Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ramai Fenomena "Saweran" di Live Medsos, Pengamat Minta Platform Batasi Fitur Live Streaming

Sebut saja di TikTok, Facebook, YouTube, hingga Twitch yang kerap digunakan oleh kreator konten game.

Fenomena ini memang serupa seperti "saweran" yang biasa dilakukan di dunia nyata, seperti dalam acara atau hajatan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Bedanya, saweran di platform digital berlangsung melalu siaran langsung (live streaming) di dunia maya.

Untuk nyawer digital, penonton juga harus memiliki "alat sawer" berupa koin/item digital tertentu sesuai ketentuan platform yang digunakan, agar bisa memberikan apresiasi kepada kreator konten selama streaming langsung.

Misalnya di TikTok, pengguna harus memiliki koin untuk membeli "Gift", yaitu item digital dalam bermacam versi sebagai alat sawer. Contoh lainnya di platform streaming game Twitch, penonton harus membeli "Bits" untuk nyawer ke gamer yang sedang siaran langsung.

Live streaming sebaiknya dibatasi

Live streaming menjadi fitur yang banyak digunakan kreator atau publik figur sejak pandemi, karena membantu mereka berinteraksi dengan followers tanpa kontak langsung secara fisik atau offline.

Meski kini perlahan pandemi mulai mereda, fitur itu masih digunakan oleh kreator atau pengguna medsos pada umumnya, untuk saling berinteraksi. Namun, menurut pakar media sosial, Hariqo Wibawa Satria, fitur live streaming sebaiknya dibatasi.

Alasannya, pengguna pada usia tertentu dinilai belum bisa menggunakan fitur tersebut dengan bijak. Sementara fitur live streaming secara umum bisa digunakan oleh semua pengguna di lintas usia.

"Sekarang anak 14 tahun pun bisa live. Artinya dia punya kesempatan yang sama dengan orang yang sudah sarjana," kata Hariqo kepada KompasTekno.

"Ketika anak usia segitu (14 tahun) live dengan modal bacaan terbatas, modal pemahaman ITE dan pers yang terbatas, apa yang mereka lakukan ketika menggunakan fitur live dalam usia itu? Itulah alasan menurut saya fitur live tidak bisa diberikan ke sembarang orang. Bisa juga (diberikan) dengan syarat," imbuhnya.

Untuk memonetisasi fitur live streaming, beberapa platform menetapkan ketentuan khusus. Jadi, tidak semua pengguna yang bisa streaming langsung, bisa pula disawer.

Di TikTok misalnya, kreator yang bisa "disawer" saat live streaming adalah mereka yang sudah memiliki pengikut (follower) setidaknya 1.000 pengikut.

Namun menurut Hariqo, ketentuan tersebut memiliki kelemahan. Sebab, jumlah follower bisa diupayakan cukup mudah, misalnya dengan cara membeli follower atau cara lainnya.

Selain itu, Hariqo juga menilai bahwa syarat tersebut kurang mendidik karena bisa berdampak pada kesehatan mental pengguna.

Misalnya, ketika pengguna tertentu disepelekan pengguna lain, hanya karena jumlah follower yang sedikit.

“Kelemahannya, bisa aja nyari followers, bisa beli. Persyaratan yang berbau follower itu nggak mendidik. Enggak bagus untuk kesehatan mental pengguna,” ujarnya.

Filter dari hulu

Untuk mencegah penyalahgunaan fitur live streaming di media sosial, Hariqo menyarankan platform seperti TikTok, Instagram dan lainnya agar mengubah mekanisme pembuatan akun.

Sebagian besar aplikasi termasuk aplikasi media sosial, menampilkan syarat dan ketentuan perusahaan sebelum pengguna bisa memakai aplikasi.

Pengguna kemudian perlu mencentang sebagai tanda bahwa ia setuju dengan syarat dan ketentuan yang tercantum.

Alih-alih membacanya dengan rinci, tak jarang pengguna melewatkan syarat dan ketentuan tersebut dan langsung membubuhkan centang sebagai tanda persetujuan.

Praktik ini menurut Hariqo perlu diubah yaitu dengan menggunakan kuesioner untuk menjawab pertanyaan terkait komitmen pengguna, sebagaimana praktik yang dilakukan bank ketika nasabah ingin membuat ATM.

Dengan cara ini, Hariqo meyakini bahwa pengguna media sosial akan lebih menyadari dan paham bagaimana konsekuensi membuat akun medsos.

“Di hulunya ketika orang bikin akun, sebaiknya kaya kuesioner, bukan disuruh membaca. Seperti bikin ATM di bank, kita menjawab pertanyaan. Kita tinggal di mana, apakah sanggup begini-begini, kemudian di halaman terakhir tinggal tanda tangan, termasuk sebelum bikin akun di medsos, harus ada pertanyaan seperti itu,” jelas Hariqo.

“Kalau ini (di medsos) kan, orang ketika mencentang agree dianggap sudah baca semua, padahal nggak dibaca. Jadi modelnya itu seperti form, ketika sesuatu nggak dia setujui, nggak bisa bikin akun,” lanjutnya.

Tak hanya menyarankan penggunaan form atau kuesioner, Hariqo juga menyarankan agar setiap platform medsos menampilkan peringatan atau izin ketika proses rekam hendak dimulai, sebagaimana aplikasi Zoom.

Dengan begitu, pengguna bisa benar-benar mempertimbangkan penggunaan live streaming sebelum memulainya.

https://tekno.kompas.com/read/2022/07/26/14300047/ramai-fenomena-saweran-di-live-medsos-pengamat-minta-platform-batasi-fitur-live

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke