Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sosok Penting di Balik ChatGPT Dibayar Rp 200.000 Per Jam

Meski menjadi sosok yang krusial, pelatih kecerdasan AI ChatGPT mengumbar bahwa dirinya “hanya” mendapat upah sebesar 15 dollar AS atau sekitar Rp 221.385 per jamnya.

Salah satunya adalah Alexej Savreux, pria berusia 34 tahun yang tinggal di Kansas, Amerika Serikat. Savreux bertugas melatih teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Berdasarkan wawancara bersama NBC News, Savreux mengatakan bahwa dirinya adalah pekerja kontrak yang melatih sistem AI di ChatGPT untuk menganalisis data sehingga sistem dapat menciptakan sebuah teks dan gambar kepada pengguna.

Agar hasil gambar atau teks yang dimunculkan dapat akurat, Savreux perlu memberi label pada sebuah gambar dan membuat sejumlah prediksi terkait apa saja teks yang seharusnya bakal muncul atau diciptakan oleh sistem.

Walau tidak bekerja sendirian, Savreux bersama tim pelatih sistem AI lainnya sudah menghabiskan puluhan jam untuk melatih sistem OpenAI selama beberapa tahun belangkangan. Hingga akhirnya ChatGPT dapat berfungsi dengan maksimal seperti sekarang ini.

“Kami adalah buruh (pekerja kasar), tetapi tidak akan ada sistem teknologi AI tanpa itu,” ungkap Saverux.

Ia juga menambahkan bahwa label yang dicantumkan ke setiap gambar atau teks yang dimunculkan memiliki peran yang sangat penting. Tanpa label, ChatGPT mungkin tidak dapat memberikan jawaban.

“Anda dapat merancang sistem jaringan yang diinginkan. Anda dapat melibatkan semua peneliti yang Anda inginkan. Namun, tanpa pemberi label, Anda tidak dapat memiliki ChatGPT. Anda tidak akan membuat apa-apa,” tambahnya.

Selama menjalani pekerjaan sebagai “buruh” ini, Savereux menyadari bahwa pelatih sistem AI bukanlah profesi yang memiliki prospek cerah di masa depan. Artinya, pekerjaan tersebut tidak dapat membuatnya tenar ataupun kaya.

Walau pekerjaan dan tanggung jawab yang dipikul sangat penting khususnya di industri AI, Savereux justru melihat pekerjaan tersebut kerap kali dipandang sebelah mata oleh orang-orang.

Jurang antara AI dan para pekerjanya

Menurut ketua Partnership on AI, organisasi nirlaba di San Fransisco yang melakukan penelitian seputar AI, Sonam Jindal, terdapat kesenjangan antara pekerja buruh dan upah yang mereka dapatkan atas pekerjaan tersebut.

“Banyak diskusi seputar AI yang membawa hal positif. Namun, sebagian cerita yang tidak diketahui adalah teknologi AI masih sangat bergantung pada sumber daya manusia yang sangat besar,” ujar Jindal.

Pekerjaan yang dijalankan Savereux termasuk pekerjaan yang tidak stabil dan bersandar pada permintaan.

Karyawan kontrak bekerja berdasarkan kontrak tertulis yang diberikan perusahaan melalui pihak ketiga. Dengan begitu, jaminan kesehatan seperti asuransi tampaknya akan jarang ditermukan.

Berdasarkan laporan dari Partnership of AI pada 2021, setiap perusahaan yang ingin merekrut praktisi AI dan sebagainya harus menjalankan kompensasi yang adil. Sejauh ini, satu-satunya perusahaan yang mengadopsi pedoman tersebut adalah DeepMind, anak perusahaan dari Google.

“Banyak orang telah menyadari bahwa pedoman ini penting untuk dilakukan. Tantangannya sekarang adalah membuat perusahaan menerapkannya,” ujar Jindal.

Menurut Jindal, pelatih AI yang dilakukan Savereux dan timnya adalah pekerjaan baru sejak kemunculan AI. Jika ingin memajukan teknologi AI, setiap perusahaan harus menghormati dan menghargai setiap pekerjanya berdasarkan kontribusi yang sudah diberikan.

“Kami melihat bahwa ini akan menjadi pekerjaan yang berkualitas tinggi, sedangkan bagi pekerja yang melakukan pekerjaan ini seharusnya dihargai dan dihormati berdasarkan kontribusi yang sudah mereka berikan,” Jindai.

Sejauh ini, pekerjaan seperti praktisi AI di industri teknologi semakin diminati beberapa kalangan. Namun, belum ada data yang pasti terkait jumlah pekerja kontrak yang bekerja untuk perusahaan AI.

Pada Januari 2023, majalah Time melaporkan bahwa OpenAI mempekerjakan karyawan yang berbasis di Kenya dengan upah yang rendah untuk memberi label pada teks. Label tersebut diberikan untuk ujaran kebencian atau kata-kata kasar secara seksual.

OpenAI sendiri dilaporkan sudah memiliki pelatih AI yang tersebar di berbagai wilayah sebanyak 1.000 karyawan, mulai dari Eropa Timur hingga Amerika Latin.

Tiap pekerja memiliki tanggung jawab melabeli data (teks dan foto) serta melatih sistem AI terkait tugas-tugas teknik komputer. Pekerjaan ini pada dasarnya tidak mudah dilakukan, tetapi disebut cukup menarik perhatian para pengusaha AI.

Maka dari itu, setiap perusahaan di industri serupa setidaknya mulai menerapkan pedoman yang baru ke dalam sistem perusahaan, sebelum merekrut para praktisi AI atau pekerja kontrak lainnya.

https://tekno.kompas.com/read/2023/05/10/13310077/sosok-penting-di-balik-chatgpt-dibayar-rp-200000-per-jam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke