Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Beginilah "E-Government" Seharusnya Berjalan

Ketika saya melakukan asistensi kebijakan untuk salah satu pemda di pulau Jawa, betapa terkejutnya saya bahwa ternyata masing-masing dinas memiliki key performance indicator (KPI) yaitu membuat aplikasi.

Jika dikulik-kulik sepertinya pemborosan dan inefisiensi serupa akan kita temui pada hampir semua daerah. Langkah ke depan yang dikatakan Sri Mulyani, yaitu mengintegrasikan seluruh data K/L ke dalam satu database (one data) sebetulnya sudah tepat. Bahkan menurut saya sangat patut dinanti.

Akan banyak masalah yang seharusnya dapat terselesaikan jika one data benar-benar direalisasikan. Selain efisiensi anggaran, one data dapat meminimalisasi gangguan keamanan siber (ini diakui Sri Mulyani), kemudahan pelayanan publik, mencegah fraud, hingga terwujudnya keselarasan seluruh institusi pemerintah.

Data penerima bantuan sosial, misalnya, menjadi lebih tertata karena one data mencegah terjadinya data ganda akibat masing-masing institusi sebelumnya memiliki aplikasi sendiri-sendiri. Korupsi dalam pemerintahan dapat ditekan jika one data dapat diawasi oleh publik.

Tentu saja gagasan one data ini harus sampai ke level pemerintahan daerah. Saya kira ini menjadi langkah awal baik untuk merealisasikan janji kampanye Jokowi saat pilpres lalu: e-government.

Kepemimpinan kolaboratif

Secara harafiah istilah e-government memang merujuk pada tata kelola pemerintahan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Namun itu bukan hanya soal membuat aplikasi semata. Aplikasi hanyalah sarana fisik dalam e-government yang sebetulnya berada di posisi hilir. Yang tidak kalah penting adalah apa yang terdapat di posisi hulu, yaitu realitas masyarakat kita yang semakin berjejaring (network society).

Kita harus memahami bahwa informasi dan komunikasi kini terdesentralisasi. Bukan hanya milik pemerintah ataupun media massa, tetapi milik semua orang. Setiap individu yang memiliki akses TIK (seperti smartphone) artinya dapat menjadi nodus (simpul) yang tidak hanya mengonsumsi melainkan juga memproduksi informasi.

Sosiolog Manuel Castells mengistilahkannya dengan mass-self communication menggantikan era mass communication dengan media massa sebagai sumber utama informasi saat itu. Disebut “self” karena proses komunikasi semakin personal dalam arti setiap individu dapat menjadi agen independen yang mampu membangun jejaring informasinya sendiri.

Ini menjadi penting karena dalam praktiknya, e-government bukan berarti semata digitisasi pemerintahan (memindahkan sumber daya secara digital), melainkan juga membangun tata kelola negara yang bersifat sinergis. Sinergitas menjadi aspek penting karena realitas jejaring menunjukkan keterhubungan. Adanya keterhubungan menandakan pentingnya jalinan kerja sama.

Dengan demikian, dimensi pemimpin menjadi sangat penting terutama terkait dengan apa yang dikatakan Bryson, Crosby & Stone (2015) sebagai kepemimpinan kolaboratif. Kepemimpinan ini merujuk pada keseluruhan elemen negara secara paripurna, baik mereka yang berada di eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif.

Konsep-konsep di atas dapat diformulasikan berikut: pertama-tama TIK sebagai infrastruktur e-government diposisikan sebagai fasilitator (enablers) yang memungkinkan terjadinya kolaborasi. Namun TIK tentu saja hanya menjadi satu sisi karena teknologi tidak mungkin terpisahkan dari manusia dan masyarakat sebagai pengguna (users).

Posisi pemimpin menjadi sentral karena mereka yang memegang resources berupa anggaran negara dengan jaminan payung konstitusi. Karena informasi terdesentralisasi, pemimpin negara mestilah memanfaatkan TIK untuk membangun kolaborasi dengan pihak-pihak tidak hanya sesama pemerintah, melainkan juga unsur non-pemerintah lainnya, seperti: civil society, para saintis, komunitas lokal, dan seterusnya.

Krisis akibat tsunami Covid-19 mengajarkan kita betapa pentingnya kepemimpinan kolaboratif. Dalam mengatasi krisis, pemerintah nyatanya tidak dapat berjalan sendiri. Kita dapat melihat saat gelombang varian delta memuncak di medio 2021, gerakan akar rumput memanfaatkan kapital sosial masyarakat untuk saling menolong ketika banyak korban berjatuhan. Seperti gerakan digital “warga bantu warga” yang menjadi jembatan penghubung antara para penolong dengan korban saat itu. Mereka berbagi informasi tentang stok tabung oksigen, obat-obatan, makanan, yang kemudian secara efektif terdistribusi kepada para korban Covid-19 yang membutuhkan.

Sejauh amatan saya, pemerintah masih jauh untuk dikatakan membangun kolaborasi dengan simpul-simpul jejaring semacam itu. Padahal jika dikembangkan, praktik e-government mestinya mampu menjadi enabler efektif dalam menjembatani kolaborasi.

Gagasan one data yang nantinya akan diimplementasikan oleh Kominfo melalui super apps menurut saya tidak boleh hanya mengintegrasikan data seluruh K/L, tetapi  juga dari stakeholders di luar pemerintahan sehingga menjadi sebuah data raya. Data raya tersebut mestilah transparan dan akuntabel.

Melalui akses terhadap TIK, unsur-unsur non-pemerintahan dapat ikut mengawasi super apps tersebut yang nantinya menjadi pusat pelaksanaan e-government. Super apps itu menaungi banyak urusan seperti politik, ekonomi, kebudayaan, olahraga, dan lain sebagainya.

Proses kolaborasi ini harus dilakukan hingga pada tahapan yang paling esensial, misalnya penganggaran (budgeting). Semua stakeholders hingga level akar rumput turut berperan dalam merumuskan anggaran (participatory budgeting) tahunan terkait urusan tertentu. Misalnya, budgeting pada urusan pariwisata melibatkan semua unsur termasuk pelaku bisnis wisata, bahkan UMKM.

Demokrasi sebagai prasyarat

Proses partisipatif lewat media super apps dapat menjadi titik temu dari berbagai pemangku kepentingan. Anggaran negara akan terserap dengan jauh lebih efektif karena penggunaannya yang lebih tepat sasaran. Kebutuhan masyarakat akan terpenuhi, sementara pemerintah dapat mengefisiensikan belanja negara.

Participatory budgeting hanya menjadi salah satu aspek. Aspek lain yang juga sangat penting, misalnya, membangun kolaborasi dengan para pakar ketika merumuskan kebijakan. Pandemi Covid-19 telah menunjukkan betapa negara dan saintis begitu memiliki jarak. Kebijakan penanganan pandemi seringkali bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan menurut riset sahih. Padahal Indonesia memiliki cukup banyak pakar mewakili berbagai bidang. Perumusan kebijakan negara justru tidak mampu secara maksimal dalam melibatkan mereka.

Tentu saja kepemimpinan kolaboratif dan e-government hanya mungkin terjadi jika kondisi demokrasi begitu kondusif. Demokrasi adalah prasyaratnya. Tetapi dengan melihat adanya pasal penghinaan dan penyempitan definisi kritik dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belakangan sedang ramai, sepertinya pemerintah masih enggan berkolaborasi dengan warganya sendiri.

https://tekno.kompas.com/read/2022/07/13/11072517/beginilah-e-government-seharusnya-berjalan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke