Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Keluhan Masyarakat soal Ponsel “No Service”

Ada ponsel yang dibeli dari gerai resmi, ada dari toko-toko ponsel di pusat-pusat perbelanjaan. Keluhan mereka, ada ponsel yang sudah sempat hidup namun mati lagi.

Keluhan netizen mengindikasikan bobolnya pertahanan negara membendung ponsel selundupan. Padahal, ponsel selundupan sudah dibendung sejak akhir 2019, tetapi kembali merembes.

Sebelumnya ponsel selundupan deras masuk dan dilaporkan merugikan negara dari hilangnya berbagai pajak sampai Rp 2,9 triliun setahun.

Ponsel selundupan yang umum disebut sebagai BM (black market – pasar gelap) itu dijual sekitar Rp 300.000 lebih murah dibanding ponsel yang diimpor resmi, yang juga mematikan industri ponsel lokal.

Hantaman pandemi memperparah industri ponsel lokal yang dari semula ada 10 brand, kini hanya satu yang bertahan, Advan. Beredarnya ponsel BM juga mengoyakkan perlindungan terhadap konsumen.

Kesepakatan tiga menteri, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan pada 18 Oktober 2019, sejatinya sudah berhasil menyetop penyelundupan.

Ketiganya mewajibkan pendaftaran IMEI (international mobile equipment identification – identifikasi internasional perangkat HKT), sebelum ponsel masuk pasar.

IMEI selalu tercantum di perangkat HKT (handphone, komputer genggam dan tablet), baik impor maupun produk lokal yang pengendaliannya dilakukan lewat CEIR (centralized equipment identity register) milik Kementerian Perindustrian.

Masih belum diketahui apakah pengawasan yang mulai kendor atau CEIR diretas (di-hack) yang menjadi penyebab kegelisahan sebagian masyarakat, dan gagalnya pemerintah menarik pajak ponsel BM.

Empat pintu

Ada empat pintu untuk ponsel sebelum bisa masuk pasar. Pintu pertama Kementerian Perindustrian untuk ponsel dengan IMEI yang didaftarkan produsen ponsel lokal dan importir resmi.

Pintu kedua di Kominfo khusus bagi ponsel tamu negara, VIP, VVIP perwakilan negara asing/organisasi internasional dan keperluan pertahanan keamanan.

Pintu yang ketiga lewat Ditjen Bea & Cukai bagi ponsel bawaan, jastip (jasa titipan) dan barang kiriman dari luar negeri, lalu pintu keempat lewat operator seluler.

Yang terakhir ini contohnya saat pertemuan Forum G20 atau berbagai kegiatan internasional lain, khusus bagi turis dengan kartu SIM khusus yang berlaku hanya 90 hari, yang dapat diperpanjang.

Pengendalian ponsel berjalan baik hingga lewat pertengahan 2022. Lalu muncul banyak masalah, ketika pemilik ponsel sempat menikmati layanan operator, kini di layar ponselnya tampil no service.

Seperti yang dialami Ruddy R, 40 tahun, yang membeli ponsel pintar seharga Rp 19 juta di agen resmi ponsel di Jakarta Selatan, dua pekan lalu.

Ponsel mahal ini begitu diisi kartu SIM tidak bisa digunakan, dan kata petugas agen resmi, “Biasanya dua hari baru hidup, tunggu saja”.

Dua hari lewat, seminggu lewat, layar ponselnya tetap no service. Mendatangi gerai penjual, Ruddy malah ditawari jasa membuka (unlock) kunci seperti ditawarkan antara lain di Shopee, bayar Rp 380.000, untuk tiga bulan.

“Bisa unlock setahun, atau selamanya, tetapi harganya beda,” kata Ruddy mengutip si pelayan gerai, yang menyebut angka hampir dua kali lipatnya.

Ruddy juga ditawari “pemutihan” tanpa unlock, ke kantor Bea Cukai.

Namun harapan Ruddy, juga Santo (35 tahun) yang membeli ponsel dari toko di pusat perdagangan ponsel di Roxy dengan kasus sama, kandas.

IMEI ponsel Santo tidak terdaftar karena ponselnya BM yang masuk lewat jasa titipan, bawaan pribadi atau selundupan.

Kena keringat

Sebagai ponsel bawaan – diizinkan peraturan tetapi hanya dua buah dan harga maksimal 500 dollar AS – kalau ingin dibuka harus membayar berbagai pajak.

Aturan Bea Cukai menyebutkan, keduanya harus membayar bea masuk 10 persen atau Rp 1,9 juta, PPH pasal 22 sebesar 10 persen = Rp 1,9 juta dan PPN 11 persen (Rp 2,299 juta), yang kalau setiap bagian ketika digabung dan dihitung persennya, munculah kewajiban bayar 33,1 persen, sejumlah Rp 6,289 juta.

Santo beli ponsel BM dengan harga Rp 300.000 lebih murah dari gerai resmi. Kalau ia bayar pajak menurut aturan Bea Cukai, berarti ia membeli ponsel itu Rp 6 juta lebih mahal dibanding harga resmi.

Ponsel pun jadi buah simalakama. Dipakai tidak bisa, bayar pajak membuat sakit perut. Santo balik lagi ke gerai tempat membeli ponsel, lalu OK, ia bayar Rp 450.000 untuk unlock setahun, meski dengan Rp 600.000 janjinya bisa unlock selamanya.

Dari laporan masyarakat, tampak kontrol lewat CEIR terkesan agak kendor. Seperti ungkap dua agen resmi yang ketika memasukkan daftar 200.000 IMEI iPhone, saat keluar daftarnya jadi 250.000 IMEI, yang 50.000 sisanya entah milik siapa. Bisa jadi IMEI ponsel dari gerai resmi seperti kasus Ruddy.

Ponsel yang didaftarkan sebagai milik turis oleh kios-kios ponsel sebagai perpanjangan tangan operator seluler masih leluasa, walau tetap memang akan mati setelah 90 hari.

Kios semacam ini pun banyak yang menjual ponsel BM dan bisa unlock seperti yang ditawarkan di beberapa market place.

Tidak hanya Ruddy dan Santo, ada ratusan orang lainnya, mayoritas pembeli iPhone 13 dan iPhone 14 yang tidak hanya BM, juga ponsel dari satu gerai resmi.

Sebagian, sedikit, ada yang mau mengembalikan harga pembelian tetapi tidak penuh. Ponselnya dianggap sudah “kena keringat”.

https://tekno.kompas.com/read/2022/11/22/10512417/keluhan-masyarakat-soal-ponsel-no-service

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke