di mal ini tentu saja juga akan mendapat banyak keuntungan. Salah satu contohnya, kerja sama antar-merchant yang dipimpin oleh pengelola mal bisa membuat biaya operasi mereka menjadi turun.

Dengan banyaknya pemasukan dari masyarakat yang berbelanja, tentu saja kondisi ini akan sangat menguntungkan.

Namun perlu diingat bahwa Indonesia bukan hanya terdiri dari mal besar itu. Banyak juga toko-toko kecil bahkan warung. Banyak perusahaan swasta di bidang penerbangan dan pariwisata yang modalnya tidak sekuat BUMN.

Mereka mungkin hanya mengandalkan kelincahan dan kepandaian dalam berbisnis, bukan modal yang besar. Bagaimana mereka bisa bersaing dengan mal besar ini, mengingat dalam operasionalnya mereka harus tetap berhubungan dengan salah satu kios di mal tersebut.

Contohnya adalah keberadaan PT Angkasa Pura I dan II yang merupakan pengelola bandar udara besar dalam hal pasar yang menjadi anggota holding. Di bandara AP I dan AP II tentu juga akan beroperasi maskapai-maskapai yang bukan anggota holding.

Lalu bagaimana pelayanan AP terhadap maskapai – maskapai ini? Berbeda atau tidak? Jika berbeda, tentu akan merugikan maskapai swasta. Jika sama pelayanannya, lalu untuk apa dibentuk holding?

Misalnya lagi, Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko tentu saat ini juga melayani wisatawan yang menggunakan maskapai non Citilink (anggota holding).

Lalu bagaimana pelayanannya terhadap wisatawan tersebut? Berbeda atau tidak? Jika berbeda, tentu akan merugikan wisatawan tersebut. Jika sama pelayanannya, lalu untuk apa dibentuk holding?

Bisa saja wisatawan itu nanti berpindah menggunakan maskapai Citilink (anggota holding). Lalu bagaimana nasib maskapai swasta?

Barbara S Peterson dalam bukunya, Blue Stark: Inside JetBlue, The Upstart That Rocked an Industri tahun 2004 menyatakan bahwa kondisi ini disebut predatory practices atau flood the zone tactics, yaitu jaringan toko-toko besar yang mendominasi toko-toko kecil sehingga akhirnya bangkrut.

Hal ini pernah dialami maskapai-maskapai baru dan kecil di AS yang tergusur oleh jaringan maskapai-maskapai besar yang didukung oleh kebijakan pemerintah.

Pada akhirnya pemerintah AS melakukan deregulasi sehingga maskapai-maskapai kecil pun bisa berkompetisi secara fair melawan maskapai besar.

Kesalahan Garuda

Kondisi hampir serupa pernah terjadi di Indonesia dengan aktor utamanya adalah maskapai Garuda Indonesia. Garuda sampai saat ini sebenarnya selalu mendapat privilege lebih dari pemerintah.

Bahkan Garuda pernah memonopoli bisnis penerbangan nasional dari awal berdirinya perusahaan tahun 1950, sampai dengan 1990-an.

Pada saat itu, hanya Garuda yang boleh memakai pesawat jet. Garuda juga memonopoli penerbangan di kota-kota besar di Tanah Air. Garuda terlihat makmur.

Namun keadaan berbeda 180 derajat saat pemerintah mulai mengizinkan maskapai swasta memakai jet dan melakukan deregulasi penerbangan pada tahun 1990 dan 1992.

Mantan Direktur Utama Garuda periode 1998-2002, Abdulgani menulis bahwa mulai saat itu Garuda yang terbiasa hidup di zona nyaman pun, terguncang ketika harus bersaing dengan maskapai-maskapai swasta yang lebih energik dan lincah.

Tahun 1993 hingga tahun 1997, kondisi finansial dan operasional Garuda merosot tajam. Selama periode itu, total kerugian Garuda mencapai Rp 2 triliun. Arus kasnya juga negatif yang hampir saja membuat maskapai ini bangkrut.

Setelah itu sampai saat ini Garuda tidak bisa benar-benar dalam keadaan stabil. Pernah beberapa kali dilakukan restrukturisasi dan berhasil rebound, namun kondisi Garuda masih seperti saat ini. Anda bisa membaca, mendengar atau melihatnya di banyak pemberitaan media massa.

Padahal sampai saat ini Garuda masih mendapat beberapa previlege dari pemerintah. Misalnya untuk pengangkutan jamaah haji masih dimonopoli Garuda dan Saudia Airlines selaku perwakilan negara Saudi Arabia.

Garuda juga menjadi satu-satunya maskapai yang boleh dipakai aparatur sipil negara (ASN) untuk berdinas ke luar kota yang ada penerbangan Garuda.

Dari sisi aturan, Garuda juga diuntungkan yaitu dengan adanya aturan tentang pembagian maskapai berdasar layanan dan tarif domestiknya. Garuda yang masuk maskapai full service atau maskapai terbaik layanannya, ternyata mempunyai wilayah tarif yang sangat lebar.

Garuda mempunyai tarif batas atas tertinggi, sedangkan tarif batas bawahnya juga sangat dalam, bahkan hampir menyamai tarif bawah maskapai di bawahnya.

Hal inilah yang sering dipakai oleh pemerintah untuk mempengaruhi penjualan tarif maskapai nasional di pasar domestik. Seperti di tahun 2018 lalu, saat tarif penerbangan maskapai nasional dianggap terlalu mahal, pemerintah meminta Garuda untuk menurunkan tarifnya.

Dengan turunnya tarif Garuda, maskapai lain otomatis akan mengikuti. Jika tidak, penumpang mereka bisa pindah naik Garuda.

Misalnya saja anda ditawari, naik maskapai swasta (Indonesia AirAsia, Sriwijaya, Lion Air) atau memilih Garuda kalau tarifnya hanya berbeda 50 ribu – 100 ribu rupiah. Anda tentu memilih Garuda yang mempunyai layanan dan reputasi lebih baik. Begitu penjelasannya.

Namun dengan berbagai previlege seperti itu, apakah Garuda menjadi lebih baik? Anda bisa menilainya sendiri.

Jangan sampai kesalahan-kesalahan yang dilakukan pemerintah maupun manajemen terhadap Garuda, terulang pada holding aviasi-pariwisata ini.

Karena jika mengingat petuah Bung Karno di atas, dalam holding yang berpotensi menjadi monopoli ini tidak akan ada gemblengan, persaingan yang akan membuat manajemen selalu awas, dan tidak terlena dengan previlege-previlege dari pemerintah.

Perbaiki sistem

Jika terjadi hal yang demikian, masyarakat dan bangsa Indonesia juga yang akan dirugikan.

Kalau boleh memilih, dari pada membuat holding yang berpotensi monopoli, lebih baik pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Pariwisata memperbaiki atau membuat sistem persaingan yang sehat di bisnis penerbangan dan pariwisata.

Jangan dibedakan antara BUMN dan perusahan swasta. BUMN justru seharusnya menjadi salah bagian dari pemerintah untuk menggairahkan bisnis penerbangan dan pariwisata nasional, bukan justru membuat sekat dan menutup pintu.

Indonesia bukan hanya milik BUMN, tapi milik seluruh bangsa Indonesia yang mempunyai hak untuk melakukan usaha dengan persaingan yang sehat. Untuk Indonesia yang tangguh, untuk Indonesia yang tumbuh. ***

https://tekno.kompas.com/read/2021/09/09/10065367/holding-bumn-aviasi-pariwisata-jangan-mengulangi-kesalahan-garuda

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke