Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Seharusnya Malu Pakai Batik "Printing"

Kompas.com - 08/09/2009, 18:49 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Menyusul ditetapkannya batik sebagai warisan budaya dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), masyarakat Indonesia seharusnya malu memakai kain bermotif batik atau biasa disebut batik printing. Masyarakat mestinya memakai batik tulis, cap, ataupun kombinasi keduanya sehingga bisa mengangkat kerajinan batik.

Ketua Paguyuban Pencinta Batik Indonesia Sekar Jagad Yogyakarta Larasati Suliantoro mengatakan, pemahaman masyarakat tentang batik masih kurang. Bahkan, tak sedikit pejabat pemerintahan yang merasa telah memakai batik meskipun yang ia pakai sebenarnya adalah kain bermotif batik. Dengan penetapan tersebut nanti kan jadinya lucu. Ada ambivalensi karena yang banyak ditemui di Indonesia saat ini malah batik printing, jelasnya, Selasa (8/9).

Menurut dia, kemunculan batik printing adalah bagian dinamika dalam berdagang sehingga sulit dihentikan. Oleh karena itu, edukasi terhadap pengguna batik perlu terus dilakukan. Ia optimistis, penetapan batik sebagai warisan budaya dunia akan semakin menambah kecintaan masyarakat terhadap batik sehingga mereka akan mencari batik bukan printing. "Seperti anjuran Presiden, tanggal 2 Oktober besok kami juga mengajak masyarakat memakai batik, tapi batiknya harus bukan yang printing," jelasnya.

Mahal

Secara terpisah, Ny Yanti, pedagang batik antik di Pasar Beringharjo, menuturkan, penjualan batik di tempatnya semakin menurun. Saat ini masyarakat lebih menggemari pakaian jadi dari bahan batik printing yang banyak ditemui di pasar.

Menurut dia, harga menjadi salah satu alasan yang membuat batik printing lebih diminati. Dengan uang Rp 35.000, masyarakat bisa mendapat pakaian bermotif batik. Sementara untuk mendapatkan selembar kain batik tulis atau cap, mereka harus mengeluarkan uang di atas Rp 100.000.

Ny Soemantri, perajin batik di Patangpuluhan Yogyakarta, menuturkan, permintaan batik memang terus menurun. Dulu, kain batik yang sedang dalam proses pencucian saja sudah dipesan toko. Namun, sekarang ia harus menahan kain batiknya cukup lama sebelum dibeli pedagang. "Karyawan saya yang membatik dulu ratusan, tapi sekarang tinggal 50-an orang," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com