Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sisi Lain Merger Indosat – Tri

Bergabungnya Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia menjadi topik menarik akhir pekan lalu. Aksi korporasi yang bernilai 6 miliar dollar AS (sekitar hampir Rp 85,5 triliun) ini akan mengubah peta persaingan telekomunikasi, dengan berkurangnya jumlah operator dari enam (Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Tri, Smartfren dan Net1) menjadi lima.

Merger keduanya kelihatannya akan menutup kesempatan merger bagi dua atau tiga operator tersisa, paling tidak bagi XL Axiata dan Smartfren. Keduanya sudah kalah oleh kelihaian Tri, posisi tawar mereka tiba-tiba jadi rendah.

Ini bukan pertama Hutchison 3 Indonesia mengajak merger Indosat. Dekade lalu, pernah ada pendekatan antar-keduanya ketika Dirut Indosat dijabat Alexander Rusli, tapi gagal. “Mereka mintanya terlalu tinggi,” kata Alex.

Setelah itu, 2019, Tri berupaya mendekati Smartfren, tidak ada kelanjutan dan dengan XL Axiata pun pada 2020, tidak ada kata sepakat. Jodohnya Lie Ka-shing, pemilik jaringan Hutchison di dua belahan dunia, memang dengan Ooredoo yang uangnya “tidak berseri.”

Indosat Ooredoo punya 60,3 juta pelanggan, Tri punya 44 juta pelanggan, berharap jumlah pelanggan perusahaan hasil merger menjadi 104 juta. Pendapatannya pun diprediksi akan menjadi Rp 42,8 triliun.

Laporan keuangan Indosat Ooredoo semester pertama 2021, pendapatan hampir Rp 15 triliun dengan laba Rp 1,03 triliun, naik dari pendapatan semester sama tahun 2020 yang Rp 13,45 triliun tetapi rugi Rp 62,77 miliar. Sementara 3 pendapatan tahun lalu mencapai sekitar Rp 7 triliun.

Adopsi anak yatim

Ada beberapa catatan yang perlu, dengan merger itu, sambil melihat apa yang pernah terjadi ketika Axis dicaplok XL Axiata tahun 2014.

Menjelang akuisisi, karyawan Axis di-PHK, namun diberi kesempatan untuk melamar ke XL Axiata dan lebih dari separuh karyawan Axis melamar. Kini kabar mengatakan, ex-Axis tinggal 5 sampai 10 orang saja.

Masalahnya, ketika dua perusahaan dengan bisnis yang sama lalu merger, akan terjadi duplikasi, kelebihan tenaga yang signifikan di segala sisinya, baik teknologi maupun back office-nya, terutama pemasaran dan penjualan.

Yang satu menganggap yang lain bodoh karena cara penanganannya beda, suasana kerja sangat berbeda, tekanan psikologis sebagai pendatang “yang dianggap akan melahap rezeki” tuan rumah, membuat banyak yang merasa kurang nyaman.

Kalau diibaratkan layanan penerbangan, Indosat Ooredoo adalah layanan penuh, sementara Tri seperti LCC (low cost carrier) yang 90 persen pelanggannya adalah anak muda, sangat sensitif pada tarif. Dari lima operator yang ada setelah merger, yang masih menjalankan LCC hanyalah Smartfren dengan berbagai kemurahan mirip dengan Tri.

Seperti pada kasus XL-Axis, pelanggan-pelanggan yang kecewa akan jadi rebutan operator lain. Pindah ke Telkomsel, agak mustahil, sebab tarif Telkomsel relatif paling mahal.

Pindah ke XL Axiata nyaris sama saja. Menjadi pertanyaan kemudian, angka pelanggan gabungan yang dikatakan menjadi 104 juta, mungkin hanya akan menjadi 80-an juta saja. Siap-siap dan segera saja Smartfren bikin program adopsi anak yatim.

Namun bagaimanapun merger memberi keuntungan kepada pelanggan ex-Tri yang lalu bisa mengakses sinyal seluas Nusantara. Saat ini jaringan Indosat jauh lebih banyak dibanding Tri, di mana ada Tri pasti ada Indosat tetapi di mana ada Indosat belum tentu ada Tri.

Efisiensi spektrum

Chief Operating Officer Indosat Ooredoo, Vikram Singha meyakini, soal pemilikan spektrum frekuensi pasca merger tidak akan sama dengan ketika XL Axiata harus merelakan 10 MHz di spektrum 2100 MHz-nya.

Sesuai amanat Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pasal 33 ayat (6) disebut, operator seluler dapat mengalihkan penggunaan spektrum frekuensi radio ke operator seluler lain setelah ada persetujuan dan izin pemerintah.

Mengenai soal ini, Menkominfo Johnny G Plate mengatakan akan melakukan evaluasi terkait soal alokasi spektrum setelah proses merger selesai. Ia akan mengacu ke UU Cipta Kerja soal efisiensi pemanfaatan sumber daya spektrum, sharing infrastruktur dan tata kelola tarif.

Dengan merger, spektrum yang dimilik perusahaan gabungan akan menjadi sebanyak 72,5 MHz (47,5 MHz Indosat dan 25 MHz Tri), dengan jumlah pelanggan, taruhlah 104 juta. Telkomsel saat ini memiliki 82,5 MHz, pelanggannya 169 juta.

XL Axiata dengan pelanggan 56,7 juta menguasai spektrum selebar 45 MHz, Smartfren dengan 26 juta pelanggan punya spektrum selebar 51 MHz. Net1 cuma punya 7,5 MHz di spektrum 470 MHz, pelanggannya sekitar 100.000.

Kosa kata “evaluasi, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya spektrum” membuat apa saja bisa terjadi. Soal ini yang selalu menjadi hambatan ketika dua atau lebih operator berniat merger, karena saat berhadapan dengan pemerintah selalu dikatakan, silakan, nanti akan dievaluasi masalah spektrumnya.

PT Telkom, induk Telkomsel, BUMN sangat besar sumbangannya ke kas negara dari dividen dan berbagai pajak, dengan lebih dari Rp 25 triliun - Rp 30 triliun setahun, Rp 19 triliun di antaranya murni dari laba Telkomsel.

Kalau tahun ini laba Indosat Ooredoo Hutchison Rp 2 triliun, bagian Pemerintah RI yang sahamnya 9,6%, hanya Rp 190-an miliar, plus pajak-pajak mungkin senilai Rp 500 miliar.

Belum tentu juga itu jadi pertimbangan, sebab tahun depan akan ada 115 MHz di spektrum 700 MHz dan 1.000 MHz di 26 GHz dan 35 GHz yang akan disebar ke operator seluler, mungkin dengan cara lelang.

Sebagai penyetor dividen terbesar, pembayar pajak terbesar, dan pelanggan terbanyak bisa saja untuk penyetaraan, Telkomsel akan diberi kesempatan meraup frekuensi yang lebih lebar dibanding operator lain.

Wallahu ‘alam bissawab. ***

https://tekno.kompas.com/read/2021/09/20/13310027/sisi-lain-merger-indosat-tri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke