Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengamat: Bukan Makin Mahal, Harga GoFood-GrabFood Makin "Normal"

Di Twitter, sejumlah pelanggan mengeluhkan biaya yang dikeluarkan untuk layanan OjolFood kini lebih mahal dibanding sebelumnya.

Musababnya, karena banyaknya tambahan biaya lain yang di bebankan pengguna, di luar harga makanan dan ongkos kirim. Sebut saja seperti biaya aplikasi (platform fee), biaya pemesanan (order fee), hingga biaya pengemasan (packaging charge).

Sejumlah pengguna juga mengeluhkan minimnya promo diskon dan biaya ongkos kirim yang semakin mahal. Keluhan pengguna ini bisa dengan mudah ditemukan dengan memasukkan kata kunci "OjolFood mahal" di kolom pencarian Twitter.

Lantas, sebenarnya apa yang sebenarnya terjadi di balik harga "OjolFood" yang dikeluhkan semakin mahal ini?

Pengamat Marketing & Managing Partner Inventure, Yuswohady pun buka suara terkait hal ini. Menurut dia, ada beberapa faktor yang membuat harga layanan makanan di GoFood, GrabFood, dan ShopeeFood berbeda dibandingkan sebelumnya. Apa saja?

Selesainya era "bakar duit"

Yuswohady menjelaskan, selama ini, startup selalu berorientasi pada traction (momentum perkembangan startup untuk meningkatkan penjualan dan menambah basis pelanggan), bukan keuntungan (profitable).

Untuk mengejar traction, menurut Yuswohady, startup menggunakan cara-cara yang instan, yaitu strategi harga murah. Caranya dengan memangkas harga dengan menyediakan berbagai promo, seperti diskon, cashback, hingga gratis ongkos kirim.

Hal inilah yang dilakukan oleh Gojek, Grab, dan Shopee terhadap layanan pesan antar makanan di platformnya masing-masing.

"Pemangkasan harga itu dilakukan dengan subsidi yang didapatkan dari investor, yakni melalui bakar duit itu sebenarnya," kata Yuswohady.

Bakar duit atau burning money adalah istilah populer di kalangan startup yang merujuk kepada kegiatan perusahaan rintisan dalam mengeluarkan modalnya secara terus-menerus untuk memberikan subsidi kepada konsumen dalam jangka waktu tertentu.

Modal yang dimiliki startup itu biasanya berasal dari suntikan dana dari banyak investor atau pemodal ventura. Modal inilah yang digelontorkan untuk menyubsidi layanan OjolFood agar konsumen membayar dengan harga yang lebih rendah dibanding semestinya.

Masalahnya, kata Yuswohady, ekonomi global kini sedang bergejolak karena adanya berbagai krisis, mulai dari pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, hingga inflasi di seluruh dunia. Alhasil, saat ini, modal menjadi sesuatu yang mahal dan sulit untuk didapatkan.

"Ketika kondisinya duit yang dibakar itu semakin langka, mau tak mau, mereka sudah nggak bisa lagi menyubsidi konsumen dengan diskon dan lain-lainnya," kata Yuswohady saat dihubungi KompasTekno, pekan lalu.

"Sebab, yang nama strategi harga murah, itu selalu memangkas profit dan itu nggak akan sustainable. Ada satu titik dimana strategi burning money itu akan dihentikan, yakni ketika duitnya sudah nggak ada dan tuntutan untuk untung menjadi urgent. Nah, sekarang ini terjadi itu," lanjut Yuswohady.

Itulah yang kemungkinan besar menyebabkan pengguna mulai merasa minim diskon dan promo ketika membeli makanan via OjolFood. Sehingga total harga yang dibayarkan menjadi naik dari sebelum-sebelumnya.

"Karena tadi sudah nggak bisa bakar duit, investor menuntut road to profitability (jalan menuju profitabilitas)," kata Yuswohady.

Rumus sederhana untuk menghitung laba adalah mengurangi pendapatan (revenue) dengan biaya operasional perusahaan (operating cost). Bila hasilnya positif, itu merupakan keuntungan. Sedangkan bila hasilnya negatif, itu disebut kerugian.

Nah, Yuswohady menjelaskan, yang dilakukan startup saat ini adalah mulai memangkas biaya operasionalnya untuk semakin mendorong kemungkinan memperoleh laba.

Biaya operasional ini termasuk subsidi untuk promo (diskon, cashback, gratis ongkos kirim) dan gaji yang "tinggi" untuk sumber daya manusianya.

Yuswohady mengatakan, dua itu membebankan biaya operasional startup. Tak heran bila kini, startup mulai memangkas promo dan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawannya.

"Ketika capital (modal) sulit dan permintaan untuk profitabilitas tinggi, maka kemudian subsidi itu kemudian dihilangkan. Sehingga dampaknya adalah harganya naik," kata Yuswohady.

Biaya "lain-lain" dibebankan ke pelanggan OjolFood

Menurut Yuswohady, platform akhirnya mulai menyetop subsidi dan justru membebankan biaya tersebut ke pada pelanggannya.

Misalnya, pengguna GoFood perlu membayar biaya jasa aplikasi (platform fee) dan biaya pengemasan (packaging charge) yang besarannya berbeda-beda bergantung dengan toko atau merchant yang dipilih.

Pantaun KompasTekno, platform fee yang dikenakan biasanya sekitar Rp 3.000 hingga Rp 4.000. Sementara packaging fee mulai dari Rp 1.000 bahkan ada yang Rp 7.500.

Untuk GrabFood, pelanggan kini dibebankan biaya pemesanan (order fee) dan biaya pengemasan (packing fee), yang besarannya beragam bergantung dengan merchant yang dipilih.

Sedangkan, konsumen ShopeeFood kini dibebankan biaya layanan dan biaya tambahan untuk restoran.

Jadi, sebenarnya, fenomena harga layanan OjolFood saat ini lebih tepatnya disebut menjadi normal.

"Kondisi yang kemarin-kemarin jangan berharap lagi, karena dulu itu tidak normal. (Harga OjolFood) yang dulu itu murah karena disubsidi," kata Yuswohady.

"Bila harga sudah "normal", mau nggak mau, konsumen akan tetap pakai (layanan OjolFood) karena sudah ketergantungan," lanjut dia.

https://tekno.kompas.com/read/2022/06/27/10000037/pengamat-bukan-makin-mahal-harga-gofood-grabfood-makin-normal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke