Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

5G di Indonesia Diprediksi Baru Optimal Setelah TV Analog Dimatikan

Salah satu musababnya, adalah belum tersedianya spektrum yang ideal dan infrastruktur yang memadai untuk menggelar 5G di Tanah Air.

Pengamat telekomunikasi meramalkan bahwa layanan 5G yang optimal di Indonesia baru akan tercapai setidaknya pada 2023 mendatang.

Pasalnya pada 2023, frekuensi 700 MHz dan 26 GHz yang bisa digunakan untuk menggelar 5G telah dilelang oleh pemerintah.

Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Muhammad Ridwan Effendi, mengatakan bahwa spektrum 700 MHz menjadi salah satu spektrum yang paling umum digunakan untuk menggelar layanan 5G.

Saat ini, spektrum tersebut masih digunakan oleh televisi analog.

"Saya yakin, setelah lelang frekuensi 700 MHz, jaringan 5G akan semakin merata," kata Ridwan kepada KompasTekno.

Dengan menggunakan spektrum frekuensi yang umum untuk 5G, secara tidak langsung juga akan semakin mendorong ketersediaan ekosistem 5G di Tanah Air.

"Saat ini kendala 5G adalah ekosistem yang belum banyak mendukung. Dari sisi handphone yang mendukung saja, saat ini masih terbatas. Memang ini kembali lagi karena frekuensi yg dipakai saat ini bukan yg paling populer," kata Ridwan.

Frekuensi 700 MHz dilelang tahun ini

Pemerintah sendiri melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akan melelang frekuensi 700 MHz untuk keperluan jaringan 5G di Indonesia.

Juru Bicara (Jubir) Kementerian Kominfo, Dedy permadi, mengatakan lelang tersebut akan dilaksanakan pada 2022 ini.

Namun, rencana lelang frekuensi 700 MHz tersebut masih harus menunggu migrasi siaran televisi (TV) analog ke siaran TV digital (Analog Switch Off/ASO) rampung. Migrasi tersebut dijadwalkan paling cepat selesai pada November 2022.

Artinya, lelang frekuensi 700 MHz untuk menggelar 5G setidaknya baru akan bisa dilakukan pada akhir 2022.

Pita frekuensi 700 MHz sendiri memang menjadi salah satu dari tiga layer spektrum yang disiapkan pemerintah untuk menggelar 5G di Indonesia. Pita frekuensi 700 MHz masuk ke dalam kategori Coverage Layer (low band).

Pita frekuensi rendah ini bisa menjangkau area yang lebih luas. Namun, kecepatannya lebih rendang daripada frekuensi yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, pita frekuensi 700 MHz ini dinilai cocok untuk pemerataan internet di area rural (desa) atau remote area karena jangkauannya yang relatif luas.

Selain itu penggunaan frekuensi 700 MHz juga dapat memperbaiki kualitas sinyal indoor (di dalam gedung) di daerah perkotaan yang memiliki banyak gedung bertingkat.

Saat ini, spektrum yang digunakan operator seluler untuk menggelar 5G adalah 1.800 MHz yang digunakan Indosat dan 2.300 MHz yang digunakan Telkomsel.

"Kalau dipaksakan, bisa dimulai komersialisasi 5G di tahun ini, tetapi jelas tidak mungkin optimal," kata Hendro.

Sebab, teknologi 5G di Indonesia saat ini masih mengadopsi non-standalone (NSA). Artinya jaringan 5G digelar di atas infrastruktur 4G yang ada saat ini.

Hendro menegaskan, solusinya, operator seluler tetap harus menunggu pemerintah melelang spektrum milimeterband untuk menghadirkan layanan 5G yang optimal.

"Tahun depan, ketika (pita frekuensi selebar) 1.000 MHz di spektrum 26 GHz dilelang, baru bisa dilaksanakan komersialisasi seenaknya. Terlebih lagi ketika spektrum 35 GHz juga dilepas pemerintah," kata Hendro.

Farming 26 GHz untuk 5G

Kementerian Kominfo sendiri belum mengumbar kapan spektrum 26 GHz untuk keperluan menggelar 5G bakal dilelang ke operator seluler di Tanah Air.

Juru Bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi, hanya mengatakan jadwal farming pita 26 GHz akan menyesuaikan kematangan dukungan ekosistem perangkat dan kesiapan dukungan infrastruktur.

Yang jelas, Kominfo telah mengungkapkan rencananya untuk menambah (farming) spektrum untuk "jalan tol" 5G hingga 1.000 MHz di frekuensi 26 GHz pada 2022 ini.

Ketika pita selebar 1.000 MHz di rentang 26 GHz dilelang pemerintah, dan dalam skenario semua operator seluler di Indonesia dapat dengan porsi yang sama rata, maka masing-masing operator seluler setidaknya bakal mendapat alokasi pita selebar lebih dari 200 MHz di rentang 26 GHz.

Hendro mengungkapkan, salah satu kendala yang dihadapi operator seluler dalam menyediakan layanan 5G saat ini adalah alokasi lebar pita frekuensi yang masih kurang untuk menggelar 5G.

Dengan alokasi tersebut, maka operator seluler dapat memenuhi syarat minimum untuk menghadirkan layanan 5G yang optimal.

"Mengingat, satu operator telekomunikasi harus menguasai spektrum frekuensi selebar 100 MHz untuk menggelar layanan 5G yang optimal," kata Hendro.

Telkomsel sendiri meluncurkan layanan 5G dengan memanfaatkan frekuensi 2.300 MHz dengan lebar pita 50 MHz.

Sementara Indosat Ooredoo Hutchison memanfaatkan pita frekuensi di 1.800 MHz (1,8 GHz) dengan lebar pita 20 Mhz untuk menghadirkan layanan 5G.

Lebar pita yang digunakan Telkomsel dan Indosat tersebut masih jauh dari lebar pita minimal yang dibutuhkan untuk menggelar layanan 5G secara optimal atau melakukan ekspansi jaringan 5G.

"Jadi jawabannya, tunggu milimeterband di 26 GHz, yang mana kalau semua operator dapat sama rata, masing-masing operator seluler punya 200 MHz," pungkas Hendro.

https://tekno.kompas.com/read/2022/01/24/10020067/5g-di-indonesia-diprediksi-baru-optimal-setelah-tv-analog-dimatikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke